Mongabay.co.id

Ekspor Tuna dan Cakalang di NTT Mulai Bangkit. Apa Kendala dan Solusinya?

 

Kabupaten Sikka di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu penghasil produk perikanan tangkap di Indonesia timur. Pada 2019, produksi ikan laut di Kabupaten Sikka mencapai 19.287,3 ton dengan nilai Rp351,8 miliar. Selain dijual di Sikka, produksi perikanan juga dijual ke beberapa kabupaten di Pulau Flores.

Jumlah rumah tangga nelayan di Kabupaten Sikka sebanyak 5.085 yang tersebar di pantai utara dan selatan. Produksi ikan cakalang tahun 2019 sebanyak 3.150,75 ton dengan nilai produksi Rp44,11 miliar, sedangkan tuna sebanyak 1.930,5 ton dengan nilai Rp86,87 miliar.

Khusus ikan tuna dan cakalang, hasil produksi dijual ke luar NTT seperti ke Pulau Bali dan Jawa serta diekspor ke luar negeri. Negara tujuan ekspor yakni Jepang Korea Selatan, Cina, Vietnam, Malaysia dan Singapura.

“Produksi perikanan  menyumbang PDRB  Kabupaten Sikka  12 persen  dari nilai ikan yang diproduksi nelayan Kabupaten Sikka. Juga menyumbang PAD sekitar Rp1,9 miliar,” terang Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sikka, Paulus Hilarius Bangkur, Jumat (24/7/2020).

Hal itu diungkapkan Paulus saat menemani Bupati Sikka Fransikus Roberto Diogo melepas ekspor perdana 20 ton  ikan cakalang asap (Katsuobushi) dan tuna (Sashimi) ke Korea Selatan di kantor perusahaan ikan Karya Cipta Buana Sentosa (KCBS) Jumat (24/7/2020).

baca : Perjuangan Industri Perikanan Tangkap Keluar dari Jurang COVID-19

 

Bupati dan Wakil Bupati Sikka saat melepas ekspor ikan cakalang asap dengan tujuan Korea Selatan di pabrik PT.KCBS Kelurahan Wailiti, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Harga Turun

Merebaknya pandemi Corona membuat ekspor ikan tuna dan cakalang ke luar negeri terhenti sejak awal Januari 2020. Sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) khusus ekspor tuna dan cakalang, KCBS paling terdampak. Ekspor ikan berhenti total.

Direktur KCBS Theodorus Erfianus Uji mengatakan dalam sebulan ditargetkan ekspor minimal 60 ton tuna dan cakalang.

Berdiri sejak 1994 KCBS mempekerjakan 110 karyawan tetap dan 50 karyawan tidak tetap. Perusahaan menjalin kerja sama dengan nelayan dengan pola mitra, inti dan plasma.

“Ada 50 kapal penangkap tuna dan 25 kapal huhate (pole and line) dengan total ada 400 nelayan. Kami menanggung biaya biaya operasional dan ikan dibeli perusahaan kami sesuai harga pasar,” tuturnya.

Dampak COVID-19, ekspor terhenti dan harga jual pun menurun. Tetapi perusahaan, sebutnya, tetap membeli ikan dari nelayan sesuai daya tampung.

baca juga : Begini Kondisi Nyata Nelayan NTT di Tengah Pandemi COVID-19

 

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat saat melepas ekspor ikan tuna sashimi ke Jepang di Kantor PT. KCBS di Kelurahan Wailiti, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sementara nelayan Kampung Wuring Kelurahan Wolomarang yang juga pengepul ikan tuna, Saiful kepada Mongabay Indonesia, Minggu (26/7/2020) mengeluhkan turunnya harga jual ikan tuna.

Sebelum wabah COVID-19  sebut Saiful, tuna dijual ke beberapa penampung. Tetapi setelah COVID-19 hanya perusahaan KCBS yang membeli ikan tuna dari nelayan. Otomatis harga jual juga menurun.

“Harga jual menurun drastis menjadi Rp30 ribu sampai Rp50 ribu per kilogram dari sebelumnya Rp.70 ribu sampai Rp.80 ribu per kilogramnya sesuai kualitas ikannya,” ungkapnya.

Lokasi memancing tuna dan cakalang berada di Laut Flores. Sebelum pandemi Corona, kata Saiful, nelayan memancing hingga sejauh 20 mil tetapi sejak saat pandemi Corona biaya operasional meningkat dan membuat jarak melaut hanya 4 mil.

Selama 2-3 hari melaut menggunakan kapal ukuran 1-2 GT ungkapnya, nelayan tuna bisa mendapatkan penghasilan Rp200 ribu per orang. Satu kapal terdapat 2-3 nelayan. Kondisi ini, katanya, berdampak terhadap  menurunya penghasilan nelayan akibat penurunan harga jual dan mahalnya biaya operasional.

“Potensi ikan tuna dan cakalang di Laut Flores sangat besar hanya saja alat tangkap nelayan masih tradisional. Kalau lagi musim ikan, bisa dapat 10 ekor sekali melaut dengan berat minimal 60 kilogram. Masa paceklik ikan di bulan Mei sampai Juli,” ungkapnya.

perlu dibaca : Pandemi COVID-19 Menurunkan Pendapatan Nelayan di NTT. Apa Solusinya?

 

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat (kanan) saat melihat pengolahan proses pembuatan ikan tuna bakar setelah melepas ekspor ikan tuna sashimi ke Jepang di Kantor PT. KCBS di Kelurahan Wailiti, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kendala Produksi

Berselang 2 hari sejak ekspor ke Korea Selatan, Minggu (26/7/2020), Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat di kantor PT. KCBS kembali melepas ekspor 12 ton sashimi tuna ke Jepang.

Bila harga cakalang asap 20 ton sekitar Rp3 miliar, harga jual Sashimi bisa mencapai tiga kali lipat. Mengingat potensi perikanan di laut Flores yang begitu besar, apa kendala yang harus diperbaki agar produksi ikan meningkat?

Paulus menyebutkan tingkat konsumsi ikan di Kabupaten Sikka mencapai 59 kg/kapita/tahun, diatas rata-rata konsumsi nasional sebesar 54 kg/kapita/tahun.

Perrmintaan pasar besar, kata Theodorus dan tidak dibatasi. Pihak perusahaan berharap pemerintah membantu menggenjot perikanan tangkap agar produksi meningkat. Khusus tuna dan cakalang, KCBS mengekspor ikan berkualitas grade A dan B ke Korea Selatan, Jepang, Vietnam, Cina, Malaysia dan Singapura.

“Kita butuh dukungan transportasi karena biaya transportasi sangat tinggi seperti harga sewa kontainer. Nelayan juga tidak menepati janji menjual ikan ke kami,” tuturnya.

Untuk ekspor, lanjut Theodorus, dari Maumere dikirim ke Surabaya (Jatim) kemudian diekspor ke luar negeri. Pihaknya butuh ekspor langsung dari Maumere, baik administrasi dan closing container-nya. Pemerintah Kabupaten Sikka pun bisa mendapatkan pemasukan.

“Kalau ekspor dari Surabaya maka pendapatan daerahnya masuk ke Surabaya. Kalau bisa ekspornya dari wilayah NTT saja atau langsung dari Maumere,” harapnya.

Saiful berharap pemerintah bisa menambah investor baru yang khusus membeli ikan tuna dan nelayan. Alasannya bila ada beberapa perusahaan yang membeli ikan, harga jual ikan pun bersaing.

penting dibaca :  Menteri KKP Ubah Kebijakan untuk Tingkatkan Ekspor Ikan Kerapu

 

Kapal huhate penangkap ikan cakalang milik nelayan Pulau Pemana, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Tawaran Solusi

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat saat ditanyai Mongabay Indonesia, Minggu (26/7/2020) mengaku bersyukur meskipun dalam situasi sulit pandemi Corona, pengusaha di NTT terus bekerja dan bisa melakukan ekspor ikan.

Tetapi alat tangkap ikan yang tradisional, modal dan sumber daya manusia, kata Viktor, menjadi masalah perikanan di NTT. Untuk itu sebutnya, pemerintah perlu lakukan pelatihan di pabrik agar pengolahan ikan di NTT bisa lebih baik.

“Kita akan menambah anggaran dan pasar. Dalam waktu dekat kita akan ke Jepang untuk berbicara dengan pengusaha disana. Kalau alat tangkapnya memadai maka waktu penangkapan lebih lama dan produksi bisa lebih banyak,” ungkapnya.

Viktor mengakui sudah berbicara dengan Menteri Perdagangan sehingga dalam bulan Juli 2021 sudah bisa ekspor semua produk dari NTT. Sudah disiapkan 2 pesawat besar untuk mengangkut semua produk dari NTT.

Sedangkan Bupati Sikka Fransikus Roberto Diogo mengatakan sudah berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan sedang dibuat grand design terkait kolam labuh, alat tangkap dan SDM nelayan.

Dengan begitu, kata Robi, potensi perikanan di laut utara dan selatan Kabupaten Sikka terutama ikan-ikan pelagis bisa digarap maksimal. Sekaligus, Pemkab Sikka tetap mencegah aktivitas destructive fishing terutama penggunaan bom ikan

“Kita tetap lakukan kegiatan konservasi, sosialisasi dan pencegahan. Pembinaan dan pengawasan secara ketat dilakukan agar kondisi ekosistem laut kita tetap terjaga untuk menjamin keberlanjutan produksi ikan baik pelagis maupun demersal,” terangnya.

 

penting dibaca : Destructive Fishing Masih Marak Terjadi di NTT, Kenapa?

 

Saiful menambahkan, nelayan telah mengembangkan teknik penangkapan baru, memancing malam tetapi tidak di rumpon tetapi menggunakan sistem pancing hanyut.

Namun nelayan tuna sebutnya, perlu biaya untuk membeli lampu dan generator agar bisa memancing malam. Untuk itu nelayan butuh dana Rp5 juta dan berharap bantuan pemerintah.

“Biaya bahan bakar dengan sistem pancing di rumpon membutuhkan solar minimal 150 liter namun dengan sistem mancing malam membutuhkan solar 30 hingga 40 liter untuk mesin kapal dan bensin untuk generator sekitar 6 liter saja,” pungkasnya.

 

Exit mobile version