Mongabay.co.id

Christine Wulandari Tidak Bisa Jauh dari Hutan

 

 

Mbat menghembat ake gadung

Mbat mai di ate tango

Kalau iya sialang ini

Lingkaran tedung dan nago

Tetaplah juo di banie kayu

 

Kalimat tersebut, selalu terngiang di telinga Christine Wulandari. Mantra yang ia dengar pertengahan 2006, ketika menyaksikan masyarakat desa di Kuantan Singingi, Riau, melaksanakan ritual menumbai pelalawan.

“Menumbai pelalawan merupakan ritual masyarakat adat ketika mengambil madu di pohon sialang. Mantra bermakna, bila pohon sialang dilingkari ular tedung [ular besar], ketika pohon sialang dipanjat, hendaknya si ular tetap di tempatnya di banir kayu,” tuturnya kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [25/7/2020].

Pengalaman menyaksikan kebiasaan menakjubkan yang dilakukan lepas maghrib itu, membuat dia terkesan. Semakin yakin, bahwa kearifan lokal masyarakat memang sangat ramah terhadap kelestarian hutan.

“Hutan itu harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, tanpa harus merusak nilai ekologinya,” terangnya.

Baca: Lampung, Model Kawasan Konservasi Berbasis Lanskap di Sumatera

 

Hutan merupakan bagian terpenting dari kehidupan kita. Menjaga hutan berarti kita menjaga kehidupan di Bumi. Tampak landskap Taman Nasional Way Kambas yang begitu indah dan penting bagi kehidupan satwa liar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pohon sialang sebenarnya bukan nama salah satu jenis pohon, namun sebutan untuk pohon tinggi dan besar tempat hunian puluhan lebah liar.

“Saat pengambilan madu, mereka menunjukkan kebudayaan leluhur yang ramah lingkungan. Melalui mantra-mantra mereka meminta izin kepada alam. Hal ini memberi pesan agar kita hidup berdampingan, tidak saling mengganggu dengan makhluk lain.”

Bahkan ketika memanjat, kata Christine, mereka melafalkan pantun-pantun mantra berisi bujukan agar lebah [masyarakat setempat menyembutnya Cik Dayang] tetap tidur nyenyak. Tidak terganggu.

“Mereka berkomunikasi dengan lingkungan, dan mengambil hasil alam secukupnya setelah meminta izin,” tutur Ketua Yayasan Kehutanan Masyarakat Indonesia.

Baca: Perhutanan Sosial, Sumber Ketahanan Pangan Masyarakat Lampung

 

Pohon besar dan menjulang seperti ini biasanya akan sangat disenangi lebah untuk bersarang sekaligus menghasilkan madu. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Menggali pengetahuan sumber daya hutan

Christine Wulandari merupakan Ketua Program Magister Kehutanan Fakultas Pertanian Univeristas Lampung sejak 2013. Selama 27 tahun mengajar di kampus, dia tak henti-hentinya melakukan penelitian terkait pengelolaan hutan berkelanjutan, terutama di Provinsi Lampung.

“Hutan negara kita luas sekali. Penelitian demi penelitian harus dilakukan untuk memaksimalkan potensi sosial, ekonomi, dan ekologi, sekaligus menjaga kelestariannya,” kata perempuan kelahiran Madiun, 26 Desember 1964.

Dari medio 2013-2020, Christine telah merampungkan 26 penelitian, 42 artikel ilmiah yang terbit di jurnal nasional dan internasional, serta 10 buku tentang manajemen sumber daya hutan.

“Dari proses riset itu saya belajar, kearifan lokal masyarakat harus terus digali demi keberlanjutan hutan. Moderenitas, harus beriringan dengan budaya lokal yang arif.”

Doktor Manajemen Sumber Daya Hutan dari University of the Philippines Los Banos [UPLB] itu mengatakan, puncak seorang akademisi adalah ketika pengabdian kepada masyarakat dan penelitian yang dilakukan dapat diterima oleh rekan profesi dan juga publik.

Asia Focal Point of Civil Society Advisory Group – ITTO ini juga aktif mengikuti pelatihan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Sebut saja sertifikasi hutan di Guatemala dan Swedia, manajemen hutan berkelanjutan di India, hingga pengelolaan sumber daya air di Sidney, Australia.

 

Christine Wulandari saat menghadiri pertemuan ITTO di Peru tahun 2017. Foto: Dok. Christine Wulandari

 

Awal mula cinta alam

Christine selalu ingat rumah kakeknya Djojosoewoto di Dusun Jetis, Desa Sengon, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Alasan paling memikat adalah momen pagi hari saat membuka jendela. “Saya selalu terpana dengan pemandangan sawah dan Gunung Merapi.”

“Pemandangan itu menakjubkan, membuat saya jatuh cinta pada alam yang asri,” lanjutnya.

Soegandari, sang ayah adalah karyawan di Perusahaan Jawatan Kereta Api [PJKA]. Pekerjaan ini menjadikannya selalu berpindah tugas ke beberapa kota di Jawa dan Sumatera.

Atas permintaan sang kakek, akhirnya sejak 1974, Christine menetap di Yogyakarta, bersekolah di SD Negeri Lempuyang Wangi II Yogyakarta. Lalu, melanjutkan ke SMP Negeri V Yogyakarta dan SMA Negeri I Teladan Yogyakarta.

“Saya menetap di Yogyakarta, agar fokus sekolah, dan memang cinta Yogyakarta. Sebelumnya, saya tinggal di Bandung,” kenang anggota Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Lampung dan Nasional.

Baca juga: Penjaga Bumi dari Lampung Barat

 

Christine selalu berprinsip, hutan harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, tanpa harus merusak nilai ekologinya. Foto: Dok. Christine Wulandari

 

Penelitian burung

Memori melihat sawah dan Gunung Merapi dari jendela menjadi salah satu alasan Christine melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada [UGM] pada 1983.

Keinginan tersebut tidak mendapat penolakan ayahnya. “Bapak setuju karena memang demokratis mendidik putra-putrinya. Beliau berpesan agar serius karena itu pilihan saya sendiri,” kata Dosen Teladan I Universitas Lampung 2001.

Petuah itu dilaksanakan, pada 1987, dia dinobatkan sebagai Mahasiswa/I Teladan I Fakultas Kehutanan. Predikat ini mengantarnya menjadi wakil UGM untuk mengikuti ‘Partnership Program for 21st Century’ di Jepang, bersama 19 mahasiswa perwakilan berbagai universitas di seluruh Indonesia.

“Di Jepang saya semakin takjub tentang pentingnya keselarasan hidup dengan alam, mereka sangat disiplin menjaga keserasian alam. Moderenitas tidak menghilangkan nilai tradisional.”

 

Burung kuntul kecil [Egretta garzetta] sering dijumpai di sawah, sungai, lumpur juga rawa-rawa. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Di ‘Kampus Biru’ Christine terus memupuk cintanya terhadap alam. Dia adalah anggota Pecinta Alam Sylvagama sebagaimana Presiden Jokowi, anggota senat mahasiswa, juga ikut Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka guna mendekatkan diri dengan aktivitas lingkungan.

Ternyata, kegiatan Pramuka di Gelanggang Mahasiswa Kampus Bulaksumur tidak hanya mendekatkan dia dengan alam, tapi juga dengan seorang pemuda dari Fakultas Filsafat. Namanya, Pitojo Budiono.

Pemuda itu, pada 1988, sejak pagi buta rutin menjemput Christine di rumahnya di Tegal Panggung, Yogyakarta, menemaninya mencari jejak burung kuntul.

“Kami naik motor dari Tegal Panggung, menyelusuri pedesaan, sawah, semak-semak rawa dari Kota Yogyakarta hingga Bantul, juga ke Sleman. Mencari burung tersebut manual.”

Burung kuntul memang objek penelitian tugas akhir [skripsi] Christine. Judulnya, Studi Populasi dan Habitat Egretta spp di Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Anak Filsafat kok ya mau ikut keluar masuk pedesaan, rawa, lebak, dan sawah untuk menghitung populasi. Juga, menelisik habitat burung kuntul. Tampaknya dia menikmati kegiatan ini dengan asyik,” tuturnya.

 

Masyarakat menyadap karet di kebunnya yang berada di sekitar Taman Nasional Way Kambas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pitojo Budiono mengakui, hampir sebulan dia menemani gadis dari Fakutas Kehutanan itu mengamati habitat burung kuntul. “Christine itu orangnya keukeuh betul, kalau mau A, harus dapat. Setiap hari kami keliling lebih dari sepuluh kilometer,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [25/7/2020].

“Upah lelahnya sarapan soto,” tutur Pitojo yang merupakan Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung.

Pitojo dan Christine menikah pada Ahad, 3 November 1991. Pasangan pencinta alam ini memiliki dua anak, yakni Budiasti Wulansari dan Budicahya Rama Bagaskara.

Doktor Hari Kaskoyo, Dosen Kehutanan Lampung, turut memuji koleganya ini. “Kami beberapa kali kerja sama riset, juga dalam kegiatan pengabdian masyarakat. Christine itu, meski di desa maupun tempat penelitian, tetap saja bisa mengkoordinir aktivitas kampus dan lainnya. Dia tenang dan sabar,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version