Mongabay.co.id

Kerusakan Alam, Pandemi dan Sembilan Batas Ekologi Bumi

“Tidak ada kekayaan selain kehidupan,” John Ruskin, 1860.

 

Hasil pertemuan para ahli bakteriologi, virologi dan penyakit menular di markas besar World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 menghasilkan suatu peringatan besar untuk dunia. Disease X, begitu nama yang disematkan oleh WHO terkait prediksi munculnya penyakit yang datang dari patogen dan akan menyerang umat manusia dalam waktu yang singkat.

Ternyata apa yang diprediksi oleh WHO menjadi kenyataan. Dua tahun kemudian virus SARS-CoV-2 akhirnya muncul dan kemudian menyebabkan penyakit menular sekaligus mematikan yang dikenal sebagai Covid 19.

Kepala viroscience University Medical Center di Rotterdam, Marion Koopmans, yang juga bertindak sebagai ahli di WHO mengatakan penyakit Covid 19 ini cocok dengan karakteristik Disease X yang diprediksi WHO 2 tahun silam.[1]

Laporan terbaru dari World Wild Fund for Nature (WWF) misalnya menjelaskan, dalam 60 tahun terakhir, daftar penyakit-penyakit yang diklasifikasikan sebagai pandemi semuanya lahir akibat kerusakan alam yang parah, mulai dari HIV, SARS, MERS, ZIKA, EBOLA dan tentu COVID 19.

Baca juga: Sampah Plastik, Laut Tercemar dan Target SDGs

 

Kerusakan alam, kebakaran hutan, dan kabut asap adalah hasil dari praktik ekonomi yang berlawanan dengan etika lingkungan. Foto; Yitno Suprapto/Mongabay Indonesia

 

Krisis Lingkungan = Next Pandemic

Poin utama dalam laporan WWF menyebutkan, konversi lahan besar-besaran yang dilakukan pada ranah agrikultur adalah “driving force” bagi munculnya pandemi. Hutan-hutan terus ditebangi untuk dibuat menjadi lahan pertanian karena kebutuhan konsumsi yang terus meningkat dan pola makan manusia yang berubah.

Hal ini membuat patogen-patogen yang awalnya ada pada hewan liar dan dijaga oleh ekologi hutan, akhirnya berinteraksi dengan manusia. Ini sesungguhnya menjadi sebuah poin penting untuk menggambarkan, bagaimana kesehatan manusia dan keseimbangan alam memiliki koneksi yang sangat erat.

Contoh kasus pertama dapat dipelajari dari merebaknya virus Ebola di daratan Afrika pada tahun 2014 -2016 silam. Virus yang diyakini oleh para peneliti berasal dari hewan liar seperti kalong (salah satu jenis kelelawar) dan primata liar lainnya yang terdesak akibat masifnya penebangan hutan.

Hutan-hutan di wilayah Afrika memang mengalami fenomena yang cukup miris. Di kawasan Ghana (Afrika Barat) misalnya, pembukaan lahan aktif dilakukan sebagai cara untuk meningkatkan nilai ekonomis lahan. Termasuk mengganti hutan dengan tanaman yang dianggap lebih “bernilai”, seperti kakao, sawit dan karet.

Pada saat yang sama, di Kawasan Afrika Tengah, suatu wilayah hutan yang disebut The Congo Basin Forest yang memiliki luas dua juta kilometer persegi, – hampir sama dengan luas Meksiko, dan sekaligus merupakan hutan hujan terbesar kedua di dunia setelah Amazon, mengalami proses deforestasi yang amat menyedihkan.

Tiap tahun diperkirakan satu juta hektar wilayah hutan ditebang demi kepentingan komersial seperti perdagangan kayu dan industri agrikultur.[2]

Para peneliti meyakini, penebangan hutan ilegal, – habitat asli satwa liar seperti kalong, membuat mereka terpaksa menyingkir keluar hutan. Selanjutnya mereka berinteraksi dengan hewan domestik dan ternak peliharaan manusia.

Interaksi ini yang kemudian berperan sebagai jalur transmisi berpindahnya patogen dari hewan liar ke hewan domestik/ternak, yang pada tahap akhir sampai kepada pemilik ternak (manusia) dan  menyebar ke seluruh dunia.

Rob Wallace, seorang biologis dan penulis buku Big Farms Make Big Flu membuat satu argumen yang sangat berani. Dia menjustifikasi fenomena perusakan hutan oleh aktivitas ekonomi dengan mengatakan bahwa “peningkatan penebaran virus-virus berbahaya sejalan dengan peningkatan produksi pangan dan profitabilitas dari korporasi multinasional.” [3]

Investasi yang tidak dikendalikan justru mendorong laju deforestasi dan penyebab munculnya pandemi yang baru.

Dari kasus virus Ebola dunia belajar, perampasan wilayah kelelawar buah di Afrika juga dapat menyebabkan kematian di Texas, Amerika.

Pesan mendalam terkait krisis lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi sebenarnya sudah diperingatkan oleh riset yang dilakukan oleh ilmuwan yang tergabung dalam kelompok terkenal Club of Rome.

Laporan tersohor berjudul Limit to Growth yang dipublikasikan pada tahun 1972 memberikan satu peringatan penting, bahwa umur dunia “layak dihuni” hanya tinggal 100 tahun lagi. Jika, tak ada yang berubah dari pola ekonomi manusia.[4]

Industrialisasi, over populasi dan produksi makanan, serta penipisan sumber daya menjadi faktor utama.

 

Donat Ekonomi dan Rethinking Economics

Berbagai peringatan terkait krisis ini perlahan memunculkan kesadaran tersendiri bagi umat manusia. Di kalangan ekonom sendiri, muncul gagasan besar soal Rethinking Economics.

Para ekonom mulai merasa skeptis dan hendak meggugat praktek ekonomi konvensional, yang salah satu karakteristiknya cenderung berlawanan dengan etika lingkungan.

Salah satu gugatan besar misalnya, datang dari seorang professor ekonomi perempuan di Oxford University, Kate Raworth. Melalui bukunya Doughnut Economics: Seven Ways to Think like a 21st-Century Economist, Raworth yang merupakan seorang ekologis, feminis sekaligus ekonomis melempar ide soal ilmu ekonomi yang menyeimbangkan kebutuhan manusia dan keadaan lingkungan.

Baca juga: Harapan Setelah Pandemi COVID-19 adalah Ekonomi Biru

 

Konsep donat ekonomi. Source: © Kate Raworth/Elsevier Ltd under CC BY 4.0 license

 

Gagasan tentang donat ekonomi bersandar pada dua titik poin, yakni planetary boundaries (sembilan batas ekologi dunia) dan social foundation.

Dalam konsep donat ekonomi, Raworth menilai aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia harus bermain pada batas aman, yakni wilayah yang tidak melebihi  batas atas (ecological ceiling) dan batas bawah (kebutuhan sosial manusia).[5]

Batas atas ekologi mengambil konsep  tentang batas aman bumi yang berisi sembilan indikator ; 1) perubahan iklim; (2) pengasaman air laut; (3) penipisan ozon di stratosfer; (4) batas aliran biogeokimia (siklus nitrogen dan fosfor); (5) penggunaan air bersih global; (6) perubahan pemanfaatan lahan; (7) hilangnya keanekaragaman hayati; (8) pelepasan aerosol ke atmosfer; dan (9) polusi kimia.

Sedangkan pada sisi lain, jika hanya fokus pada usaha menjaga lingkungan tanpa memperhatikan aspek ekonomi dan sosial lainnya, ancaman seperti terbatasnya ketersediaan makanan, rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan juga akan mengintai.

Karena itu, konsep donat ekonomi juga memiliki batas bawah, indikator sosial yang diserap dari konsensus tentang pembangunan berkelanjutan dunia (Sustainable Development Goals).[6]  Sehingga, keseimbangan yang dimaksud Raworth adalah perilaku ekonomi yang tidak melanggar batas ekologi (overshoot) dan tidak menyebabkan terjadinya krisis sosial (shortfall).

Celakanya, realitas hari ini membuat kita menjadi miris. Penelitian dari Oxfam, lembaga yang fokus menangani kemiskinan dan kesenjangan misalnya menyebutkan, terjadi krisis sosial yang amat parah akibat kesenjangan ekonomi yang tinggi.[7]

Disaat yang sama, penelitian juga membuktikan bahwa tiga dari sembilan indikator batas aman dunia telah melampaui batas toleransi.[8] Untuk memperbaiki situasi ini, Raworth mengajukan tujuh tesis dalam konsep donat ekonomi.

Ada satu gagasan yang cukup menarik terkait isu ekonomi dan lingkungan, yakni model perilaku ekonomi regeneratif yang bertumpu pada sistem Circular Economy.

Baca juga: Pandemi, Pangan dan Pemanfaatan Hutan bagi Rakyat

 

Seorang anak bermain di sela-sela limbah dan sampah di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara. Foto diambil pada bulan April 2018. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Demi menghasilkan siklus ekonomi yang regeneratif, Raworth membedakan aktivitas produksi dalam ekonomi menjadi dua bagian yang diilustrasikan ibarat dua sayap kupu-kupu.

Pertama, aktivitas ekonomi yang berasal dari bahan baku alam dan mempunyai sifat mudah terurai seperti tumbuhan biji kopi, tidak boleh berhenti digunakan hanya pada suatu proses, lantas dibuang sebagai limbah produksi.

Prinsip ini berdasarkan dari hasil riset bahwa hanya kurang dari 1% biji kopi yang digunakan dalam secangkir kopi, selebihnya sisa ampas dari proses ini langsung dibuang ke tumpukan sampah. Padahal, ampas organik semacam itu dapat digunakan sebagai medium yang baik untuk proses ekonomi selanjutnya seperti pakan untuk ternak atau dikembalikan ke tanah sebagai pupuk.

Prinsip selanjutnya dari aktivitas produksi yang biologis adalah memastikan bahwa sumber daya ini dipanen tidak lebih cepat dari proses yang dibutuhkan alam untuk memproduksinya.

Kedua, aktivitas ekonomi berasal dari bahan baku non organik yang tidak terurai dengan mudah seperti plastik dan serat logam, tidak hanya didasarkan pada prinsip recycling (daur ulang) tapi juga upcycling (penggunaan bahan baku yang sama untuk jenis produk yang lain).

Dalam konteks ini, Raworth mengambil contoh dari produksi telepon genggam di Eropa pada tahun 2010. Setiap tahun, terdapat lebih dari 160 juta ponsel yang diproduksi, namun hanya 6 % diantaranya yang dipakai kembali, 9 % yang dibongkar kemudian didaur ulang dan mayoritas 85 % berakhir di tempat sampah.

Melalui konsep donat ekonomi, Raworth mengirim pesan bahwa krisis lingkungan akut tidak bisa diselesaikan bahkan hanya dengan model ekonomi yang ramah lingkungan saja.

Perlu terobosan lebih jauh menggunakan model ekonomi yang justru produktif bagi lingkungan. Ia menggugat model ekonomi konvensional yang memakai prinsip take to make to use then lose, lalu mengajukan konsep creates to regenerate dengan perilaku ekonomi yang restoratif dan regeneratif.

Jika diterapkan, model ekonomi seperti ini akan menjadi babak baru dalam hubungan ekonomi dan lingkungan. Apalagi, jika ditinjau ulang, lingkungan yang rusak tidak hanya mengancam kesehatan manusia, namun juga memiliki kerugian ekonomi yang besar.

Pandemi Covid 19 yang hanya terjadi sekitar 6 bulan saja, ditaksir menghasilkan kerugian sekiar 8,8 juta dollar, tiga kali lebih besar dari PDB yang dihasilkan United Kingdom (UK)  [9].

Maka, masih berpegang pada perilaku ekonomi yang konvesional seperti menjual hutan demi investasi-yang terkadang mengabaikan prinsip lingkungan- adalah ide yang buruk. Terkait hal ini, kalimat dalam laporan WWF memberi peringatan “The bill will be paid many times over”.

 

Referensi:

[1] https://www.thejakartapost.com/life/2020/02/22/coronavirus-may-be-the-disease-x-health-agency-warned-about.html

[2] World Wild Fund for Nature. “Covid 19: Urgent Call to Protect People and Nature.” WWF Report (2020): 17

[3] https://climateandcapitalism.com/2020/03/11/capitalist-agriculture-and-covid-19-a-deadly-combination/

[4] Donella H. Meadows, Dennis L. Meadows, Jorgen Randers, and William W. Behrens. “The Limits to Growth: A Report for the Club of Rome’s Project on the Predicament of Mankind. New American Library (1972): 29.

[5] Kate Raworth. “Doughnut Economics: Seven Ways to Think like a 21st-Century Economist.” Random House Business Books (2017): 34-35.

[6] https://www.kateraworth.com/doughnut/

[7] Oxfam International. ”Time to Care: Unpaid and Underpaid Care Work and The Global Inequality Crisis.” Oxfam Report (2020): 20-21.

[8] Fred Magdoff, John B. Foster. “What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and the Environment.” Monthly Review Press (2011):  13-17.

[9] World Wild Fund for Nature. “Covid 19: Urgent Call to Protect People and Nature.” WWF Report (2020): 7

 

***

 

* Irsyad Madjid,  penulis adalah Aktivis di Kader Hijau Muhammadiyah dan peminat kajian Ekonomi-Ekologi. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

 

Exit mobile version