Mongabay.co.id

Perhutanan Sosial, Sumber Ketahanan Pangan Masyarakat Lampung

 

 

Indonesia rentan terhadap bencana alam dan dampak perubahan iklim.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto menegaskan, ancaman tersebut perlu diantisipasi dengan menegakkan ketahanan pangan melalui strategi multidimensi. Salah satu cara, memaksimalkan program perhutanan sosial.

Perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat. Pelaksananya masyarakat setempat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya.

Pemerintah, periode 2015-2019 mengalokasikan 4,3 juta hektar [revisi dari 12,7 juta hektar] perhutanan sosial, melalui skema hutan desa [HD], hutan kemasyarakatan [HKm], hutan tanaman rakyat [HTR], hutan adat [HA], dan kemitraan kehutanan [KK].

Bambang menjelaskan, hutan sangat berkontribusi mendukung ketahanan pangan, dengan cara memproduksi sumber pangan. Pemanfaatannya bisa dilakukan pada hutan produksi, zona pemanfaatan taman nasional, atau hutan lindung.

“Masyarakat Lampung harus mampu memanfaatkan program perhutanan sosial dengan mengembangkan komoditas pangan, obat-obatan berkualitas, serta energi sehingga kebutuhan pangan nasional terpenuhi,” terang Bambang saat webinar ‘Pengembangan Perhutanan Sosial Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Masyarakat’ yang diselenggarakan Universitas Lampung, Kamis [16/7/2020].

Produk hasil hutan pun bisa menjadi persediaan pangan masyarakat, sebut saja umbut rotan, umbi-umbian, satwa, madu, dan buah-buahan. Bahkan, ada yang dijadikan komoditas ekspor, seperti porang.

“Hutan juga menyediakan produk herbal, seperti pasak bumi yang bermanfaat menjaga stamina sehingga tetap bugar,” jelasnya.

Solusi tepat pengelolaan perhutanan sosial, guna mencapai ketersediaan pangan adalah dengan cara agroforestry atau wanatani. Wanatani merupakan sistem pertanian berkelanjutan yang mampu mengoptimalkan penggunaan lahan, kombinasi pepohonan dengan tanaman pertanian atau hewan ternak.

“Dengan wanatani kelestarian hutan terjaga,” ujar Bambang.

Baca: Lampung, Model Kawasan Konservasi Berbasis Lanskap di Sumatera

 

Konsep ketahanan pangan juga harus memperhatikan kehidupan petani yang sering dilupakan nasibnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Prioritas

Ketua Indonesia Network for Agrofrestry Education [INAFE], Budiadi menuturkan, prioritas perhutanan sosial adalah pemulihan dan peningkatan fungsi [ekologi] hutan. “Kepentingan produksi pangan [sosial-ekonomi] jangan sampai mengalahkan tujuan peningkatan fungsi [ekologi] hutan,” jelasnya, di acara yang sama.

Target utamanya petani kecil, guna memproduksi tanaman pertanian yang dikosumsi sendiri, jika ada sisa baru dijual. “Pangan dari hutan sangat beragam, perlu diidentifikasi sebagai sumbangan kepada kesejahteraan masyarakat lokal,” jelas Budiadi yang juga Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada [UGM].

Dia menuturkan, kunci pengembangan produk-produk pangan pada lahan perhutanan sosial adalah dengan peningkatan kualitas pengelolaan, proses, dan pemasaran.

“Produktivitas pangan dari hutan per satuan luas dan waktu mungkin kecil, namun dengan luasnya hutan kita, nilai total jadi sangat besar.”

Dengan demikian, perlu fokus pengembangan keilmuan budidaya produktif dan demplot beragam.

Baca: Lampung Barat Sebagai Kabupaten Konservasi, Apa Tantangannya?

 

Masyarakat menanam ubi di lahan pertanian mereka yang berada di sekitar Taman Nasional Way Kambas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ketua Yayasan Kehutanan Masyarakat Indonesia, Christine Wulandari memaparkan, masyarakat yang menerima hak pengelolaan perhutanan sosial harus menentukan kebijakan pangannya sendiri. Utamanya, dengan memprioritaskan pangan lokal sekaligus menghindari praktik perdagangan pangan secara damping.

“Harus disesuaikan dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya lokal mereka. Diharapkan, tidak ada campur tangan pihak lain,” kata Christine yang juga Ketua Prodi Magister Kehutanan Universitas Lampung [Unila].

Dia juga menjelaskan prinsip pengelolaan perhutanan sosial, yaitu kelola ekologi, sosial, dan ekonomi. Atas kesadaran itu, Christine merekomendasikan pemerintah mempermudah perizinan hasil hutan bukan kayu [HHBK].

HHBK adalah komoditas yang didapatkan dari hutan tanpa harus menebang pohon. Misalnya, bahan dari rempah-rempah, biji-bijian, minyak, jamur, kayu bakar, pakan hewan, madu, tumbuhan paku, kayu manis, lumut, karet, hingga getah. “Jadikan HHBK sebagai salah satu modal pembangunan nasional dan provinsi.”

Caranya, dengan melakukan pemetaan potensi, peningkatan budidaya tanaman bibit unggul, lalu pengoptimalan lahan sekaligus mendorong keterlibatan para pihak di hulu maupun hilir.

“Harus ada jaminan bahan baku secara kualitas, kuantitas, dan kontinyuitas.”

Atau, bisa juga pengembangan jasa lingkungan dan HHBK, dengan cara memberdayakan masyarakat melalui studi banding, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan pengelolaan wisata. “Dimulai penguatan lembaga masyarakat, keterampilan, hingga pemasaran.”

Paling penting, terang Christine, pendampingan yang tepat dan berkualitas.

Baca juga: Penetapan Hutan Adat Hanya 1% dari Realisasi Perhutanan Sosial

 

Kopi yang menjadi andalan masyarakat Lampung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kondisi Lampung

Bagaimana pelaksanaan perhutanan sosial di Lampung?

Data Dinas Kehutanan Provinsi Lampung menunjukkan, capaian perhutanan sosial di wilayah ini sekitar 181.097,93 hektar. Total izin yang diterbitkan sebanyak 255 surat ketetapan. Pemegangnya mulai dari kelompok hutan masyarakat, koperasi, serta gabungan kelompok hutan masyarakat yang telah dimanfaatkan 81.512 kepala keluarga.

Jumlah tersebut, menurut Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat dan Usaha Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Wahyudi, cukup signifikan bila dibandingkan dengan luasan kerusakan yang ada. Hutan Lampung yang luasnya 1.004.735 hektar, kerusakaannya mencapai 375.928 hektar.

“Mayoritas izin didominasi hutan kemasyarakatan yang berada di hutan lindung. Kami berharap, masyarakat akan sejahtera dari pemanfaan hasil hutan bukan kayu. Sebut saja jasa lingkungan [wisata], kawasan untuk perkebunan tumpang sari, dan menjaga hutan dari aktivitas ilegal semisal pembalakan kayu,” kata Wahyudi kepada Mongabay Indonesia, Selasa [21/7/2020].

Sistem tumpang sari ini, kata dia, sangat membantu sebagai sumber ketahanan pangan masyarakat, terutama saat pendemi korona [COVID-19]. “Tidak ada laporan krisis pangan di wilayah masyarakat yang mengembangkan perhutanan sosial. Dengan tumpang sari, masyarakat bisa menanam sumber karbohidrat, minimal untuk keluarga sendiri,” lanjutnya.

Di Lampung, ada empat skema yang digunakan. Pertama, hutan kemasyarakatan [Hkm], skema ini telah melahirkan 177 kelompok untuk dimanfaatkan 60.679 kepala keluarga. Luas pengelolaan 147.361,21 hektar.

Kedua, hutan tanaman rakyat [HTR], total 13 izin yang dikeluarkan dan telah dimanfaatkan 7.521 kepala keluaga. Luas lahan 2.159 hektar. Ketiga, hutan desa [HD], total 22 kelompok yang bermanfaat untuk 9.210 kepala keluarga. Total luasan 2.015 hektar. Keempat, kemitraan kehutanan [KK], total 47 izin untuk 4.102 kepala keluarga. Luasannya 11.562,72 hektar.

“Hanya satu skema yang belum kami laksanakan, yaitu hutan adat,” kata Wahyudi.

Tantangan ke depan, dari luasan hutan yang dimanfaatkan untuk perhutanan sosial, adalah pembinaan agar masyarakat berkembang. DIharapkan, mereka bisa sejahtera secara ekonomi sekaligus mampu melestarkan hutan dengan menanam kayu.

“Salah satu caranya, dengan memaksimalkan pendampingan dari awal hingga berhasil,” tegasnya.

Baca juga: Pertanian Berkelanjutan: Untuk Keamanan Pangan atau Untuk Ketahanan Petani?

 

Perubahan iklim dianggap sebagai ancaman pertanian tanaman pangan. Di masa yang akan datang para peneliti menyebut faktor perubahan iklim akan berpengaruh besar terhadap produktivitas tanaman. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Praktik pengelolaan

Praktik pengelolaan hutan melibatkan masyarakat memang sudah berjalan di Lampung.

Tulisan “Perkembangan Hutan Kemasyarakatan di Provinsi Lampung” karya Sanudin, San Afri Awing, dkk., pada Jurnal Manusia dan Lingkungan terbitan Universitas Gajah Mada [UGM] 2016, menjelaskan bahwa pengelolaan hutan masyarakat bermula dari perkebunan repong damar yang dilakukan masyarakat Krui, Lampung Barat.

Pemerintah kemudian memberikan pengakuan terhadap pengelolaan hutan tersebut, melalui Surat Ketetapan Menteri Kehutanan Nomor 47/Kpts-II/1995. Isinya, menetapkan Hutan Krui seluas 29.000 hektar sebagai kawasan tujuan istimewa.

Titik awal hutan kemasyarakatan [HKm] dimulai pada 1998 dengan terbitnya Surat Ketetapan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 667/Kpts-II/1999 tentang HKm dan Izin Usaha Pemanfaatan HKm [IUPHKm] kepada Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan [KPPH] Sumber Agung di Register 19 Gunung Betung, Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman.

Ketika peluncuran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Kpts-II/2007 tentang HKm di Yogyakarta, Provinsi Lampung mendapat target HKm seluas 85.280,21 hektar, dari target 400.000 hektar tingkat nasional.

 

 

Exit mobile version