Mongabay.co.id

Tambang Pasir Laut di Makassar Rampas Ruang Hidup Nelayan

Nelayan Pulau Kodingareng mengikutsertakan keluarga dalam aksi di tengah laut. Foto: Walhi Sulsel

 

Sejumlah LSM yang tergabung dalam Selamatkan Laut di Indonesia meminta pemerintah segera menghentikan aktivitas penambangan pasir yang dilakukan oleh PT Boskalis Royal di perairan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan.

Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai aktivitas perusahaan dari Belanda itu sebagai bentuk penjajahan baru yang menghina martabat nelayan.

“Masyarakat sudah lima kali protes dilakukan sejak Februari 2020 lalu. Perusahaan melanggar kesepakatan bersama pada 8 Juli 2020, di mana pada tanggal 16 Juli diam-diam Boskalis kembali mengoperasikan kapal-kapalnya. Terkait adanya intimidasi, ini juga melanggar kesepakatan kami dengan Kedubes Belanda beberapa waktu lalu melalui diskusi online,” ungkap Merah pada konferensi pers daring, Jumat (24/7/2020).

Menurut Merah, pada diskusi mereka dengan Kedubes Belanda, yang menyertakan protes lebih dari 40 lembaga dan organisasi masyarakat sipil, pihak kedutaan berjanji mengedepankan dialog dalam penyelesaian masalah, bukan dengan kekerasan.

“Justru Boskalis kembali beroperasi, yang menunjukkan bahwa memang mereka tak sungguh-sungguh mengedepankan dialog. Tak mungkin ada dialog yang setara kalau operasi tambang masih berlangsung. Itu merugikan salah satu pihak,” katanya.

baca : Aksi Penolakan Nelayan dan Sengkarut Tambang Pasir Laut di Makassar

 

Aksi nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar melakukan aksi penghadangan kapal Boskalis di laut perairan Spermonde, Sulawesi Selatan. Foto: Walhi Sulsel

 

Merah menilai pengambilan pasir laut di wilayah tangkap nelayan sebagai bentuk perampasan ruang hidup nelayan, karena penambangan pasir memiliki daya rusak tak hanya secara fisik pada laut tetapi juga bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

“Ini adalah pemiskinan yang sistematik karena zona tangkap dikuasai oleh pertambangan. Nelayan otomatis mencari ikan di tempat yang lebih jauh sehingga ongkos operasional jadi lebih besar. Utang menumpuk karena biaya operasional meningkat, apalagi terjadi di saat pandemi Corona sehingga bebannya berlipat ganda. Kelompok perempuan dan anak-anak semakin rentan,” tambahnya.

Sedangkan Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), selama ini Boskalis tak hanya merusak laut di Sulawesi tetapi juga di banyak pesisir lainnya seperti Jawa Tengah dan Jakarta, sehingga seharusnya menjadi catatan merah bagi negara dan harus direspons cepat.

Susan menilai pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait kebaharian seharusnya selalu dilandaskan pada berbagai pertimbangan yang merujuk pada kebijakan nasional. Salah satunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.3/2010 yang menyatakan bahwa nelayan dan perempuan nelayan sebagai masyarakat bahari Indonesia memiliki hak konstitusional.

“Negara seharusnya melakukan perlindungan terhadap empat hak konstitusional sebagaimana dimandatkan dalam putusan ini,” tambahnya.

Empat hak konstitusional yang dimaksud adalah hak nelayan dan perempuan nelayan untuk mengakses lautnya, hak untuk mengontrol atau mengelola lautnya, hak untuk menjalankan tradisi sesuai dengan adat dan kepercayaan masyarakat yang telah dilakukan dari generasi ke generasi, dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih.

baca juga : Rugikan Nelayan, Walhi Sulsel Tuntut Penghentian Tambang Pasir dan Pembangunan Makassar New Port

 

Seratusan nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar menggunakan perahu tradisional ketinting atau cadik melakukan pengadangan kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis. Foto: Walhi Sulsel

 

Susan juga menyayangkan adanya upaya intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian melalui penerbitan surat penangkapan atas warga yang melakukan aksi protes.

“Kegiatan mereka (polisi), termasuk perluasan jangkauan hukum mereka, pemaksaan kolaborasi terhadap orang lain, langsung dan tidak langsung, telah melanggar hukum internasional, sebagaimana hukum hak asasi manusia internasional dan hukum lingkungan internasional, di mana kehidupan seseorang secara akut terancam,” katanya.

Susan juga menyinggung keberadaan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, yang di dalamnya menyatakan bahwa negara memiliki mandat untuk melindungi dan memberdayakan para aktor yang terlibat dalam rantai produksi perikanan tanpa terkecuali.

“Hanya sayangnya mandat ini hanya seolah-olah ngomongnya tentang asuransi saja, tetapi untuk bicara tentang kepastian ruang, kepastian berusaha dan perlindungan atas risiko apa pun tidak dijalankan dengan jelas oleh negara. Maka dalam kesempatan ini kita mau mengingatkan bahwa ayolah negara ini, KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), sudah berhenti mengurus hal yang berkaitan dengan hanya komoditi saja.”

Sementara Zakia, perwakilan keluarga nelayan Pulau Kodingareng, Makassar, yang hadir dalam konferensi pers ini menyatakan kehadiran Boskalis menambang pasir di wilayah tangkapan nelayan berdampak sangat besar bagi kondisi ekonomi mereka.

“Aktivitas Boskalis membuat nelayan merasa resah, karena penghasilan menurun, air keruh dan gelombang besar. Pendapatan kami menurun drastis. Kami sudah lima kali melakukan aksi, namun diabaikan perusahaan dan pemerintah. Kami minta pemerintah menghentikan aktivitas Boskalis,” katanya.

perlu dibaca : Tambang Pasir Laut Galesong Rusak Ekosistem Laut dan Sebabkan Abrasi

 

Aksi perempuan nelayan Pulau Kodingareng Makassar di rumah jabatan Gubernur Sulsel menuntut penghentian tambang pasir laut di perairan Spermonde Makassar. Foto: Walhi Sulsel

 

Terkait dengan situasi yang ada saat ini Koalisi Selamatkan Laut Indonesia menyatakan sejumlah tuntutan kepada sejumlah pihak terkait.

Kepada pemerintah pusat, khususnya Presiden Republik Indonesia dan Menteri KKP, koalisi menuntut mereka untuk segera meminta Boskalis menghentikan penambangan pasir laut di Kepulauan Sangkarang.

Kepada Pemerintah Belanda, koalisi meminta untuk segera memerintahkan Boskalis agar secepatnya menghentikan penambangan pasir di Kepulauan Sangkarang. Kepada Boskalis, diminta agar segera menghentikan penambangan pasir dan melakukan pemulihan hak asasi manusia nelayan serta perempuan nelayan di Kepulauan Sangkarang.

Sementara untuk Pelindo IV dan PT Banteng Laut Indonesia diminta agar menghentikan penambangan pasir, serta melakukan dialog dengan masyarakat yang terdampak. Tak hanya itu, melakukan pemulihan hak asasi manusia nelayan serta perempuan nelayan yang terdampak.

Kepada Kapolda Sulawesi Selatan, koalisi meminta untuk segera memerintahkan anak buahnya di lapangan agar tidak melakukan penangkapan dan intimidasi terhadap nelayan yang selama ini justru berjuang untuk melindungi laut Indonesia dari kerusakan.

perlu dibaca : Nelayan Takalar Tuntut Ruang Tambang Pasir Laut Dihapus dari RZWP3K

 

Peta wilayah konsesi tambang seluas 9.000 hektar di perairan Spermonde Makassar. Sumber : Dinas ESDM Sulsel

 

Sudah Mematuhi Aturan

Sulkaf S. Latief, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, menjelaskan bahwa laut adalah kawasan di mana banyak kepentingan di dalamnya, bukan hanya untuk nelayan. Ada perhubungan, pertambangan, pariwisata, pertahanan, sehingga sejak adanya UU pesisir, sehingga segala kepentingan di laut itu harus diatur.

“Maka muncullah yang namanya Rencana Zonasi (RZ). Di Sulsel RZ ini sudah diperdakan sejak 8 Mei 2019. Di dalam zonasi di Sulsel ditentukan tiga lokasi peruntukan penambangan pasir,” katanya.

Terkait penambangan pasir yang dilakukan Boskalis, Sulkaf menilai tersebut adalah legal selama dilakukan di dalam kawasan zona tambang yang diprasyaratkan oleh Perda RZWP3K. Dari sekian alokasi tambang yang diajukan Dinas ESDM, khusus di blok Spermonde terdapat kawasan tambang pasir seluas 9000 hektar.

“Memang dalam RZ ini dinyatakan bahwa zona ini untuk penambangan bukan penangkapan. Jumlah konsesi ini terhitung sedikit dibanding luas tambang yang diajukan oleh ESDM hampir 100 ribu hektar,” katanya.

Menurutnya, sebagai kawasan tambang pasir, wilayah konsesi ini meski berada di perairan Sangkarrang namun secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Takalar. Dalam Perda juga diprasyaratkan jarak antara kawasan tambang dan daratan di atas 8 mil.

“Kalau ada menambang di luar konsesi, tunjukkan dan laporkan agar kita bisa melakukan penindakan hukum, ini kan ada syarat-syaratnya. Di kawasan ini siapapun bisa menambang asal memenuhi izin dan banyak izin yang harus dipenuhi untuk itu,” katanya.

Terkait protes warga Pulau Kodingareng, dampak yang dirasakan warga sebenarnya tak terperkirakan karena selama ini daerah yang dianggap terdampak hanyalah 7 desa yang ada di Kabupaten Takalar, sebagaimana tertuang dalam dokumen Amdal.

Terdampaknya nelayan Sangkarrang ini hanyalah dampak sampingan karena berada di dalam rute perjalanan kapal dari wilayah tambang ke tempat reklamasi, yaitu MNP.

“Setelah diskusi diketahui bahwa mereka merasa terdampak karena kapal ini kalau habis mengeruk akan menuju MNP dan itu pasti melewati dekat pulau-pulau di Sangkarrang, karena memang jalur kapal. Karena padat jalurnya, kadang kapal ini sandar di sekitar pulau untuk menunggu jalur sepi. Ini yang dianggap menambang di luar kawasan. Kita sudah bersepakat akan ketemu dengan berbagai stakeholders, termasuk Boskali, perusahaan, Pelindo dan nelayan sendiri membicarakan dampak-dampak yang terjadi,” jelasnya.

 

***

 

Keterangan foto utama : Aksi nelayan Pulau Kodingareng, Makassar dalam menolak penambangan pasir laut oleh kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis. Foto: Walhi Sulsel

 

Exit mobile version