Mongabay.co.id

Wisata Bromo Buka Agustus, Bagaimana Persiapan bagi Masyarakat Tengger?

Wisatawan menikmati panorama kawasan Gunung Bromo Tengger Semeru, Jatim di puncak Pananjakan 2 atau puncak Bukit Seruni. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, bersiap buka kembali pendakian Gunung Bromo dan Semeru setelah tutup sejak Maret lalu karena pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Para pengunjung wajib memesan daring terlebih dahulu.

Wisatawan harus mengikuti protokol kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19, meliputi kewajiban pengunjung kenakan masker, ukur suhu badan, adan cuci tangan. Tempat cuci tangan juga disediakan. Pengunjung juga harus jarak antar minimal 1,5 meter.

Pengunjung dilarang naik ke kawah Bromo lantaran bibir kawah berpotensi longsor dan berbahaya bagi keselematan pengunjung.

Jhon Kennedie, Kepala Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), mengatakan, reaktivasi TNBTS untuk kunjungan wisata secara bertahap dengan berkoordinasi kepada Gugus Tugas COVID-19 dan pemerintah setempat juga menerapkan protokol kesehatan ketat.

Pelaku usaha wisata dan pengunjung wajib mengikuti protokol kesehatan dan panduan kunjungan wisata alam sesuai prosedur. Para pihak, katanya, berkomitmen menyiapkan reaktivasi bertahap dalam masa transisi. Antara lain, menyiapkan standar operasional prosedur (SOP) wisata alam, sarana prasarana penunjang, kesiapan sumber daya manusia, dan sosialisasi.

BBTNBTS membentuk tim monitoring dan evaluasi terpadu beranggotakan dari balai, gugus tugas COVID-19 dan, TNI, Polri, tokoh masyarakat Tengger dan pelaku usaha wisata. Pengunjung yang melanggar kena sanksi. Sambil mengamati kasus COVID-19, kegiatan wisata sewaktu-waktu bisa tutup kembali.

Pariwisata alam one day trip di wilayah zona hijau atau tidak terdampak dan zona kuning atau risiko rendah dan zona lain dengan rekomendasi tertulis dari bupati. Setelah dibuka, pengunjung hanya dibatasi antara 10-30% dari kapasitas atau daya dukung kawasan.

Jadi, setiap hari wisata Gunung Bromo dibatasi maksimal 739 orang. Rinciannya, wisatawan bisa memilih melihat matahari terbit di Pananjakan maksimal 178 orang, Bukit Cinta 28 orang, Bukit Kedaluh 86 orang, padang sabana di bukit Teletubbies 347 orang, dan Mentigen 100 orang per hari.

Persiapan pembukaan diputuskan dalam rapat koordinasi dengan pemangku kepentingan wisata Gunung Bromo di Kantor BBTNBTS, 1 Juli 2020. Hasil dalam pertemuan Bupati Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang, pelaku usaha wisata, kelompok masyarakat pengiat wisata dan konservasi, dan tokoh masyarakat Tengger.

 

Panorama alam padang sabana di Taman Nasional Bromo Tengger Gunung Bromo. Foto: Eko Widoanto/ Mongabay Indonesia

 

Rapat koordinasi menindaklanjuti Surat Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 261 tertanggal 23 Juni 2020 tentang reaktivasi bertahap kawasan taman nasional, taman wisata alam dan suaka margasatwa untuk kunjungan wisata.

Juga edaran Gubernur Jawa Timur No.650 tertanggal 19 Juni 2020 soal tatanan kenormalan baru sektor pariwisata Jawa Timur.

“Yang jelas Agustus. Tanggal berapa tergantung rekomendasi dari bupati,” kata Jhon, soal waktu pembukaan TNBTS.

Untuk menuju Gunung Bromo ada empat pintu masuk, melalui Ngadas (Malang), Ranupani (Lumajang), Cemoro Lawang (Malang) dan Wonokitri (Pasuruan). Saat ini, hanya Lumajang kategori zona kuning.

Dia bilang, TNBTS masih jadi magnet wisatawan, terutama berwisata kawah Bromo. Sepanjang 2019, kunjungan wisatawan mencapai 690.831 orang, dalam negeri 669.422 dan mancanegara 21.409 orang dengan total Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp22,86 miliar.

Luas wilayah TNBTS 50.276,20 hekta secara administrasi berada di Kabupaten Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang dengan pengelolaan sistem zonasi. Ia terdiri atas zona inti 17.000 hektar, zona rimba 26.000 hektar, pemanfaatan 1.293 hektar, tradisional 3.140 hektar, rehabilitasi 1.907 hektar, zona religi sejarah dan budaya 4,13 hektare dan zona khusus 30,5 hektar.

“Zona inti, rimba harus dijaga karena habitat elang Jawa, macan tutul dan berbagai jenis satwa liar juga beragam flora,” katanya.

Zona tradisional seluas 3.000 hektar untuk masyarakat adat Tengger. Ada 1.300 keluarga hidup di Bromo dan Semeru dan terlibat dalam wisata ini. Ada jadi pekerja di perhotelan, jasa transportasi, kuda, ojek, perajin cinderamata dan toko oleh-oleh. Masa normal, perputaran uang di Bromo sekitar Rp598 miliar per tahun. Sejak pandemi COVID-19, ekonomi pariwisata lumpuh.

 

Dukun adat Desa Tengger merapal doa ditemani anglo berisi kemenyan dan di antara bunga layu berisi sesaji yang akan dilarung di Kawah Gunung Bromo. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Keselamatan dan kesehatan Masyarakat Adat Tengger

Miko, orang Tengger sekaligus Forum Sahabat Gunung, mengatakan sejauh ini, masyarakat Tengger di Cemorolawang, tak menerima orang luar desa sejak pandemi COVID-19. Dusun Cemorolawang, Ngadisari, Kecamatan Sukapuran, Kabupaten Probolinggo, merupakan desa terdekat ke kawah Bromo.

“Bahkan keluarga yang merantau, dilarang pulang. Masyarakat patuh dan taat kepada aturan pemerintah,” katanya.

Aktivitas wisata di Bromo tutup mulai 19 Maret 2020. Masyarakat memasang portal di perbatasan desa, dan menghalau orang yang datang atau melintas di Cemorolawang.

“Pengunjung tak bisa masuk ke Cemorolawang. Hanya sampai di Ngadisari,” katanya.

Sisi lain, katanya, masyarakat adat Tengger minim informasi mengenai tatanan hidup baru atau new normal dengan rencana pembukaan wisata Bromo.

“Mereka tak paham saat menghadapi new normal. Tak ada sosialsiasi ke masyarakat dulu,” katanya.

Masyarakat, katanya, minim informasi dan khawatir tertular kalau pengunjung ramai di perkampungan mereka.

Untuk itu, perlu sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat Cemorolawang, yang paling dekat dengan Gunung Bromo. Dia katakan, perlu ada langkah-langkah ketika wisatawan mau masuk lokasi, seperti pemeriksaan kesehatan atau rapid test sebelum memasuki kawasan Bromo.

Rencana pembukaan aktivitas wisata Bromo, katanya, harus melibatkan masyarakat Tengger, tak cukup hanya pengelola dan pelaku wisata yang menggantungkan hidup di sektor wisata. “Pekerja di sektor wisata sebagian besar warga luar,” katanya.

Masyarakat di Cemorolawang, Ngadisari, Sukapuran, Kabupaten Probolinggo, katanya, tak banyak terdampak meski wisata tutup. Mereka tetap bertani menanam aneka sayuran, seperti kentang, wortel, bawang dan beragam sayuran lain.

Meski sejauh ini terjadi pro dan kontra, sejumlah pihak terutama pelaku wisata mendesak wisata dibuka agar roda ekonomi kembali berputar.

Miko berharap, pembukaan wisata juga memperhatikan kekhawatiran masyarakat Tengger atas potensi penularan COVID-19 yang bisa saja dibawa wisatawan. “Keselamatan dan kesehatan masyarakat Tengger, harus diutamakan.”

Trionko Hermanda dari Komunitas Pecinta Alam Gimbal Alas Indonesia mengingatkan, BBTNBTS memperhatikan masyarakat yang terdekat dengan obyek wisata. Dari soal penerapan protokol kesehatan bagi penjung dan dampak bagi masyarakat. Jangan sampai, katanya, berwisata justru jadi petaka dengan meyebarkan COVID-19.

“Penduduk setempat harus paham. Mereka tahu harus melakukan apa?”

Pembukaan pendakian di Gunung Lawu, katanya, harus jadi pengalaman berharga. Pegunjung membludak tak terkendali, hingga rawan berpotensi menyebarkan COVID-19. Untuk itu, perlu siapkan petugas dan keselamatan serta kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di desa penyangga.

Data, pegiat konservasi mengatakan, kalay Bromo merupakan rumah bagi masyarakat Tengger. Seharusnya, masyarakat Tengger terlibat dalam perencanaan pembukaan.

“Perlu musyawarah bersama masyarakat dan pemimpin adat setempat. Mereka yang menentukan dibuka atau tidak, bukan TNBTS.”

 

Orang Tengger membawa kuda untuk disewakan ke wisatawan melewati padang savana yang masih berkabut di kawasan Bromo Tengger Semeru, wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Hargai kearifan lokal

Penyanyi Agustunis Gusti Nugroho atau akrab disapa Nugie, punya pengalaman spiritual saat pertama kali bertandang ke Gunung Bromo. Pengalaman saat melakoni syuting video klip lagu berjudul Burung Gereja pada 1996 garapan Dimas Djayadiningrat. Dia takjub dengan keindahan alam, padang sabana dan lautan pasir di Kaldera Tengger.

Saat memulai syuting, cuaca tak mendukung. Lautan pasir turun hujan, kabut datang, pengambilan gambar ditunda.

Nugie ngomel. “Susah banget syuting.”

Saat di penginapan, dia bertemu seorang kakek yang menjaga penginapan kelolaan masyarakat Tengger. Malam saat istirahat, dia ngobrol dengan kakek itu. “Saya cerita sedang syuting video klip. Sambil genjreng lagu,” katanya, dalam diskusi daring persiapan buka taman nasional baru-baru ini.

Sang kakek menyarankan Nugie menemui pimpinan adat untuk matur, kula nuwon atau berpamitan. Paginya, dukun atau pimpinan adat Tengger bersembahyang atau ritual di dekat lautan pasir. “Ada tempat sembahyangan di sana,” katanya.

Esok pagi usai bersembahyang, cuaca cerah. Luar biasa, syuting video klip seolah disambut masyarakat Tengger dan alam dengan cuaca cerah. Proses syuting lancar.

“Video klip Burung Gereja mendapat penghargaan. Menang kompetisi.”

Sebuah pengalaman spiritual tak bisa dilupakan Nugie. Dia bilang, perlu penghormatan khusus saat berada tempat baru. Masyarakat Tengger, katanya, menjadi “pemilik rumah” di Bromo Tengger Semeru. “Saya menemukan keajaiban di sana,” kata Nugie.

Masyatakat Tengger, juga memberi penghormatan kepada alam. Alam rentan kalau terabaikan hingga harus dijaga dan dilestarikan.

Setiap pengunjung, katanya, harus bertanggungjawab dalam menikmati alam. “Kini, penghormatan kepada alam dan masyarakat setempat mulai luntur.”

Nugie senantiasa ingin belajar hidup dengan masyarakat Tengger. Bertemu dengan petani dan peladang. Mengamati bagaimana masyarakat Tengger hidup berdampingan dengan gunung api. Bercocok tanam, menanam wortel, kentang dan bawang.

Nugie berkunjung ke Ranupani pada 2016, ini danau di Kaki Semeru. Dia berjalan mengelilingi danau bersama musisi Candil dalam acara Jambore Sapu Gunung.

Kini, setiap berkunjung ke sebuah daerah baru dia tak lupa menghormati kearifan lokal, keramahan dan budaya masyarakat setempat.

 

 

Keterangan foto utama:  Wisatawan menikmati panorama kawasan Gunung Bromo Tengger Semeru, Jatim di puncak Pananjakan 2 atau puncak Bukit Seruni. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version