Mongabay.co.id

Renungan Idul Adha dan Konstekstualisasi Pelestarian Lingkungan

Umat Islam sedunia hari ini menyambut hadirnya salah satu hari raya yaitu Idul Adha atau Idul Kurban 1441 H. Perayaan tahun ini dalam suasana keprihatinan dan kewaspadaan lantaran masih mewabahnya pandemi COVID-19.

Akibatnya ibadah Idul Kurban masih ketat menerapkan protokol kesehatan, ibadah haji batal bagi muslim Indonesia, dan menurunnya jumlah hewan kurban.

Apapun itu hikmah positif penting selalu direfleksikan dan diaktualisasikan. Kondisi pandemi justru menjadikan Idul Kurban sebagai momentum yang baik dalam penguatan spirit di semua sektor kehidupan. Termasuk dalam aspek pelestarian lingkungan.

Selama pandemi, kondisi lingkungan tercatat dan terasakan membaik kualitasnya. Banyak masyarakat juga kembali ke alam dalam gaya hidupnya. Momentum Idul Kurban dengan segudang hikmahnya penting direfleksikan dan diaktualisikan guna mendukung dan menguatkan upaya pelestarian lingkungan  tersebut.

Baca juga:  Bagi-Bagi Daging Kurban Bebas Plastik Pakai Besek

 

Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kisah Pengorbanan

Inilah sepenggal kisah seorang pejuang perempuan yang hidup ribuan tahun silam. Beliau tidak lain adalah Siti Hajar. Ia harus rela berlari-lari antara Safa dan Marwah demi menemukan sumber kehidupan yakni mata air. Meski akhirnya Allah pun menjawab perjuangan Siti Hajar dengan ditemukannya sumur Zamzam.

Sebagai wujud penghargaan hingga kini momentum tersebut terus diamalkan dalam ritual ibadah haji jutaan manusia dengan melakukan sa’i. Air Zamzam pun tetap menjadi saksi bisu yang terus memancarkan air berlimpah.

Karena ketegaran dan keikhlasan sosok Siti Hajarlah, Ismail tumbuh menjadi anak yang shalih dan penuh keikhlasan. Puncaknya dengan begitu mantap Ismail rela disembelih Sang Ayah demi wujud ketundukannya pada Sang Khaliq. Inilah momentum yang kemudian diperingati setiap tahunnya dengan Idul Adha.

Beragam hikmah dapat kita petik dari seri perjalanan hidup Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan Ismail AS. Ada pesan pengorbanan, ada pesan sosial, ada pesan spiritual, dan sebagainya. Dan, di antara pesan-pesan itu salah satunya adalah pesan bahwa lingkungan sangat berarti bagi kelangsungan hidup manusia.

Ketika ditinggal Ibrahim AS, Siti Hajar sadar bahwa ia harus mencari sumber kehidupan sebelum kebutuhan yang lain. Sumber itu adalah mata air.

Dalam perspektif teologis, kita punya keyakinan bahwa Allah SWT menciptakan bumi dalam keadaan yang seimbang dan berlimpah sumber daya. Bagaimana tidak. Di tengah gurun yang tandus ternyata banyak tersimpan oase-oase yang terpencar.

Baca juga: Lintas Agama dan Masyarakat Adat, Berkolaborasi Jaga Hutan Indonesia

 

Besek pembungkus daging kurban, menggantikan kresek. Bagian dari mengurangi sampah plastik. Kesadaran lingkungan semakin meningkat di berbagai kalangan komunitas dalam beberapa tahun terakhir ini. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Renungan Pelestarian

Selain kondisi pandemi, Idul Adha atau Idul Kurban tahun ini bertepatan dengan awal musim kemarau. Di beberapa tempat di Nusantara gema takbir akan dalam Susana kekeringan air.

Ada suasana suka cita ketika tidak turun hujan karena akan memperlancar prosesi Sholat Ied dan penyembelihan hewan kurban. Tidak sedikit pula yang was-was karena akan mengganggu kesehatan dan kebutuhan air dalam memproses daging kurban.

Yang suka dan yang was-was sebenarnya memiliki titik temu yakni bagaimana harapannya dapat terealisasi. Bagaimana agar air dapat optimal menjawab kekeringan. Dan, bagaimana agar kekhawatiran tidak menjadi kenyataan. Konsekuensi keduanya sama yaitu butuh upaya memperlakukan dan melestarikan air.

Ketika Idul Kurban kita dibelalakkan dengan perjuangan Siti Hajar untuk mendapatkan setetes air. Maka apakah layak sekarang ketika air berlimpah kita menggunakan semaunya? Tidak usah jauh-jauh pada saat yang sama masih banyak daerah yang kekurangan air dan harus membelinya dengan harga tidak murah.

Dari sudut pandang ekologi, sosial, maupun spiritual, budaya menghemat air mesti ditekankan. Tak cukup itu. Perlu upaya-upaya yang komprehensif dan sistematis agar lingkungan tetap lestari dan mampu mendukung kehidupan makhluk hidup.

Semua yang terjadi di muka bumi tak semuanya alami. Sejumlah permasalahan lingkungan justru kebanyakan disebabkan oleh tindakan manusia sendiri. Sebut misalnya banjir dan kekeringan.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Demikian, Allah SWT memperingatkan dalam Al-Quran Surat Ar Rum Ayat 41.

Bagi insan beriman kita diharuskan berpikir dan bertindak terhadap peringatan tekstual maupun kontekstual. Allah SWT mensyaratkan bahwa Ia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan pada diri mereka sendiri. Konsekuensi logisnya, terhadap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar, kita mesti bertanggung jawab.

Banyak hal konkrit bisa dilakukan untuk menindaklanjuti kebutuhan melestarikan lingkungan. Misalnya dengan menghijaukan daerah tangkapan air dan mata air, mengupayakan memanen air hujan, membangun fasilitas yang ramah lingkungan, dan sebagainya.

Idul Adha kiranya dapat menjadi momentum untuk merenung bagi semua pihak bahwa Islam sesungguhnya sangat arif dan memperhatikan lingkungan. Islam juga memiliki konsep dan strategi untuk melestarikannya.

Semua ini memberikan catatan bahwa sebagai bagian ajaran keagamaan, melestarikan lingkungan hendaknya menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses dakwah dan ibadah.

Bagi pemerhati lingkungan non muslim semoga akan menstimulasi untuk segera mengorek bagaimana agamanya masing-masing memberi solusi dalam permasalahan ini. Dalam konteks keduniawian optimalisasi ajaran masing-masing sangat berharga bagi keberlanjutan pembangunan.

Pendekatan teologis ini sangat strategis dan efektif mengingat agama menjadi urusan fundamental setiap penduduk. Dan, tentunya sentuhan refleksi teologis akan menjadi sarana ampuh menggugah kesadaran pemeluknya untuk semakin peduli pada lingkungan yang lestari.

 

Ribut Lupiyanto, penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration). Artikel ini adalah opini dari penulis.

 

 

Exit mobile version