Mongabay.co.id

Refleksi Hari Hutan Indonesia : Pelajaran Berharga dari Sebuah Kartun Terkenal

Kartun adalah media seni yang telah lama dipergunakan oleh para pembuatnya untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas. Terkadang ia mewakili apa yang menjadi perhatian bersama, kali lain ia memberi peringatan kepada masyarakat tentang apa yang penting namun belum menjadi perhatian Bersama. Kartunis terkenal, Graeme MacKay, membuat kartun jenis kedua di masa pandemi COVID-19 ini dengan hasil yang mustahil akan dilupakan umat manusia.

Hal yang sangat menarik adalah bahwa MacKay tidak membuatnya satu kali. Ketika mayoritas penduduk Bumi sedang sibuk dengan respons jangka pendek terhadap wabah dengan peringatan cuci tangan (plus membatasi sentuhan dengan orang lain), MacKay membuat kartun pertamanya yang menggambarkan betapa orang tidak sadar atas ancaman yang bakal datang segera di belakang wabah.

Be sure to wash your hands and all be well,” kata seseorang yang tak tampak di tengah-tengah rimba beton. Rimba beton itu digambarkan MacKay sedang hendak ditelan oleh sebuah ombak besar berwarna merah muda bertuliskan COVID-19. Tak jauh di belakangnya, ada ombak biru yang tingginya dua kali lipat dengan tulisan recession. MacKay mau memperingatkan kita semua bahwa wabah ini bisa memiliki konsekuensi ekonomi yang besar, bahkan lebih besar daripada dampak kesehatan yang waktu itu dibayangkan. Pembatasan ruang gerak dan aktivitas manusia untuk menekan penularan ternyata membuat ekonomi mengecil, sehingga kita semua ada dalam bayang-bayang resesi.

baca : Jane Goodall: COVID-19 adalah Produk Hubungan Tidak Selaras Manusia dengan Satwa dan Lingkungan

 

 

Sumber : Graeme MacKay/mackaycartoons.net

 

Ketika kartun itu masih pada bentuknya yang pertama, popularitasnya sudah tinggi. Kebanyakan yang mempergunakannya adalah mereka yang ingin mengingatkan dampak ekonomi langsung dari wabah ini. Tetapi, popularitas kartun itu semakin menjadi manakala sebuah ombak yang lebih tinggi lagi dan berwarna hijau ditambahkan. Kali ini, tulisannya adalah climate change.

Kalau kebanyakan orang yang tak cukup sadar atas dampak ekonomi dari wabah ini di masa awalnya, tentu membayangkan bahwa ancaman perubahan iklim akan lebih besar lagi itu benar-benar tak ada di benak mereka. Walaupun World Economic Forum menurunkan laporan Global Risk Report 2020 yang menaruh 6 risiko terbesar bagi dunia seluruhnya terkait dengan perubahan iklim, itu hanya ada di benak minoritas penduduk Bumi.

Selama ini manusia bisa merasakan bahwa cuaca ekstrem makin kerap terjadi, suhu menjadi ekstra-panas atau ekstra-dingin, banjir dan kekeringan seakan datang silih berganti, dan kerusakan alam yang timbul makin mudah disaksikan. Tetapi, mengaitkan itu semua dengan perubahan iklim, apalagi dengan beragam penyebabnya, masih menjadi ‘kemewahan’ buat sebagian besar orang. Secara umum manusia mengetahui bahwa lingkungan memang rusak, namun mereka cenderung mengabaikannya, apalagi di hadapan ancaman resesi ekonomi.

Benak manusia memang cenderung untuk bekerja pada jangka pendek atau reaktif. Terhadap wabah, banyak yang meresponsnya dengan segera, tanpa kesadaran bahwa resesi ekonomi bakal segera terjadi. Ketika resesi benar-benar terjadi, yang dilakukan adalah respons atas resesi itu. Tak heran kalau perubahan iklim, yang sudah diingatkan sejak lama oleh para ilmuwan sebagai sebuah kepastian dalam jangka panjang, tidak cukup mendapatkan tanggapan memadai.

Tetapi kartun MacKay tidak berhenti mengingatkan kita semua. Perubahan iklim bukanlah bencana terakhir yang akan kita hadapi. Sebagaimana yang sudah banyak diberitahukan oleh para ilmuwan, perubahan iklim bakal membawa banyak bencana lingkungan lain, termasuk runtuhnya keanekaragaman hayati. Itu yang digambarkan oleh MacKay pada kartunnya yang mutakhir, dengan gelombang hitam bertuliskan biodiversity collapse.

baca juga : Belajar dari Coronavirus, Siapkah Indonesia Menghadapi Pandemi karena Iklim ?

 

Sumber : Graeme MacKay/mackaycartoons.net

 

Umat manusia sudah cukup lama mengalami kehilangan keanekaragaman hayati. Jumlah spesies yang hilang lantaran aktivitas pembangunan yang tidak berkelanjutan, terutama penghilangan hutan, telah dicatat selama beberapa dekade terakhir. Peringatan sudah lama diberikan juga oleh para ilmuwan, namun tak kunjung didengar. Banyak di antara kita yang menyangka bahwa hilangnya spesies-spesies tertentu tak ada urusannya dengan kesejahteraan, apalagi eksistensi manusia.

Kita memang kerap lupa bahwa kita adalah makhluk hidup, bagian dari keanekaragaman hayati, yang sangat bergantung kepada beragam jasa lingkungan, termasuk yang diberikan oleh spesies-spesies lain. Kita kerap lupa, bahkan banyak di antara kita yang tak pernah tahu, bahwa beragam spesies tumbuhan lah yang menyediakan air yang kita minum dan pergunakan untuk keperluan lain. Tumbuhan pula yang menyediakan udara yang kita hirup, dan banyak sumber pangan. Ketika kita menggusur hutan dengan dalih ekonomi, banyak yang di antara kita yang melakukannya tanpa kesadaran bahwa itu juga menggusur sumber air dan udara kita sendiri.

Spesies-spesies hewan tertentu sudah lama menjadi sumber pangan manusia. Banyak di antaranya yang diburu dan dibantai tanpa perhitungan, sehingga jumlah mereka menyusut drastis. Spesies-spesies hewan tertentu memberikan jasa yang lebih sulit dilihat, seperti melakukan penyerbukan. Banyak di antara kita yang tak menyadari bahwa kita hanya bisa menikmati buah-buahan lantaran bantuan spesies-spesies yang menyerbuki tumbuhan di wilayah mereka mencari sumber makanannya.

Ketika kemudian hutan-hutan digusur, lalu beragam spesies itu menyusut atau bahkan punah untuk selamanya, manusia harus menanggung akibatnya. Tadinya, tak cukup dirasakan lantaran magnitude yang tak signifikan. Lama kelamaan, dampaknya terus membesar, kejadian katastrofik makin kerap terjadi, dan makin dekat dengan setiap orang. Dan COVID-19 adalah salah satu di antara kejadian katastrofik yang harus dirasakan manusia lantaran cara pembangunan yang dipilihnya.

Banyak orang mengernyitkan dahi dengan penjelasan bahwa COVID-19 adalah akibat dari cara kita memberlakukan habitat dan spesies lain secara serampangan. Namun, begitulah hakikat beragam penyakit zoonosis. Manusia dan hewan-hewan tertentu seharusnya memiliki ruang hidup masing-masing. Tetapi, manusia yang membunuh banyak spesies untuk dimakan telah membuat pertemuan itu. Ketika hutan-hutan dihilangkan, beragam spesies hewan kehilangan habitatnya, dan lagi-lagi bertemu dengan manusia. Beragam patogen yang tadinya hanya ada di hewan, dan tidak membahayakan mereka, tetiba melompat ke manusia dan menyebabkan penyakit.

perlu dibaca : Pandemi Corona, Waktunya Aksi Nyata Setop Deforestasi dan Perdagangan Satwa

 

Ilustrasi. Virus corona

 

COVID-19 adalah salah satu saja penyakit zoonosis itu, dan jelas bukan yang terakhir. Manusia, lantaran terpapar dengan beragam spesies hewan, akan menanggung akibat yang merupakan suatu kepastian saja dari cara hidupnya. Hal ini sama sekali bukan kejadian berdampak besar yang tak teramalkan sebelumnya, atau Black Swan dalam istilah Nassim Nicholas Taleb. Istilah yang lebih tepat untuk COVID-19 adalah Gray Rhino, yang diperkenalkan oleh Michele Wucker. Kepastian akan kejadian ini sudah diperingatkan sejak lama, namun diabaikan hingga benar-benar mewujud.

Lalu, apa yang sekarang perlu dilakukan oleh umat manusia? Kalau kini kita sudah berhadapan dengan ombak COVID-19 dan resesi ekonomi, apakah kita akan berdiam saja menunggu datangnya ombak perubahan iklim dan keruntuhan keanekaragaman hayati, termasuk ancaman kepunahan manusia? Itu semua pilihan kolektif umat manusia. Kita sudah lama berada di periode geologis bernama Antroposene. Umat manusia lah yang menentukan apa yang bakal menimpa dirinya sendiri dan seluruh penghuni Bumi.

Di tengah-tengah wabah ini, sudah banyak terdengar suara-suara yang semakin keras mengingatkan bahwa kita semua perlu berbenah. Wabah dan resesi ekonomi adalah peringatan dan peluang yang diberikan bagi manusia untuk memperbaiki diri. Salah satu perbaikan pentingnya, tentu saja, adalah menata hubungan dengan hutan. Untuk mencegah wabah zoonosis berikutnya, dan dampak ekonomi yang mengikutinya, kita perlu memerbaiki hutan-hutan yang telah kita rusak. Dengan perbaikan itu, dampak negatif perubahan iklim bisa kita tekan, demikian juga dengan ancaman keruntuhan keanekaragaman hayati.

Salah satu pemuka dalam isu-isu keberlanjutan, John Elkington, baru-baru ini mempublikasikan karya mutakhirnya, Green Swans: The Coming Boom of Regenerative Capitalism. Kapitalisme Regeneratif adalah jenis pengaturan ekonomi yang memastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang sesuai dengan keperluan manusia di masa mendatang. Ini bisa dicapai mulai dengan ekonomi yang tidak lagi merusak lingkungan termasuk hutan, diikuti dengan tindakan restoratif atas lingkungan yang tadinya kita rusak. Beragam model ekonomi sudah diajukan agar kita tak lagi merusak. Beragam model ekonomi restoratif juga sudah ditemukan. Pada akhirnya, hanya yang bisa menemukan model ekonomi regeneratif saja yang akan benar-benar kompatibel dengan masa depan. Dan di dalam model ekonomi itu hutan yang lestari adalah salah satu penanda terpentingnya.

Selamat Hari Hutan Indonesia, 7 Agustus 2020!

 

*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis

 

Exit mobile version