Mongabay.co.id

Penjaga Bumi dari Lampung Barat

 

  

Di balik pelaksanaan perhutanan sosial, ada petani yang berjibaku mengelola hutan tetap lestari.

Ahmad Erfan [56] memegang erat stang motornya. Ia begitu percaya diri, memacu trail hasil modifikasi dengan ban bergerigi besar. Tak lupa, ia membawa rantai cadangan yang bisa diikat ke roda, antisipasi jika jalan berlumpur menghadang.

Jalan setapak sepanjang 1.300 meter itu cukup menantang. Tanjakan dan turunan curam menjadi rintangan sehari-sehari Erfan dan para petani kopi lain, di Register 45B, Pekon Tugusari, Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat, Lampung.

Jarak kebun kopi robusta Erfan dari rumahnya sekitar sepuluh menit. Akhir Juli hingga Oktober 2020, merupakan jadwal panen raya. Dalam perkiraannya, setiap hektar akan menghasilkan 3 ton biji kopi kering.

Pada ketinggian 991 meter dari permukaan laut [m dpl], Erfan menanam kopi yang diselingi tanaman sengon, lamtoro, alpukat, durian, pisang, lada, cabai rawit, dan empon-empon.

Tanaman tersebut tidak sembarang. Pengalaman tahunan, mengajarinya bagaimana membuat formula yang tepat, agar kopi beserta tanaman tersebut sama-sama berbuah lebat.

Kuncinya, kopi harus memiliki tanaman naungan lebih tinggi. Di sisi lain, kopi membutuhkan unsur hara mikro nitrogen yang bisa disuplai dari tanaman legum, melalui akarnya.

“Antara kopi dan naungan jangan sampai berebut unsur hara. Penanaman bisa kombinasi buah-buahan, tanaman kayu, juga kebun campuran,” ujar bapak tiga anak, Sabtu [11/7/2020].

Usaha Erfan sebagai petani penjaga hutan di register 45B tak sia-sia. Dia mendapatkan penghargaan sebagai Tokoh Hutan Sosial 2018 pilihan Tempo.

 

Ahmad Erfan tampak memetik kopi di kebunnya. Foto: Lutfi Yulisa

 

Tokoh yang terlibat

Kelompok Tani Mitra Wana Lestari Sejahtera yang dikomandoi Erfan mendapat izin mengelola hutan kemasyarakatan [HKm] seluas 262 hektar. Sekitar 103 hektar, berupa lahan miring, mereka tanam pohon kayu untuk konservasi. Ada juga Sugeng Riyanto [48] yang merupakan konseptor dan motivator bersama Erfan, serta Lasimin sebagai eksekutor lapangan, yang aktif di kelompok ini.

Ketiganya, kini sudah menjadi tenaga fasilitator di Lampung Barat. Pada 2006, kelompok tani ini mendapat penghargaan Country Best Forest Management [CBFM] Award dari Kementerian Lingkungan Hidup RI.

Erfan cukup gencar mendampingi petani ketika izin terbit. Program kebun campuran dalam kebun kopi ia luncurkan, untuk diterapkan pada petani kopi yang dikenalnya. “Berbagi ilmu itu gratis, selagi bisa saya akan terus berbuat,” ucapnya.

Kini, anggota kelompok taninya sudah 103 anggota. Erfan paham, hutan bisa dikelola dengan baik oleh masyarakat, asalkan tidak diubah fungsinya. “Selama tidak merusak, masyarakat bisa diberi akses.”

“Saya ini bisanya bertani, tapi tidak punya lahan. Izin tersebut membuat saya bisa menghidupi keluarga,” tutur Lasimin.

 

Erfan menanam kopi yang diselingi sengon, lamtoro, alpukat, durian, pisang, lada, juga cabai rawit. Foto: Lampung Post/Dian Wahyu Kusuma

 

Selain Mitra Wana Lestari Sejahtera, ada juga Kelompok Tani Bina Wana. Mantan Kepala Desa Tri Budi Syukur, Engkos Kosasih, yang juga ketua kelompok ini menceritakan bagaimana gigihnya perangkat desa mendukung perjuangan tersebut.

Pada 1994, warga yang menggarap lahan register diusir oleh pasukan gajah. Dua tahun berselang, Engkos dan para petani coba mengkomunikasikan permasalahan ini kepada pemda.

“Ekonomi warga saat itu collapse. Bupati datang, melihat bekas garapan dan akhirnya menjamin warga bisa menanam lagi. Meski begitu, ada warga yang trauma akibat pengusiran.”

Engkos gigih meyakinkan masyarakat untuk kembali menggarap lahan. Kabar baiknya, pada 1999 terbit surat keputusan tentang hutan kemasyarakatan [HKm] dari pemerintah pusat. Dia segera membentuk kelompok tani, mengelola lahan register. Namun, saat izin berlaku habis, selama 5 tahun, pada 2005 mereka bingung apakah lahan masih bisa digarap atau tidak.

Kabar baik datang. Pemerintah pusat mengeluarkan izin tambahan. “Launching di Yogyakarta tahun 2007, petani mendapat izin kelola hutan selama 35 tahun. Selanjutnya, kami sosialisasikan dan muncullah sejumlah kelompok tani.”

Semua yang dilakukan anggota, menjaga hutan dengan konsep hutan kemasyarakatan. Para petani bisa berkebun dan dapat hasil sementara pemerintah tidak memungut biaya. Mereka kini merasakan manfaat hadirnya perhutanan sosial.

“Sebelum ada Hkm, masyarakat yang sekolah hingga SMA bisa dihitung jari. Sekarang, sarjana sudah banyak,” tuturnya.

Berdasarkan penelitian World Agroforestry Centre-ICRAF, dalam publikasinya di Jurnal Agrivita 2004, bertajuk Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat, Provinsi Lampung, Bruno Verbist dan Gamal Pasya menjelaskan bahwa konsep Hkm secara ekonomis menguntungkan.

Lanskap mosaik dengan kombinasi berbagai sistem tanam kopi, hamparan sawah, dan lajur tanaman/pepohonan di sepanjang bantaran sungai [riparian strips] tidak selalu buruk, bahkan lebih baik ketimbang hanya hutan sebagai penyedia fungsi daerah aliran sungai [DAS] bagi masyarakat.

 

Akhir Juli hingga Oktober adalah waktunya panen kopi. Foto: Lutfi Yulisa

 

Hutan lestari masyarakat sejahtera

Wahyudi, Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat dan Usaha Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung menerangkan, Dinas Kehutanan Lampung telah memberikan 214 izin selama Januari-Mei 2020 pada lahan seluas 176.363 hektar. Sekitar 78 ribu kepala keluarga memperoleh manfaat.

Dia merinci, kerusakan hutan di Lampung mencapai 375.928 hektar yakni 37,42 persen dari total 1.004.735 hektar. Sementara, kawasan hutan negara di Lampung mencapai 28,45 persen dari total luas Provinsi Lampung. Dengan pemberian izin, diharapkan praktik illegal loging berkurang.

Hutan kemasyarakatan memiliki skema lebih fleksibel. Masyarakat boleh menerapkan tumpang sari dengan tanaman kehutanan, asalkan tidak menebang pohon kayu tersebut.

“Kami tidak tolerir [kalau menebang].”

Ia menilai, penerapan perhutanan sosial tidak bisa dipaksakan. Secara umum, pemerintah memiliki Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial [PIAPS]. Fungsinya untuk mengurangi konflik, menambah kesejahteraan warga, dan mengembalikan fungsi hutan.

“Jadi, konsepnya keberlanjutan. Hutan yang telanjur rusak juga bisa diberi izin. Opsi pertama, apakah warganya mau keluar dari hutan. Jika tidak, mereka harus mengikuti peraturan perhutan sosial.”

Menurut Wahyudi, pemanfaatan perhutanan sosial di Lampung sudah diimplementasikan pada hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan. Sementara, hutan adat belum karena syaratnya cukup berat.

 

Selain berkebun kopi, masyarakat juga turut menjaga kelestarian hutan di Register 45B, Pekon Tugusari, Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat, Lampung. Foto: Lutfi Yulisa

 

Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat KLHK, B. Herudojo Tjiptono, saat seminar daring “Perhutanan Sosial dalam Pengelolaan Hutan” pada Kamis [09/7/2020], memaparkan tujuan jangka panjang perhutanan sosial. Utamanya adalah terbangun pusat-pusat ekonomi domestik dan pertumbuhan desa. Juga, ada sentra produksi hasil hutan berbasis desa yang menyerap tenaga kerja, guna mengentaskan kemiskinan.

PIAPS mencerminkan alokasi kawasan hutan yang bisa diajukan masyarakat. Secara nasional sampai 24 Juni 2020, realisasi capaian perhutanan sosial sekitar 4.194.689,82 hektar, melibatkan 859.809 kepala keluarga dan 6.632 unit SK izin/hak.

Di Lampung, berdasarkan PIAPS, dari luasan 383.594 hektar capaian perhutanan sosial sudah termanfaatkan 214.333 hektar. “Saya pikir sangat bagus, sudah 60 persen. Peluangnya besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membantu kebutuhan lahan.”

Senada Herudojo, peneliti perhutanan sosial dari Universitas Lampung, Hari Kaskoyo, Rabu [15/7/2020] menuturkan bahwa perhutanan sosial memberi anugerah kepada masyarakat luas, yakni sumber air terjaga serta menghindari erosi tanah.

“Hutan sehat memang karunia Tuhan. Tapi, kita harus tahu, manusia butuh pasokan oksigen, belum lagi kebakaran yang menyebabkan polusi udara. Kalau udara sejuk, kan tidak perlu AC.”

Hari membuat disertasi tentang perhutanan sosial di Lampung Barat. Ia mengatakan neraca sumber daya hutan harus ada. “Petani harus diakui perannya, kalau berhasil ya harus dianggap menjaga hutan.”

 

Perhutanan sosial melalui skema hutan kemasyarakatan memberi dampak positif bagi kehidupan masyarakat di Register 45B, Pekon Tugusari, Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat, Lampung. Foto: Lutfi Yulisa

 

Dia meneliti banyak aspek sebelum dan sesudah warga mengikuti pengelolaan hutan kemasyarakatan dari segi alam, sosial, finansial, manusia, dan fisik. Laporannya, terbit di Journal of Sustainable Forestry pada 2017.

Hari menyebutkan, setelah ikut HKm, secara umum rumah warga yang berdinding dan beratap kayu menurun untuk semua kategori kekayaan, sedangkan rumah berdinding bata dan beratap meningkat. Kepemilikan sepeda motor dan ponsel juga meningkat setelah petani mengikuti HKm.

Setelah masuk program, perubahan paling nyata pada kategori modal manusia adalah proporsi rumah tangga yang menerima pelatihan informal. Ini meningkat signifikan.

Pelatihan informal tersebut termasuk layanan pertanian, pembuatan hambatan bangunan untuk erosi, agroforestry, pengolahan kopi, dan sadap karet. Pelatihan ini meningkatkan kemampuan petani untuk secara efisien memanfaatkan modal alam dan produktivitas.

Persentase anak bersekolah juga naik, untuk rumah tangga miskin. Faktor ini merupakan kesadaran petani, pendidikan dapat meningkatkan penghidupan anak-anak mereka.

Masalah saat ini, tutur Hari, sejak 2016 adalah pengelolaan hutan yang beralih dari kabupaten ke provinsi. Dana yang diterima kesatuan pengelolaan hutan [KPH] dari Rp1 miliar menjadi Rp600 juta.

“Pengelolaan hutan membutuhkan uang operasional. Bagaimana membuat sistem hutan lestari? Kalau begini, pemerintah kabupaten mesti mengevaluasi,” ujarnya.

 

Tujuan jangka panjang perhutanan sosial adalah terbangunnya pusat-pusat ekonomi domestik dan pertumbuhan desa. Foto: Lampung Post/Dian Wahyu Kusuma

 

Izin menggarap lahan 

Warsito, mantan Kepala Dinas Kehutanan Lampung Barat, menceritakan tantangan yang dihadapinya ketika menjabat. “Selalu ada kebakaran hutan hingga 3.000 hektar, juga penebangan liar dan perburuan satwa.”

Pembentukan kelompok tani tentu sangat membantu, ditambah penyuluh, dan hadirnya LSM lingkungan dalam menjaga hutan. Selama 10 tahun membina, lahir 5 kelompok tani [Bina Wana, Wana Lestari Sejahtera, Setiawan Bakti, Rimba Jaya, dan Rigis Jaya II], yang benar-benar menjaga hutan.

“Hutan lestari dan masyarakat sejahtera akan tercapai melalui perhutanan sosial. Menjaga hutan adalah kewajiban kita semua.”

Kini, perilaku masyarakat sudah berubah 180 derajat. Kebarakan hutan nyaris tidak ada, begitu pula penebangan liar dan perburuan satwa. “Mereka adalah petani penjaga,” terang penerima penghargaan Tokoh Penggerak Perhutan Sosial KLHK 2019.

Warsito menambahkan, pengelolaan hutan bersama masyarakat hasilnya lebih baik dibandingkan hutan taman nasional. “Setelah mantap dengan konsep hutan kemasyarakatan, saya menghadap Bupati Lampung Barat. Beliau bertanya, jadi ini nanti mau nebangin hutan?”

“Tidak Pak, justrus mereka akan menanam, tidak akan menebang pohon. Kopinya kan berbuah dan hutan akan semakin bagus,” jawabnya saat itu.

Bupati setuju, mengizinkan warga mengelola hutan sementara. Izin yang membawa angin segar bagi para petani di Pekon Tugusari, Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat.

Setelah mendapatkan izin sementara, 5 tahun selanjutnya mereka dievaluasi yang hasilnya bagus. Kabar gembiranya, tutur Warsito, terbitlah izin pengelolaan hutan kemasyarakatan selama 35 tahun, terhitung sejak 2007.

 

* Dian Wahyu Kusuma, jurnalis Lampung Post. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version