Mongabay.co.id

Pulau Langkai, Surga Penyu yang Terlupakan

Seekor tukik penyu hijau (Chelonia mydas) yang siap berenang bebas pesisir pantai Desa Sindangkerta, Tasikmalaya, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Wajah Abdul Rahman Bando berseri-seri menghitung satu persatu tukik yang ditempatkan di sebuah ember plastik. Pelan-pelan Kepala Dinas Perikanan dan Pertanian (DPP) Kota Makassar ini menghitung dengan cara memindahkan tukik itu ke ember yang lain. Terhitung 76 tukik.

Seorang warga membawa ember yang lain yang setelah dihitung berisi sekitar 30 tukik. Total 106 tukik dari kedua ember tersebut.

“Ini harus segera dilepas,” kata Rahman sambil mengajak warga berbaris rapi di sekitar pantai. Tak butuh 10 menit hingga tukik-tukik itu telah berada di laut lepas, meski harus bersusah payah diterjang ombak yang sedikit kencang pagi itu.

Aksi pelepasan tukik ini dilakukan di Pulau Langkai, satu dari tiga pulau terluar yang ada di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (3/7/2020).

baca : Menjaga Masa Depan Penyu di Kapoposang

Pulau Langkai tak begitu besar. Luasnya hanya sekitar 800 meter x 600 meter, namun padat penduduk. Tercatat sekitar 1200 warga dengan 300 kepala keluarga. Secara administratif pulau ini berada di Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar.

Dari Makassar, berangkat dari pelabuhan Paotere butuh waktu sekitar 3 jam bagi perahu nelayan untuk tiba di pulau. Sementara menggunakan kapal speed hanya butuh waktu sekitar 1 jam.

Menurut Rahman Bando, kegiatan pelepasan tukik ini sebenarnya tak terencana. Dua hari sebelumnya ia memperoleh informasi adanya telur penyu yang dipelihara warga hingga menjadi tukik. Umurnya sudah sebulan lebih, siap untuk dilepas ke lautan bebas.

“Upaya warga ini harus diapresiasi, makanya saya kemudian membawa tim ke pulau ini, meski sebenarnya ini tidak lagi menjadi kewenangan pemda, namun ada di provinsi,” katanya.

baca juga : Abrasi Parah, Kampung Mampie dan Penyelamatan Penyu Terancam

 

Kepala Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makassar Abdul Rahman Bando bersama masyarakat melepas tukik penyu di Pulau Langkai. Terdapat 106 tukik dilepas hasil tangkaran mandiri masyarakat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Pemeliharaan tukik ini sendiri dilakukan oleh dua warga Pulau Langkai, yaitu Syamsuddin dan Hamran. Keduanya adalah nelayan pancing yang kebetulan menemukan telur-telur tersebut di sekitar pantai.

“Telur penyu ini diperoleh di sekitar pantai saat bulan puasa. Saya pindahkan ke tempat lebih tinggi jauh dari jangkauan ombak lalu diberi jaring sebagai pelindung. Dari 100-an telur yang saya dapat dari dua lubang hanya 76 ekor yang bertahan hidup,” ungkap Syamsuddin.

Hal yang sama dilakukan Hamran seminggu setelah penemuan Syamsuddin. Ia menemukan 80 telur yang kemudian tersisa 30 telur yang menjadi tukik.

 

Tidak Lazim Dipelihara

Inisiatif warga mengumpulkan, menjaga dan memelihara tukik ini di luar kelaziman, karena biasanya telur-telur penyu diambil untuk konsumsi atau diperjualbelikan seharga Rp15 ribu/ telur. Kedua nelayan ini bahkan memberi makan tukik-tukik ini setiap hari dengan potongan-potongan ikan.

Menurut Junaid, salah satu Ketua RT setempat, ia memang selalu meminta warga untuk menjaga telur penyu yang ditemukan di pantai, namun tak semua warga menuruti anjuran tersebut.

“Selalu kami sampaikan ke warga agar menjaga telur penyu, jangan dimakan atau dijual, kalau perlu dijaga dan dilepas kalau sudah menetas,” katanya.

Besarnya keinginan Junaid untuk kelestarian penyu tersebut yang membawanya ke daratan Makassar, tepatnya di Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makassar, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan tim dinas ke pulau tersebut.

Pulau Langkai sendiri telah menjadi surga kecil bagi penyu, tempat mereka datang bertelur di musim-musim tertentu.

“Kadang ada yang datang sampai dua ekor besarnya sekitar semeter lebih. Datang bertelur lalu pergi. Kami di sini sudah terbiasa jadi dibiarkan saja tanpa diganggu, cuma kadang telurnya ada yang ambil untuk dimakan atau dijual,” jelas Syamsuddin.

perlu dibaca : Penyu Belimbing Masih Dikonsumsi Masyarakat Mentawai, Mengapa?

 

Warga Pulau Langkai, Makassar, Sulawesi Selatan, yang cukup terisolasi. Untuk mendapatkan akses telepon dan internet warga harus memanjat pohon. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Potret Suram Pulau Langkai

Jauh dari pusat kota, Pulau Langkai termasuk daerah yang terisolasi. Akses telepon dan internet sangat terbatas, sehingga kesulitan dalam mendapatkan ataupun memberikan informasi ke dunia luar.

Untuk mendapatkan jaringan telepon dan internet, satu-satunya spot yang ada adalah puncak sebuah pohon. Salah seorang warga akan memanjat ke puncak pohon yang kemudian akan melakukan tethering, sehingga orang-orang yang di bawahnya bisa terhubung dengan jaringan telepon dan internet.

“Beginilah cara warga pulau mendapatkan informasi dari luar. Pulang melaut warga banyak berkumpul sekitar tempat ini untuk sekedar bermedia sosial atau mengirim informasi ke luar pulau. Kadang sampai jam 1 malam. Malah bisa sampai jam 3 malam kalau bulan puasa,” jelas H. Baharuddin, Ketua RW setempat.

Baharuddin juga merupakan punggawa kapal. Ia punya 4 awak yang membantunya mencari ikan. Di musim tertentu mereka mencari telur ikan terbang. Sebulan bisa dapat 100 kg. Harganya sekarang Rp450 ribu/kg. Dari hasil tangkapan, sebulan bisa memperoleh penghasilan bersih sekitar Rp12 juta. Setelah dipotong honor awak kapal, pembelian BBM dan kebutuhan logistik selama di laut.

Hanya saja tak semua nelayan bernasib sama H. Baharuddin. Tak semua nelayan memiliki modal untuk memiliki armada pencari telur ikan. Setidaknya harus memiliki kapal berukuran 30 GT yang hanya dimiliki oleh 4 orang di pulau tersebut.

Sebelum pandemi COVID-19, nelayan masih hidup berkecukupan, namun sekarang kehidupan ekonomi mereka terganggu. Produktivitas menurun karena harga ikan turun drastis. Utang menumpuk di punggawa karena terkadang penghasilan dari hasil melaut tak menutupi biaya operasional.

“Sekarang harga ikan turun. Gurita turun dari Rp70.000/kg, sekarang tinggal Rp30.000/kg. Ikan tenggiri kini juga cuma Rp30.000/kg, padahal dulu Rp80-Rp100.000/kg. Ikan sunu juga turun drastis,” ungkap Syamsuddin.

Kini sebagian besar nelayan malah memilih tak melaut. Syamsuddin mengakui dalam seminggu hanya bisa mendapatkan beberapa ekor ikan tenggiri, sementara BBM yang digunakan sudah mencapai 100 liter.

“Sekarang lebih banyak tinggal di pulau memperbaiki alat tangkap. Melaut juga rugi, hasil sedikit dan harga juga turun.”

menarik dibaca : Tradisi Perburuan Tabob : Pendekatan Agama Lebih Efektif Lindungi Penyu Belimbing [2]

 

Seorang nelayan Pulau Langkai, Makassar, Sulsel yang pendapatannya menurun drastis terdampak pandemi COVID-19 Kini mereka bergantung pada pencarian ikan telur terbang yang hanya bisa diusahakan oleh nelayan berkapal besar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Mengubah Mindset Perencanaan

Rahman Bando mengakui kondisi Pulau Langkai memang sedikit tertinggal dibanding pulau-pulau lain, apalagi dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di daratan utama.

“Memang di pulau ini ada banyak persoalan. Tahun 2013 kita kaji, sedikitnya 4 persoalan yang menjadi kebutuhan masyarakat Langkai, seperti pemenuhan air bersih, penerangan listrik, komunikasi dan infrastruktur. Termasuk dermaga termasuk sarana dan prasarana penangkapan dan pendidikan yang tidak memadai,” katanya.

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, DPP kemudian melakukan pengadaan instalasi listrik tenaga surya, yang setelah enam tahun masih berfungsi dengan baik.

“Kemudian kita bikin tandon, tapi tidak cukup untuk warga, karena waktu kita bangun LTS baru terdapat 215 kepala keluarga, sekarang 300-an sehingga harus ada langkah-langkah bantuan lagi ke depan,” katanya.

Masalah lain adalah komunikasi, yang hingga sekarang tak ada jaringan sama sekali, sehingga menghambat mobilisasi warga, termasuk jalannya pemerintahan, karena susahnya akses ke kecamatan dan kota.

“Untuk komunikasi ini kita sudah minta ke masyarakat bermohon ke Pemkot untuk diberikan tambahan penguat sinyal melalui Dinas Kominfo dan Perikanan Makassar,” tambahnya.

Terkait infrastruktur, Rahman mengakui telah mengusulkan perbaikan sarana sekolah SD dan SMP yang saat ini kondisinya sangat buruk.

Terlepas dari sejumlah kebutuhan tersebut, menurut Rahman, hal paling penting yang harus dilakukan adalah mengubah mindset perencanaan pembangunan yang selama ini lebih banyak dihabiskan di daratan utama.

“Warga pulau sering terlupakan sehingga yang mau diubah mindset perencanaan ke masyarakat, jangan hanya di daratan yang diingat. Ini kan masih Makassar, harus diingat agar distribusi merata. Kalau di kota kita aspal ulang jalanan yang sepanjang 5 km, biayanya bisa miliaran. Sementara di pulau cukup dibantu Rp500 juta untuk tandon air bersama sumur airnya sudah sangat berarti.”

 

***

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Seekor tukik penyu hijau (Chelonia mydas) yang siap berenang bebas pesisir pantai Desa Sindangkerta, Tasikmalaya, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version