Mongabay.co.id

Kala Warga Desa Bina Karya Tuntut Plasma 480 Hektar

Hamparan kebun sawit di Desa Bina Karya. Foto: Yudi Semai/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Masalah plasma antara warga Desa Bina Karya, dan PT London Sumatera (Lonsum) sudah hampir 25 tahun tetapi masih berlarut. Desa transmigran yang terbentuk pada 1982-1983 ini, menuntut 240 kavling atau 480 hektar lahan plasma dari perusahaan perkebunan sawit ini. Perusahaan nyatakan masalah sudah selesai dengan menyebutkan, lahan tak memenuhi syarat jadi plasma. Sisi lain, pemerintah desa masih membayar pajak atas lahan yang berada dalam kelola perusahaan itu.

Dumiyati, Kepala Desa Bina Karya bercerita, sebelum terbentuk Kabupaten Musirawas Utara [Muratara], Desa Bina Karya, masuk Kabupaten Musirawas. PT London Sumatera (Lonsum) Tbk, datang untuk mengembangkan perkebunan sawit di sekitar desa transmigran di Kecamatan Karang Dapo pada 1995. Kabupaten Musirawas Utara (Muratara), terbentuk pada 2013. Ia pemekaran dari Kabupaten Musirawas.

Kala itu, masyarakat setuju ketika lahan cadangan transmigran seluas 1.700 hektar ditanami sawit perusahaan. “Karena akan jadi plasma sebanyak 850 kavling,” katanya kepada Mongabay, pertengahan Juli lalu.

Setelah beroperasi selama puluhan tahun, katanya, Lonsum belum juga menyerahkan sisa plasma sebanyak 240 kavling atau 480 hektar kepada warga Desa Bina Karya, Kecamatan Karang Dapo, Kabupaten  Muratara, Sumatera Selatan ini .

Baca juga: Upaya Petani Swadaya Benahi Tata Kelola Kebun Sawit

Perkebunan sawit Lonsum di Kecamatan Karang Dapo, Muratara, satu bentang dengan kebun perusahaan itu yang berada di Kecamatan Muara Lakitan dan Desa Muara Megang. Bentang ini diapit Sungai Lakitan dan Sungai Rawas.

“Karena tidak tahan lagi menunggu, pada awal September 2019, kami mendatangi kantor Lonsum di Sei Riam. Kami menduduki lahan perkebunan. Awal 2020, Pemerintah Muratara memediasi konflik ini, hingga saat ini sisa plasma kami belum diberikan,” kata Dumiyati.

 

Dumiyati, Kepala Desa Bina Karya, mengatakan, sejak 1995, Pemerintah Desa Bina Karya masih membayar lahan yang jadi kebun perusahaan, belum jadi plasma warga. Lahan ini dulu merupakan pencadangan transmigrasi. Foto: Yudi Semai/ Mongabay Indonesia

 

 

Pada 5 September 2019, Lonsum mengeluarkan rilis media, seperti dikutip dari Sumselgo.com soal tuntutan warga Desa Bina Karya atas 240 kavling plasma.

Agus Effendi, kuasa hukum Lonsum menjelaskan, masalah plasma 240 kavling tuntutan warga telah Lonsum selesaikan sejak 2011, melalui Pokja bentukan Bupati Musi Rawas saat itu, Ridwan Mukti. Dalam keputusan itu, 240 paket lahan tidak memenuhi syarat jadi plasma.

Keputusan ini jadi dasar Lonsum, sebagai perusahaan yang mengantongi hak guna usaha (HGU) dan memiliki kewajiban membayar pajak. Perusahaan mengklaim taat membayar pajak.

Penyelesaian lahan plasma warga Desa Bina Karya tertuang dalam Surat Keputusan [SK] Bupati Musi Rawas Nomor: 506/KPTS/II/2011 ditandatangani Ridwan Mukti pada 16 Oktober 2011.

Bagi warga yang belum terima penjelasan perusahaan, dia mempersilakan menempuh jalur hukum karena semua bukti dan dokumen resmi dari Pemerintah Musirawas.

Dumiyati mempertanyakan pernyataan itu. “Apa dasarnya lahan tidak memenuhi syarat jadi plasma? Jika lahan itu sudah selesai, kenapa lahan seluas 480 hektar itu pajaknya dibayar pemerintah Desa Bina Karya sejak 1995? Itu artinya lahan masih punya desa,” katanya.

Dumiyati menunjukkan salinan lembar pembayaran pajak lahan itu oleh Pemerintah Desa Bina Karya.

“Sudahlah, sebaiknya penuhi hak masyarakat. Saya ini mendukung tuntutan masyarakat ini sebagai upaya agar konflik tidak berkembang jadi anarkis.”

“Saya ini mencegah konflik meluas. Jika konflik meluas, semua pihak merugi, dan produk sawit Indonesia kian terancam di pasaran internasional.”

Dumiyati juga mempersoalkan banyak tenaga kerja dari luar padahal warga desa banyak menganggur. Dia juga keluhkan perusahaan sulit berikan dana tanggung jawab sosial. “Sulit sekali dana CSR corpotare social responsibility-red) dari Lonsum untuk memperbaiki jalan desa yang tidak pernah baik ini,” katanya.

 

Jalan di sejumlah desa transmigran di Kecamatan Karang Dapo, termasuk Desa Bina Karya, sebagian besar rusak parah. Foto: Yudi Semai/ Mongabay Indonesia

 

Dari penelusuran Mongabay, hampir setiap desa transmigran di Kecamatan Karang Dapo memiliki persoalan plasma dengan perusahaan perkebunan sawit.

Antara lain, Desa Biaro Baru, mulai menyuarakan persoalan plasma sejak 1997, akhirnya mendapatkan seluas 464 hektar dari PT Pratama Palm Abadi [PPA] awal 2018. Sebagian warga Desa Biaro Baru tidak puas dengan pemberian plasma ini, karena tidak sesuai tuntutan awal.

Tidak jelas berapa luas yang akan dituntut dan upaya warga tidak puas itu. Kelompok warga ini bergabung dengan warga Desa Bina Karya saat menuntut lahan plasma dengan Lonsum.

“Ya, hampir semua punya masalah plasma. Makanya, dalam waktu dekat ini semua desa akan bersatu untuk melakukan tuntutan kepada perusahaan,” kata Dumiyati.

Desa di Kecamatan Karang Dapo yakni Aringin, Biaro Baru, Biaro Lama, Bina Karya, Karang Dapo I, Kertasari, Rantau Kadam dan Setia Marga. Desa-desa ini berbatasan dengan perkebunan sawit.

 

Sulit air bersih dan hidup susah

Persoalan utama di Desa Bina Karya yakni air bersih. Saat musim penghujan, air melimpah, kala kemarau mereka kesulitan air bersih. “Kami mengalami krisis air. Sumur kering. Katanya, kami berebut air dengan pohon sawit yang juga rakus air,” kata Sukri Rodi, Wakil Ketua Lembaga Adat Desa Bina Karya.

Sebelum masuk perkebunan sawit Lonsum, Desa Bina Karya merupakan desa transmigran dengan tanaman pertanian, seperti sayuran dan palawija. Sebagian kecil mulai berkebun karet. Mayoritas warga dari Jawa, sebagian kecil transmigran lokal.

 

Alat berat di kebun sawit warga. Foto: Yudi Semai/ Mongabay Indonesia

 

 

Sukri merupakan generasi kedua transmigran di Desa Bina Karya. Dia bilang, kehadiran Lonsum pada 1995, awalnya memberi harapan. Mereka dijanjikan plasma.

“Hanya sebagian kecil masyarakat yang hari ini hidup sejahtera. Sebagian hidup susah. Miskin. Tidak dapat plasma, juga lahan sudah pada dijual karena kebutuhan hidup. Akhirnya, ada yang jadi buruh perusahaan, dan sebagian besar kerja serabutan.”

Berdasarkan pemantauan Mongabay, jalan yang melintasi desa, menghubungkan desa transmigran di Kecamatan Karang Dapo, Kabupaten Muratara, hingga ke Kecamatan Muara Lakitan, Kabupaten Musirawas, sebagian besar rusak. Jalan penuh lubang bahkan sebagian ruas jalan putus hingga harus diberi balok kayu agar dapat dilintasi.

Di Desa Bina Karya, termasuk desa lain di Kecamatan Karang Dapo, tak banyak pertokoan maupun rumah makan.

Mereka pun tergantung bahan pangan dari luar, seperti sayuran, buahan dan ikan buat penuhi konsumsi masyarakat datang dari luar desa. Tidak ada lagi warga desa yang menanam sayuran dan buah-buahan. Hampir setiap jengkal tanah di desa, termasuk perkarangan rumah, tanam sawit.

“Jika punya lahan sawit kurang dari dua hektar, hidup pasti susah. Jadi, kebun sawit kecil, tidak akan membiarkan setiap butir buah sawit terbuang. Buah yang jatuh ke tanah pun dikumpul untuk jual yang dikenal sebagai buah pasir. Ini karena warga sangat butuh uang.”

Dia bilang, sebagian besar mereka hidup susah bahkan nyaris terisolir. Selama puluhan tahun mereka tak pernah keluar desa karena tak punya uang. “Padahal miliaran rupiah uang yang dihasilkan dari desa kami dari perkebunan sawit.”

Sebagai pengurus lembaga adat maupun warga Desa Bina Karya, Sukri minta Lonsum segera menyerahkan lahan plasma yang jadi hak sebagian warga desa ini. “Tolonglah, jangan biarkan orang hidup susah karena belum menerima haknya,” kata Sukri.

 

Seorang warga tengah menimbang buah pasir yang dijual ke penampung. Buah pasir adalah rontokan buah sawit. Foto: Yudi Semai/ Mongabay Indonesia 

 

Upaya warga memperjuangkan plasma juga ditempuh dengan melaporkan ke Mabes Polri pada 14 Juli 2020.

Melalui Lembaga Pemantau Penyelenggara Negara (LPPN), mereka mengirim surat kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo. Mereka minta agar Polri mengusut persoalan dengan Lonsum, yang diduga ada pelanggaran hukum.

“Kami juga berharap dukungan berbagai pihak. Terutama di pusat agar persoalan ini selesai,” kata Dumiyati.

 

***

Keterangan foto utama:  Hamparan kebun sawit di Desa Bina Karya. Foto: Yudi Semai/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version