Mongabay.co.id

Frengki Duwit, Usaha Jamur Tiram Tak Hanya soal Duit

Frengki Duwit dan jamur tiram produksinya. Foto: dokumen Frengki Duwit

 

 

 

 

“Jangan kita orang Papua berlomba-lomba untuk jadi Pegawai Negeri Sipil, kita bisa jadi pengusaha dengan memanfaatkan kekayaan alam di Papua, ” kata Frengki Duwit, pembudidaya jamur tiram.

Dia lahir di Teminabuan, Sorong Selatan, Papua Barat. Lulusan Sarjana Kehutanan dari Universitas Viktory Sorong.

Sudah tiga tahun terakhir ini Frengki menekuni budidaya jamur tiram di Jalan Walet, Kelurahan Malasom, Distrik Aimas, Sorong.

D’Papua Jamur Tiram, begitu label usaha jamur tiram Frengki. “Nama ini diberikan oleh istri saya yang orang Jawa. Katanya agar orang tau bahwa ini milik orang Papua.”

Frengki juga bergabung dalam komunitas jamur di Jawa maupun Papua dan Papua Barat.

“Waktu saya sekolah orang-orang terdekat saya selalu menasehati saya, kamu itu akan terlihat hebat ketika memberikan gaji buat orang lain bukan sebaliknya,” katanya mengenang.

Sejak kecil dia sudah bercita-cita berwirausaha. Alasanya, buka usaha bisa mempekerjakan orang lain.

Frengki anak ketiga dari enam bersaudara. Sejak kuliah, dia sudah melatih diri membagi waktu antara kuliah dan bekerja.

Kala kuliah dia jadi sopir rental sebagai kerja sampingan. Dia selesai kuliah 2014 dan tetap jadi sopir rental.

Awal mula muncul ide buka usaha jamur, setelah dia berdiskusi dengan temannya, seorang penjual es buah asal Jawa, di depan Alun-alun Kota Sorong.

“Kamu dari Jawa tidak mungkin hanya jual es buah, pasti ada keahlian lain yang kamu miliki,” kata Frengki kepada temannya itu.

 

Jamur tiram produksi Frengki Duwit. Foto: dokumen Frengki

 

Ternyata dia pandai budidaya jamur tetapi tak punya dana. Mereka pun kerjasama. Waktu berjalan, sang teman minta Frengki jadi distributor dan dia yang budidaya. Frengki tak mau karena niat awal memang mau budidaya. Mereka pun tak kerjasama lagi.

Frengki bersama istri, terus menjalankan usaha ini. Mereka tak tahu cara budidaya jamur dan mulai dari awal berlajar lewat internet.

“Saat itu, hampir setiap hari saya dan istri ke tempat Wifi untuk belajar lagi soal pengolahan jamur tiram.”

Belajar dan terus belajar. Frengki mulai bertemu pria asal Cianjur melalui internet. Mereka saling berkontak dan pria itu melatih Frengki belajar budidaya via telepon.

“Karena belum punya lahan, saya gunakan garasi mobil untuk usaha ini dengan modal awal Rp4 juta,” katanya.

Usaha terus berkembang. Kini, dia sudah sewa lahan seluas 14×100 meter atau sekitar 1.400 meter persegi.

Sejak Juni 2017, Frengki sudah mandiri budidaya jamur tiram. Per hari dia sudah bisa panen 30 kilogram dengan harga Rp35.000 per kg.

“Tahun-tahun awal, tentu saya mengalami kesulitan mulai dari proses pembuatan masih belum sempurna hingga ada jamur yang baik, ada yang tidak. Saya tidak berhenti. Itu malah memicu saya berlatih lagi.”

Masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ini, Frengki sama sekali tak berdampak. Jamur tetap laris manis.

Frengki berharap, pemerintah seperti Dinas Kehutanan dan Pertanian dapat mendukung penuh orang Papua yang ingin budidaya antara lain, jamur tiram.

“Pemerintah cenderung membuat pelatihan-pelatihan tapi hanya sebatas pelatihan.”

Sejak usaha jamur tiram Frengki berdiri, banyak sekali pengunjung datang untuk melihat langsung proses pengolahan. Jadi, baginya, usaha jamur tiram ini tak sekadar mencari uang, juga membagikan ilmu.

“Sudah beberapa kali saya kedatangan anak-anak SMA hingga mahasiswa untuk belajar cara pegolahan Jjmur tiram. Bahkan ada mahasiswa yang menuliskan usaha saya sebagai [bahan] skripsi.”

 

Jamur tiram baru panen. Foto: dokumen Frengki Duwit

 

Bahan-bahan pembuatan jamur tiram terbilang mudah sekaligus mengurangi sampah, antara lain, serbuk kayu, dan katul padi. Budidaya jamur tiram, katanya, selain bermanfaat finansial, bahan pangan bernutrisi juga bagus bagi kesehatan maupun lingkungan.

Jamur tiram, kata Frengki, dipercaya bisa meningkatkan daya tahan tubuh, menurunkan kolesterol, mencegah kanker,   dapat meningkatkan kolagen, dan mengurangi limbah Kayu. Serbuk jamur tiram juga bisa untuk media tanam seledri.

Sebelumnya, berita Mongabay, Ahmad Mahbubi, akademisi dari Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengatakan, budidaya jamur tiram pertama kali pada masa perang dunia I di Jerman. Di Indonesia, sekitar 1988.

Mahbubi bilang, budidaya jamur, selain mendapat keuntungan finansial, juga secara ekologis. Pengelolaan serius dan intens, katanya, bisa meraup keuntungan per siklus jamur, menyerap tenaga kerja dan menumbuhkan kewirausahaan.

Secara ekologis, budidaya jamur bisa mengurangi limbah gergaji kayu karena sebagai salah satu media tanam jamur tiram. Selain pakai sisa gergajian kaju, juga jerami atau alang-alang.

Menurut penelitian Puslitbang Sosial Ekonomi dan Perubahan Iklim (P3SEKPI, 2019), katanya, budidaya jamur oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) mampu mengalihkan ketergantungan masyarakat pada hutan, mengurangi penebangan liar dan meningkatkan konservasi hutan.

 

 

Keterangan foto utama: Frengki Duwit dan jamur tiram produksinya. Foto: dokumen Frengki Duwit

 

 

Exit mobile version