Mongabay.co.id

Menyoal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Perlndungan Masyarakat Marjinal dalam RUU Cipta Kerja

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terus dikebut. Padahal, penolakan dari berbagai kalangan terhadap RUU yang disusun menggunakan konsep Omnibus Law tersebut terus berdatangan. Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Dilihat dari segi proses, pembahasan beleid ini jauh dari kata ideal karena dilangsungkan di tengah seruan dan kebijakan pembatasan jarak (physical distancing).

Sementara dalam proses penyusunan yang dilakukan pemerintah sebelumnya, perancang sama sekali tidak membuka ruang partisipasi publik sehingga menjadikan RUU yang diperuntukkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan investasi ini sangat ekslusif yang hanya dapat diakses oleh kalangan elit.

Dari sisi subtansi, RUU tersebut memiliki banyak masalah. Termasuk dalam pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak sejalan dengan perlindungan lingkungan hidup dan perlindungan masyarakat marjinal.

Dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA), RUU ini akan merevisi banyak Undang-Undang. Diantaranya, RUU Cipta Kerja akan merevisi sejumlah undang-undang, yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Juga, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Dinilai Ancam Masyarakat dan Lingkungan, Apa Kata Mereka?

 

Lahan dan sumberdaya hutan akan semakin gencar menjadi obyek investasi saat RUU Cipta Kerja disetujui menjadi UU. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Rezim Perizinan

RUU Cipta Kerja menghendaki seluruh proses perizinan dikendalikan oleh pusat. Baik dalam pengelolaan SDA yang ada di darat, maupun dilaut.

Ditinjau dari sisi efektivitas, peralihan izin dari daerah ke pusat bukanlah suatu hal yang salah. Sejauh ini, memang pemerintah daerah sering kali mengobral perizinan SDA kepada pihak swasta. Tidak jarang, semua itu disertai dengan perkara korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap sedikitnya telah menangani 27 kasus tindak pidana korupsi di sektor SDA sejak 2009. Di mana Sebagian besarnya merupakan korupsi yang terjadi dalam proses perizinan.

Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah kasus Nur Alam yang terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang selaku gubernur Sulawesi Tenggara dalam memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi san Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

Namun demikian, merubah rezim perizinan sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat bermasalah bila ditinjau dari sisi otonomi daerah. Dalam hal ini, terjadi resentralisasi kewenangan perizinan yang mulanya berada di pemerintah daerah. Tentu, hal ini bertentangan dengan prinsip otonomi daerah yang menghendaki setiap daerah otonom berdaualat atas pengaturan sumber daya alam yang ada di daerahnya.

Selain itu, ketentuan ini juga kontras dengan ketentuan yang diatur dalam revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang baru saja disahkan. UU Minerba menyatakan bahwa kewenangan perizinan dapat diserahkan kepada pemerintah daerah.

Baca juga: Mereka Nilai RUU Cipta Kerja Ancaman, Segera Sahkan UU Masyarakat Adat

 

Demo menolak aksi penambangan beberapa waktu lalu. Tambang diklaim memiliki daya rusak luar besar bagi lingkungan dan komunitas lokal. Dok: JATAM

 

Perlindungan Lingkungan Hidup

Pengelolaan sumber daya alam seharusnya berorientasi untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan memulihkan kerugian negara akibat investasi yang merusak. Tentu, hal tersebut tidak cukup hanya dengan memberikan sanksi administrasi berupa denda, namun mesti ada ancaman pidana yang mampu memberi efek jera bagi perusahaan perusak.

Sayangnya, semangat ini tidak terdapat dalam RUU Cipta Kerja. RUU ini benar-benar memanjakan pebisnis. Keran pengelolaan sumber daya alam dibuka lebar-lebar dengan memberikan berbagai kemudahan, sementara peningkatan kualitas sumber daya manusia dan perlindungan lingkungan hidup justru mengalami kemunduran.

RUU Cipta Kerja bakal menghapus pasal-pasal kunci yang mengatur perlindungan lingkungan, menghapus izin lingkungan dan kriteria amdal, mempermudah proses perizinan, memperlemah keterlibatan pemerintah dalam melakukan pengawasan dan penjatuhan sanksi bagi pelaku kerusakan lingkungan, serta menghapus sanksi pidana dan menggantinya dengan sanksi administrasi.

Dalam usaha perkebunan misalnya, RUU Cipta Kerja akan menghapuskan ketentuan Pasal 16 UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) yang memuat kewajiban mengusahakan lahan perkebunan dalam jangka waktu tertentu setelah pemberian status hak atas tanah. Artinya, setelah RUU Cipta Kerja ini disahkan, tidak ada kewajiban lagi bagi pengusaha kapan harus mengusahakan tanah yang telah dikuasainya.

Tentu hal ini akan menyebabkan pemerintah kehilangan kewenangan dalam mengawasi lahan yang telah diberi “hak menguasai” terhadap pebisnis.

Selain itu, RUU Cipta Keja juga memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk memanfaatkan hutan lindung dan menghidupkan kembali aturan penguasaan HGU selama 90 tahun. Padahal, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Bahas Lingkungan dan Kehutanan, Berikut Masukan Para Pakar

 

Sawit, komoditas andalan perkebunan Indonesia. Sawit menuai kontroversi karena dinilai memiliki dampak bagi lingkungan.  Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Perlindungan Masyarakat Marjinal

Dari beberapa ketentuan yang akan diubah, selain melemahkan komitmen perlindungan lingkungan hidup, RUU Cipta Kerja juga tampak tidak memiliki komitmen untuk melindungi masyarakat marjinal. RUU yang diperuntukkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan investasi ini hanya berorientasi pada kemudahan eksploitasi sumber daya alam, dan seakan dibentuk hanya sebagai pemutus rantai hambatan yang menghalangi ekspliotasi sumber daya alam, sementara perlindungan masyarakat terdampak tidak diperkuat.

Bahkan dalam beberapa hal, RUU ini berpotensi menghilangkan partisipatif masyarakat yang terlibat dalam memutuskan pelaksanaan sebuah proyek, menghilangkan kewajiban usaha dalam pemenuhan standar lingkungan, dan proses perizinan.

Padahal, investasi-investasi dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut acapkali diikuti dengan konflik ekonomi, sosial dan lahan dengan masyarakat marjinal yang sampai saat ini sulit bagi mereka untuk mendapatkan keadilan.

Sebagai catatan, konflik akibat pengelolaan SDA dari tahun ke tahun terus meningkat. Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), hingga Desember 2019, setidaknya ada 346 konflik akibat rebutan sumber daya alam yang terjadi hingga tahun lalu.

Konflik itu terjadi di 166 kabupaten/kota di 32 provinsi. Areal yang menjadi rebutan seluas 2,3 juta hektar yang melibatkan 1.164.175 orang masyarakat adat dan/atau lokal.  Konflik perkebunan menempati jumlah tertinggi dengan 161 konflik, di sektor kehutanan 92 konflik, pertambangan 50 konflik, pertanahan 40 konflik, dan 3 konflik di perairan dan kepulauan (Kompas, 2020)

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (2017) juga menyebutkan telah terjadi konflik SDA di 126 komunitas adat yang mengakibatkan 262 warga masyarakat adat dipenjara (AMAN, 2018). Pada tahun yang sama, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga menyebutkan sedikitnya terjadi 659 konflik akibat pengelolaan SDA (KPA, 2018).

Persoalan lain yang menyertai RUU Cipta Kerja adalah persoalan perlindungan pekerja laut. Dalam RUU Cipta Kerja, tidak diatur mengenai standar upah minimum pekerja yang bekerja di kapal penangkap ikan. Padahal, salah satu tujuan dari RUU cipta Kerja adalah untuk menciptakan lapangan kerja baru.

Dengan merujuk pada Draf RUU Cipta Kerja, apa yang akan dilakukan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut belum terjawab. Implikasinya, niat pemerintah untuk meningkatkan investasi dan perekonomian berpotensi memicu konflik yang tak berkesudahan.

Padahal, perlindungan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta masyarakat di sekitarnya amat penting dilakukan agar tidak menciptakan eksploitasi berlebihan (over exploitation) dan tidak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat marjinal. Dari segi perlindungan sosial jelas ini merupakan ancaman nyata.

 

* Antoni Putra, Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version