Mongabay.co.id

Papua Jangan Bergantung Beras, Manfaatkan Keragaman Pangan Lokal

Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku dan lain-lain. Tanaman sagu, antara lain yang cocok di lahan gambut. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Dalam masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), Papua dan Papua Barat, tak bisa berdiam diri mengandalkan pangan beras. Untuk itu, perlu ada persiapan pengamanan pangan dengan pasokan ragam lokal seperti sagu, ubi, pisang dan lain-lain.

Agus Sumule, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Papua (UNIPA), mengatakan, selama ini setok beras di Papua dan Papua Barat, tak bermasalah tetapi tak bisa berdiam diri mengandalkan pangan beras.

“Sebelum situasi buruk terjadi, perlu menyiapkan skenario melindungi setok pangan di masyarakat, selain beras,” katanya, kepada Mongabay melalui belum lama ini.

Sebagian besar penduduk di Papua mengkonsumsi beras. Untuk Papua Barat, ada 27% mengkonsumsi pangan lokal seperti sagu, ubi, singkong, dan ketela.

“Ini yang makan makanan non-beras, dan mereka masih ada kebun. Selebihnya, orang-orang yang sangat tergantung bahan makanan dari luar, terutama pendatang dan orang-orang Papua yang sudah tidak berkebun atau tinggal di kota,” kata Agus.

 

Pola konsumsi

Perubahan konsumsi pangan di kota-kota besar baik Papua dan Papua Barat, dan alami ketergantungan beras tinggi dalam 20 tahun terakhir.

Charlie Danny Heatubun, Guru Besar Tetap Ilmu Botani Hutan Universitas Papua kepada Mongabay melalui telepon mengatakan, beras telah mengubah konsumsi warga dari awalnya pangan lokal.

Charlie kelahiran Manokwari. Sejak 2018, dia dipercaya sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Papua Barat.

Akses beras murah dan mudah di Papua, katanya, membawa penduduk Papua beralih ke beras sebagai makanan pokok.

“Anak-anak saya saat ini untuk makan ubi, sagu, aduh susah.”

Berkaitan dengan tradisi, makanan lokal memang punya keunggulan tersendiri. Menurut Charlie, makanan lokal lebih sehat dibanding beras. Bagi yang punya potensi diabetes, katanya, lebih aman pangan lokal seperti ubi jalar dan sagu, kadar gula rendah.

Keragaman pangan lokal itu, katanya, harus terjaga karena terkait ketangguhan masyarakat. Ia juga terhubung dengan iklim, dan pemanasan global.

Padi lebih rentan perubahan iklim atau pemanasan global. Tanaman pangan lokal juga lebih adaptif dengan perubahan iklim.

“Pertanian padi mengeluarkan emisi rumah kaca yang lebih tinggi dibandingkan kalau menanam ubi, singkong, termasuk sagu.”

 

Pisang, salah satu sumber karbohidrat. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, budidaya pangan lokal Papua memiliki prospek bagus. Namun, katanya, perlu kebijakan dan komitmen kuat pemerintah daerah dan pusat..

“Kita tahu pemerintah pusat dengan TNI mencetak lahan sawah, termasuk di Papua. Menurut saya, ini bertentangan dengan semangat yang kita inginkan. Seharusnya, pemerintah mengembangkan komoditas sagu karena masa depan tidak hanya di Indonesia juga dunia, karena kerabat liarnya banyak di Papua.”

Untuk beras, katanya, ada sentra produksi seperti di Merauke, Manokwari Selatan, dan Kabupaten Sorong. “Itu volumenya masih kecil dibandingkan kebutuhan,” katanya.

Menurut dia, sensus ekonomi nasional Maret 2020 di Papua Barat menyebutkan, penduduk 982.000 jiwa dengan keperluan beras 75.991 ton per tahun. Konsumsi beras per kapita per bulan 6,45 kg.

Luas sawah produktif di Papua Barat 7.174 hektar, produksi beras lokal 30.219 ton per tahun, ada selisih cukup besar. “Kita bisa kurangi saja kebutuhan beras per tahun, yang 75.991 ton dikurang 30.219 ton, berarti ada defisit, selisih 45.772 ton. Jumlah ini yang harus didatangkan dari luar Papua Barat.”

Pada masa pandemi setok beras 75.991 ton sudah aman tetapi ada sekitar 45.772 ton dari daerah lain.

Charlie bersama Tim Ketahanan Pangan dan Gugus Tugas COVID-19 terus berkoordinasi mengenai ketahanan pangan di masa pandemi. Kalau COVID terus berlangsung, dalam kondisi seperti ini, sentra-sentra beras di Jawa, Sulawesi, bisa terganggu, hingga mereka memprioritaskan daerah di sekitar wilayah itu.

Transportasi di Papua Barat, katanya, jadi faktor penentu bagi distribusi pangan. Masa pandemi ini, transportasi penumpang dan barang mengalami pelambatan. Angkutan di Papua Barat tergantung dengan pesawat Hercules yang memasok bantuan medis, dan sampel (tes darah).

 

Siapkan pangan lokal

Dalam mengantisipasi kemungkinan buruk itu, Pemerintah Papua menyiapkan setok pangan lokal. Skenario ini dirancang untuk tanggap darurat.

Pengembangan pangan lokal, seperti keladi, ubi-ubian disiapkan. Dalam perencanaan, ada 100 hektar kebun untuk keladi (talas), panen sekitar 7-10 bulan, ubi jalar 100 hektar dengan masa panen 3,5-lima bulan. Kemudian, ubi kayu sekitar 100 hektar dengan umur panen 6-8 bulan, begitu juga jagung luas sama, dan sayur-sayuran.

APBD Papua Barat mengalokasikan dana untuk penguatan pangan lokal. Gubernur Papua Barat menyetujui dengan anggaran sekitar Rp31,781 miliar.

Landasan hukum pelaksanaan tanggap darurat ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Papua Barat Nomor: 360/89/IV/2020. Sesuai arahan pusat, SK itu memuat tiga kelompok bidang, yaitu, masalah kesehatan, dampak ekonomi, dan jaringan pengaman sosial. Pangan, katanya, bagian penting masuk dalam jaringan pengamanan sosial.

“Kebijakan pemerintah untuk produksi pangan lokal dari kebun-kebun, sekitar Rp31 miliar sekian itu untuk skenario terburuk yang kita siapkan. Sampai saat ini, tidak ada masalah khusus di Papua Barat, logistik masih bagus,” kata Charlie.

Agus Sumule, mengatakan, masyarakat harus ada insentif untuk membuat kebun. “Bukan orang per orang, tapi komunitas. Karena mereka masyarakat komunal,” katanya.

Dalam hitungan sederhana, sekitar 27% penduduk Papua Barat masyarakat yang tak tergantung beras. Mereka ini yang masih punya kebun.

“Nah, pemerintah harus berpikir bagaimana cara orang buka kebun lebih luas. Kalau tidak, diberi arahan, insentif, bisa bilang, kenapa saya harus buka kebun bagi orang lain? Kan saya tetap akan hidup?”

Selain itu, katanya, tak kalah penting, memberikan kepastian ada jaminan pasar terhadap hasil panen.

 

 

Keterangan foto utama: Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Papua dan Papua Barat.  Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Ubi. Beragam jenis ubi ada di negeri ini. Mengapa semua harus seragam dengan beras kalau beragam sumber pangan tersedia? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version