Mongabay.co.id

Hutan Mangrove Maluku Utara Kian Terdesak

Hutan mangrove di Desa Simau Galela terbabat untuk perkebunan singkong perusahaan. Foto: Radios simanjuntak

 

 

 

 

 

Hutan mangrove di Maluku Utara, banyak berubah jadi perkebunan, tambak, reklamasi maupun pemukiman dan lain-lain. Berbagai kalangan menyuarakan perlu ada langkah cepat menyelamatkan mangrove, kalau tidak kehidupan warga di kepulauan itu bakal terancam.

Di Halmahera Utara, misal, ada perusahaan membabat hutan mangrove, mengganti dengan perkebunan singkong untuk tapioka. Di Halmahera Tengah, perusahaan tambang mengkonversi hutan mangrove jadi kawasan industri tambang. Di perkotaan, hutan mangrove jadi pemukiman, maupun sasaran reklamasi.

Berdasarkan dokumen Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk-RHL DAS) Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai Wilayah Kerja BPDAS Ake Malamo 2014, Malut punya lahan mangrove dan sempadan pantai sekitar 55.322,61 hektar . Khusus hutan mangrove di Malut , ada 46.259,41 hektar dengan kategori rapat 29.848,83 hektar dan kurang rapat 16.410,58 hektar.

Dari data itu, sebaran hutan mangrove dominan di hutan produksi konversi (HPK) 25.594,35 hektar (55,33%), areal penggunaan lain (APL) 13.790,01 hektar, hutan lindung (4.999,04 hektar, hutan produksi 1.324,07 hektar dan hutan produksi terbatas 551,94 hektar.

Beberapa kasus muncul belakangan ini membuat berbagai pihak angkat bicara dan meminta pemerintah daerah dan pusat segera mengambil langkah penyelamatan. Kalau tidak, konversi mangrove makin tak terkendali.

Radios Simanjuntak, Ketua Program Studi Kehutanan, Universitas Halmahera, bilang, seharusnya ada aturan larangan alih fungsi mangrove, sebagaimana di ekosistem gambut.

Bagi dia, dua ekosistem ini memiliki peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim, terutama kemampuan menyerap karbon yang tersimpan dalam tanah jauh lebih tinggi dari hutan mineral.

Mangrove Indonesia, katanya, menyimpan sepertiga cadangan karbon dunia. “Hutan mangrove juga menyerap 20 kali lebih besar CO2 dari hutan tropis daratan,” katanya mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Bagi saya hutan mangrove dengan status hutan lindung maupun bukan, memiliki fungsi ekologis sama.”

Dia menyarankan, pemerintah daerah mengambil langkah cepat agar hutan mangrove masuk zona perlindungan dalam tata ruang wilayah daerah. Kalau memungkinkan, agar seluruh hutan mangrove dengan status APL ada aturan perlindungan.

Radios juga usul Dinas Lingkungan Hidup dan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) di tiap kabupaten dan kota bersinergi dengan para pihak, baik akademisi, pegiat lingkungan, maupun pemerintah desa dalam mengupayakan kelola mangrove berkelanjutan bagi masyarakat.

Dia contohkan, wisata mangrove, pengelolaan hasil hutan bukan kayu mangrove dan lain-lain. Begitu juga masyarakat atau kelompok komunitas, katanya, dalam konteks lokal perlu semacam regulasi yang mengatur ini.

“Masyarakat yang pertama terdampak ketika ekosistem mangrove rusak, berupa intrusi air laut ke air tanah, abrasi pantai, hilangnya sumber pangan lokal dari kerang, kepiting dan lain–lain.”

Karena itu, katanya, perlu kesadaran agar tak mengekploitasi mangrove dan pengaturan pemanfaatan yang berkelanjutan. “Pemerintah desa bisa membuat peraturan desa perlindungan mangrove untuk mengamankan hutan mangrove di wilayahnya.”

 

Teluk di Guruapin, di keliling mangrove/ Fptp: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Perdes lindungi mangrove

Di Halmahera Utara, sudah ada peraturan desa ini. Pemerintah Desa Kao, Kecamatan Kao punya Perdes No.03/2017 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup yang mencakup perlindungan hutan mangrove dan keragaman hayati di dalamnya.

Pemerintah Desa Kao juga aktif membangun komunikasi dan sinergi dengan para pihak seperti organisasi masyarakat sipil, pemerintah, maupun perguruan tinggi guna mendukung visi desa jadi destinasi wisata berbasis kelestarian lingkungan.

Saat ini, hutan mangrove di Desa Kao seluas 300,92 hektar sebagai kawasan ekosistem esensial (KEE) melalui SK Bupati Nomor 078/102/HU/2020 tentang Penetapan Kawasan Mangrove dan Pesisir di Desa Kao.

“Sudah waktunya pemerintah mengambil langkah mengatasi tekanan dan eksploitasi hutan mangrove di wilayah ini. Kalau tidak, tahun ke tahun akan mengalami penyusutan dari luasan maupun fungsi ekologinya. Saya kurang tahu apakah gubernur, bupati dan walikota memikirkan kondisi ini atau tidak. Secara kasat kita tidak melihat ada kebijakan arah ke sana.”

Munadi Kilkolda, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut menyoroti hal sama. Kehilangan fungsi mangrove sebagai zona penyangga karena konversi masif terjadi di berbagai tempat di Malut, termasuk karena industri pertambangan.

Dia contohkan di Obi, Gebe, Buli, maupun Lelilef. Padahal, dalam ketentuan UU Kehutanan, seharusnya hutan mangrove dilindungi dan tak bisa dirusak. Fakta terbalik. Di Lelilef dan Buli, katanya, hutan mangrove banyak mati karena tambang.

Malut, katanya, merupakan wilayah kepulauan, rentan terkena perubahan iklim, apalagi dengan karakteristik perkampungan banyak di pesisir. Hutan mangrove, katanya, justru jadi penting sebagai pemecah air guna mencegah laju abrasi pantai.

“Saya usul, harus ada langkah solutif mengatasi ini. Segera dibuat aturan. Dorong berbagai program pada upaya pelestarian hutan mangrove. Dorong program pemberdayaan masyarakat yang hidup dan bersentuhan dengan hutan mangrove,” katanya.

Kalau ada pelanggaran, kata Munadi, penegakan hukum penting. Dalam konteks pengelolaan hutan mangrove, katanya, masyarakat adat dan tradisional sekitar mangrove, harus dapat peran. Melalui mereka, katanya, bisa menjaga hutan mangrove.

Virni Budi Arihanti, peneliti Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), berbicara mangrove jadi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Dia mengatakan, tekanan terhadap ekosistem mangrove sangat tinggi. Konversi lahan mangrove terjadi di mana mana mulai jadi tambak, infrastruktur, reklamasi pantai, bahkan terkena sampah laut.

Dari semua ancaman itu, katanya, konversi mangrove jadi tambak menduduki posisi tertinggi. Tambak, kata Virni, jadi pendorong deforestasi ini.

Laju kerusakan hutan mangrove di Indonesia, setiap tahun sekitar 52.000 hektar.Laju deforestasi, katanya, tidak diikuti rehabilitasi. “Tantangan bisa tidak merehabilitasi hutan yang tergradasi dan mencegah perusakan.”

Dia mengusulkan pertama, konservasi mangrove tersisa. “KLHK punya program pengelolaan KEE juga KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan-red) punya program. Bisa mengarusutamakan konservasi mangrove oleh dua kementerian.”

Kedua, perlu ada larangan buka hutan mangrove.  “Pemerintah perlu mengeluarkan perturan mengenai moratorium konversi mangrove. Apakah itu konversi jadi tambak atau sawit dan lain-lain.”

KLHK sudah punya peraturan larangan membuka lahan gambut. “Kenapa mangrove tidak dibuat? Ini karena mangrove sangat terancam jadi perlu moratorium,” katanya.

 

 

 

Keterangan foto utama:  Hutan mangrove di Desa Simau Galela terbabat untuk perkebunan singkong perusahaan. untuk bikin tapioka Foto: Radios simanjuntak

Exit mobile version