Mongabay.co.id

Petani di Madura Tanam Jagung Lokal buat Ketahanan Pangan Keluarga

Sebagian besar petani di Madura, memilih menanam jagung hibrida saja karena dinilai hasl panen lebih banyak. Ada sebagian petani tetap bertahan dengan tetap tanam jenis lokal karena banyak keunggulan kalau untuk pasokan pangan, tak sekadar produktivitas. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Ahmad Muhli Junaidi, satu dari sebagian petani yang masih menanam jenis lokal di tengah masif jagung hibrida. Dia guru Ilmu Pendidikan Sosial di Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Muhli menanam beberapa varietas jagung lokal seperti jagung burda,’ jagung Guluk-guluk, dan jagung pod (pod corn). Jagung hibrida juga dia tanam.

Burda’ merupakan jagung dengan biji berwarna putih, kadang bercampur merah namun lebih banyak putih.

Muhli bilang, percampuran warna itu terjadi karena proses penyerbukan di lahan bercampur jagung lokal yang berwarna merah. Meskipun satu petak lahan ditanami burda’, milik orang lain petak sebelah akan mempengaruhi karena penyerbukan lewat perantara angin.

Jagung giling kasar biasa dicampur dengan beras. Kalau jagung putih, katanya, akan samar, sama-sama putih, saat dimasak.

Jagung pod untuk goreng. Dia kenal jagung pod pertama kali dari neneknya. Muhli bilang, di Ganding, kampung neneknya, disebut jagung kerupuk karena ketika digoreng mengembang seperti kerupuk. Di daerah lain, seperti di Kecamatan Bluto, disebut jagung kembang.

Secara morfologi, di bagian dalam (endosperm) biji jagung berbentuk seperti duri dan berwarna putih di bagian ujung. Biji jagung kecil-kecil.

“A kembangan ben jhagung lokal biasah (lebih kembang dari jagung lokal biasa-red),” katanya, 10 Juli lalu.

Muhli menanam jagung lokal untuk konsumsi sendiri, sedang jagung hibrida untuk jual. Pola seperti itu, katanya, sering dilakukan para petani sekitar Kecamatan Guluk-guluk.

Tanam jagung lokal dan hibrida itu masing-masing ada kelebihan dan kekurangan. Biji jagung hibrida lebih besar dari lokal namun ketika digiling akan menghasilkan lebih sedikit butiran kasar untuk nasi jagung dan lebih banyak bu’u’ (bagian jagung sangat halus seperti tepung kalau digiling). Hal ini, karena bagian putih biji jagung (germ dan tip cap) lebih banyak daripada bagian merah (endosperm).

Jagung lokal, katanya, punya rasa lebih gurih dan lebih tahan lama untuk keperluan pasokan pangan. Ketika panen jagung lokal, biasa simpan dengan klobot di lumbung jagung atau gulang/jgurung, dalam bahasa Madura.

Jagung lokal, katanya, mampu bertahan sampai satu tahun, bahkan lebih, dan tahan serangan hama seperti kumbang dan kapper. Sedangkan jagung hibrida tidak bisa bertahan selama itu. Apabila mau simpan, harus dirontokkan dulu lalu jemur sampai benar-benar kering, tidak bisa simpan dengan klobot karena rawan hama.

 

Jagung pod, atau kembang. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Muhli bilang, jagung juga tradisi dan makanan pokok orang Madura. Tahun ’80-’90-an, orang Madura makan jagung, baru makan nasi beras padi kalau ada perayaan atau hari-hari besar. Itupun kadang masih campur jagung. Orang yang alalabát (upacara kematian dari satu sampai tujuh hari sejak hari kematian) juga membawa jagung untuk disumbangkan, sekarang sudah banyak beralih ke beras padi.

Dia bilang, terjadi pergeseran pola pikir masyarakat, terutama di kalangan anak muda. Untuk mengubah  agar lebih menghargai jagung lokal, katanya,  makin susah.  Jagung mulai tersingkir berganti beras.

Kalau dari harga, lebih mahal beras. Untuk kemandirian dan keamanan pangan, harga jagung lebih menjangkau luas. Muhli membandingkan harga jagung Rp3.000 per kilogram dan padi Rp7. 000 –Rp8.000 per kilogram.

Jagung tak hanya pemenuhan karbohidrat, juga lebih sehat dibandingkan beras.  “Kan saestonah, jegung nikah lebbih banyak manfaattah dari padih pote (sejatinya, jagung ini lebih banyak manfaatnya dari padi).”

Dia contohkan, pasien berpenyakit kencing manis (diabetes) bisa mengonsumsi jagung, dan menghindari nasi beras.

Untuk mengajarkan anak-anak dan pemuda sekitar bisa lebih menghargai jagung, Muhli mengajak mereka bakar jagung bersama.

Keluarga Mukri dan Rimuna, memilih jagung hibrida karena dinilai menguntungkan secara finansial.

Muhri bilang, menanam jagung hibrida delapan kg untuk seluruh lahan dan bisa panen sekitar 2,5 ton. Kalau jagung lokal hanya menghasilkan lima kuintal.

Sejak tiga musim terakhir mereka tidak menanam jagung lokal, selain kuantitas lebih sedikit, tanaman mudah roboh ketika ada angin.

Untuk penanaman benih, katanya, ada perbedaan pola antara jagung lokal dan hibrida. Kalau jagung lokal tabur dua sampai tiga butir dalam satu lubang, hibrida cukup satu butir. Untuk pemupukan, jagung lokal dua kali sampai panen, sedangkan hibrida harus tiga kali.

Rimuna mengatakan, jagung hibrida kurang tahan hama, ada yang diserang kumbang saat buah muda masih di tanaman. Padahal, kumbang biasa ada kalau jagung sudah dirontokkan. Bahkan, katanya, jagung hibrida terkadang membusuk di tanamannya.

Untuk penyakit tanaman jagung memutih, kedua varietas nyaris sama. Hanya, kalau jagung lokal terkena penyakit putih, cepat menyebar antara satu ke yang lain. Jenis hibrida yang lebih besar lebih tahan.

Masa panen jagung hibrida lebih lama, lokal hanya 70-80 hari, sedangkan hibrida paling tidak 120 hari.

Untuk menyiasati jagung tak tahan hama kala disimpan, petani punya trik. Macam keluarga Tibliyah, menyiasati jagung tak tahan hama kumbang dan kapper, dengan membuat akad titip jagung dengan pedagang. Sudah tiga musim dia lakukan. Dia menitipkan jagung ke pedagang 1,5 kuintal, diminta sedikit demi sedikit sesuai kebutuhan, baik untuk giling maupun jual.

 

Jagung hibrida, tak tahan disimpan, mudah kena hama. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Jagung lokal buat ketahanan pangan

Akhmad Mahbubi, dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Syarif Hidayatullah), Jakarta, kelahiran Sumenep, mengatakan, untuk ketahanan pangan, lebih prospek jagung lokal karena hibrida sejatinya untuk pakan ternak.

Dia bilang, batang jauh lebih besar membuat jenis hibrida lebih rentan hama.

Di Asian Journal, Profesor dari University of Philippines Los Banos (UPLB), Artemio Salazar menyatakan, jagung bisa jadi makanan pokok bagi penderita diabetes. Tim Harvard Medical School, Harvard University melansir, jagung memiliki rendah indeks glikemik (standar pengukuran seberapa cepat karbohidrat dalam makanan diubah jadi gula [glukosa] sebagai energi.

“Berbagai penelitian ini menunjukkan, makan jagung teratur dapat membantu tubuh mengontrol gula darah lebih baik,” kata kandidat Ph.D di Tokyo University of Agriculture ini.

Selain itu, Mahbubi bilang, jagung mengandung beragam nutrisi, seperti karbohidrat, protein, serat, sejumlah vitamin dan mineral yang baik untuk kesehatan tubuh.

Di Madura, katanya, terdapat tiga jenis jagung, hibrida, komposit dan transgenic.

Jagung hibrida merupakan jenis turunan pertama dari persilangan dua tetua yang memiliki sifat unggul. Hasil panen jagung sebagai pakan ternak. Contoh jagung hibrida adalah BISI dan Pionir.

Kelebihan jagung hibrida, produktivitas tinggi, bisa menghasilkan 6– 12 ton per hektar. Kekurangannya, harga mahal dan tidak tahan lama disimpan (perlu perlakuan khusus, rentan kena hama penyakit).

Jagung komposit biasa dikenal sebagai jagung lokal. Jagung bersari bebas dengan pengembangan benih dari tanaman sebelumnya. Dia contohkan, jagung lokal Madura antara lain varietas Guluk-guluk, talango, manding, tambin, kretek, dan lain-lain. Penamaan varietas lokal ini, katanya, menunjukkan daerah asal pengembangan varietas lokal.

Kelebihan komposit bisa disimpan selama satu sampai dua tahun tanpa perlakuan pasca panen yang mahal, dan tahan hama penyakit. Adapun kekurangannya, produktivitas rendah satu sampai tiga ton per hektar.

Jagung transgenik merupakan jagung yang dibuat dengan cara menyisipkan gen dari makhluk hidup atau non-makhluk hidup. Harapannya, bisa tahan penyakit, tahan hama atau tahan obat kimia, hingga tanaman jadi super, seperti varietas BT dan terminator.

Kelebihan transgenik, tentu sesuai pengembangan, bisa tahan hama penyakit atau tahan zat kimia dan seterusnya. Produktivitasnya, tinggi sama dengan jagung hibrida. Kekurangannya, kata Mahbubi, memungkinkan timbul jenis hama penyakit baru yang berdampak pada hewan dan manusia.

“Untuk meningkatkan produktivitas jagung harus mulai dari hulu yaitu benih. Benih harus dikembangkan. Benih jagung lokal produktivitas tinggi gunakan benih jagung lokal turunan pertama, bukan turunan yang ke sekian kalinya,” kata alumni Institut Pertanian Bogor itu.

 

 

Keterangan foto utama: Sebagian besar petani di Madura, memilih menanam jagung hibrida saja karena dinilai hasil panen lebih banyak. Ada sebagian petani tetap bertahan dengan tanam jenis lokal karena banyak keunggulan kalau untuk pasokan pangan, tak sekadar produktivitas. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version