Mongabay.co.id

PUMMA, Alat Murah Pendeteksi Tsunami Buatan KKP dan BIG

 

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang rentan terdampak bencana alam yang terjadi di laut. Salah satu focus mitigasinya adalah bagaimana meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap bencana alam seperti tsunami yang berpotensi merusak kawasan pesisir.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengakui bahwa wilayah pesisir menjadi bagian dari gambaran tentang Indonesia yang rentan terhadap bencana alam. Bencana tsunami, akan selalu mengancam wilayah pesisir, karena Indonesia berada pada jalur cincin api (ring of fire).

“Juga pertemuan tiga lempeng besar yang saling bertumbukan. Hal itu mengakibatkan Indonesia rawan terjadi bencana gempa dan tsunami. Berbagai bencana itu, seperti tsunami, kerap kali menelan korban jiwa,” jelasnya belum lama ini di Jakarta.

Menurutnya, di antara penyebab masih banyaknya korban jiwa, karena pemahaman dan pengetahuan masyarakat, khususnya yang ada di wilayah pesisir masih sangat rendah. Saat bencana terjadi, mereka tidak tahu harus berbuat apa karena tidak mengenali tanda-tanda bencana tsunami.

Agar persoalan tersebut tidak terus berulang, Pemerintah Indonesia terus meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama yang tinggal di wilayah pesisir. Sehingga masyarakat paham apa yang harus dilakukan saat kondisi darurat bencana terjadi.

“Di samping itu, kami juga mengembangkan sistem peringatan dini tsunami yang efisien dan efektif, yang dapat dengan mudah ditiru dan dikembangkan di daerah-daerah rawan tsunami,” jelasnya.

baca : Inilah Gelombang Tsunami Tertinggi Dalam Catatan Sejarah Moderen

 

Pemukiman yang rata pasca tsunami di wilayah penggaraman Pantai Talise, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu, pada Sabtu (29/9/18). Foto : Rosmini Rivai/Mongabay Indonesia

 

Keberhasilan mitigasi tsunami, Edhy menyebut, dipengaruhi oleh perencanaan tata ruang pantai, pemberdayaan masyarakat pesisir, dan juga peran serta mereka dalam kondisi tersebut akan menjadi kunci utama.

Di mata dia, komponen kultural untuk melaksanakan mitigasi tsunami adalah salah satu elemen yang penting. Kehadiran elemen itu akan bisa mendorong para peneliti yang bekerja di Badan Riset Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) untuk terus mengembangkan sebuah alat deteksi dini tsunami yang dapat diproduksi, dijaga, dan dipelihara langsung oleh masyarakat.

“Juga untuk melengkapi sistem eksisting yang sekarang ini,” tutur dia.

Adapun, pengembangan yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui BRSDM KP adalah sistem peringatan dini tsunami berbasis pemantauan muka air, di mana komponen keterlibatan dan budaya kesadaran masyarakat diperkuat secara bersamaan.

baca juga : Ring of Fire dan Tsunami: Teknologi Alternatif dan Perlunya Edukasi bagi Publik

 

Deteksi Dini

Sistem sederhana ini, memanfaatkan pengukuran muka air secara rapat dan cepat (real time) dan dapat memberikan peringatan dini secara cepat ke perangkat yang ditetapkan melalui surat elektronik (email) dan juga pesan singkat (SMS).

Menurut Edhy, sistem peringatan dini tsunami yang berhasil dikembangkan itu adalah Inexpensive Device for Sea Level Measurement (IDSL) atau Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air Laut (PUMMA). Alat tersebut dikembangkan berkat kerja sama apik antara BRSDM KP dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), European Comission, dan Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI).

“Alat ini tidak hanya memberikan informasi langsung tentang perubahan kenaikan permukaan laut karena anomali yang tiba-tiba, tetapi juga memperkuat kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat pesisir terhadap peristiwa tsunami di masa depan,” tegasnya.

perlu dibaca : Tsunami dan Ketidakjelasan Mitigasi Bencana (Bagian 1)

 

Pemasangan Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air Laut (PUMMA), alat pendeteksi tsunami ciptaan BRSDM KKP dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), European Comission, dan Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI). Foto : KKP

 

Terpisah, Kepala BRSDM KP Sjarief Widjaja menjelaskan, alat untuk sistem peringatan dini tsunami saat ini sudah dipasang di sejumlah titik di Indonesia. Alat bernama PUMMA tersebut disebutkan sudah dipasang di Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Marina Jambu (Banten), pulau Sebesi (Lampung), dan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng (DI Yogyakarta).

Selain empat lokasi tersebut, PUMMA juga akan dipasang di empat lokasi lainnya yang saat ini masih dalam proses penentuan. Penambahan tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia akan terus berupaya menjaga wilayah pesisir dari ancaman bahaya tsunami.

Sjarief mengatakan, pada masa mendatang produksi dan pemasangan alat PUMMA diharapkan sudah bisa dilakukan secara mandiri di setiap daerah dengan melibatkan usaha mikro dan kecil menengah (UMKM), serta kampus perguruan tinggi yang ada di setiap daerah.

“Sehingga bisa memenuhi kebutuhan luas wilayah Indonesia yang memerlukan sistem peringatan dini tsunami secara mandiri dan belum tercakup oleh sistem eksisting,” jelas dia.

Dengan kata lain, kehadiran PUMMA diharapkan bisa menjadi jalan untuk meningkatkan peran komunitas masyarakat pesisir dalam melaksanakan mitigasi bencana, khususnya tsunami. Melalui PUMMA, KKP ingin terus berinovasi dalam mengembangkan teknologi untuk memantau ancaman tsunami di pesisir.

Agar budaya masyarakat pesisir yang tangguh terhadap bencana bisa terbangun dengan baik melalui penggunaan teknologi PUMMA, maka dukungan dari semua pihak mutlak untuk diberikan selama proses tersebut. Dukungan itu, terutama dari masyarakat sekitar bersama aparat pemerintahan lokal.

Dalam prosesnya, KKP ingin mewujudkan penguatan sistem eksisting dengan meningkatkan partisipasi masyarakat pesisir dalam segala aspek mitigasi bencana pesisir. Untuk itu, keberadaan jaringan pelabuhan perikanan, para penyuluh, dan kelompok masyarakat pesisir sadar bencana yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara akan menjadi ujung tombak.

menarik dibaca : Apa yang Terjadi dengan Satwa Laut Saat Tsunami Terjadi?

 

Pemasangan Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air Laut (PUMMA), alat pendeteksi tsunami yang dipasang di pesisir Kota Bungus, Sumatera Barat. Foto : Dian Novianto/BRSDM KKP

 

Ketahanan Diri

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Manusia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus bisa meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Selain melibatkan teknologi, upaya untuk meningkatkan ketahanan diri bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik secara alami maupun dengan melibatkan sains. Strategi itu harus dijalani, karena Indonesia adalah negara yang rentan terhadap bencana alam di darat dan juga laut.

Khusus untuk pelibatan alami, Safri menyebutkan, yang paling berperan untuk melaksanakan tugas resiliensi adalah ekosistem di darat dan lautan. Di laut, ekosistem pesisir dan laut berperan sangat penting untuk menciptakan benteng alami dari bencana alam

Namun, ekosistem pesisir dan laut dewasa ini sedang mengalami ancaman dan tekanan akibat pembangunan yang sangat cepat. Pembangunan fisik itu, terutama terjadi di kawasan pesisir yang menjadi habitat untuk ekosistem bakau (mangrove) dan lamun (seagrass).

Padahal, sumber daya di kawasan pesisir dan laut berperan penting dalam melaksanakan mitigasi dan adaptasi menghadapi dampak perubahan iklim. Selain itu, kawasan tersebut juga bisa berperan untuk meningkatkan adaptasi menghadapi berbagai bencana alam yang sangat rentan terjadi di Indonesia.

“Dengan kondisi ini, resiliensi atau ketahanan diri perlu dibangun dan dikelola, agar dampak negatif dari bencana alam dan perubahan iklim dapat diantisipasi,” ucapnya.

Safri mengungkapkan, ekosistem mangrove dan lamun memiliki peran dan fungsi sangat penting sebagai benteng pertahanan yang alami. Fungsi dan peran tersebut, akan menjamin keberlanjutan produksi perikanan tangkap, perikanan budi daya, pariwisata bahari, dan sekaligus ekonomi masyarakat.

Diketahui, saat ini luasan mangrove yang masih ada di Indonesia mencapai 3,4 juta hektare dan menyimpan potensi 3,14 miliar ton karbon yang efektif untuk menyerap seluruh karbondioksida (CO2). Dari luasan tersebut, yang kondisinya baik mencapai 1,6 juta ha dan kondisinya buruk mencapai 1,8 juta ha.

 

Mangrove yang tidak hanya mencegah abrasi tetapi juga benteng dari terjangan tsunami. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version