Mongabay.co.id

Menyoal Debat Masalah Kelapa versus Kelapa Sawit

Kelapa (Cocos nucifera) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis) pada dasarnya tak punya masalah. Mereka berasal dari satu bangsa (arecales) dan suku yang sama (arecaceae). Namun kepentingan manusia atasnya yang membuat dua vegetasi palem ini “seolah bermusuhan”.

Belakangan ini di laman The Conversation, Earth Island Journal dan Mongabay.com, polemik terkait dampak lingkungan kelapa dan kelapa sawit tengah hangat diperbincangkan oleh para pemerhati lingkungan.

Perseteruan yang sengit itu bermula ketika Erik Meijaard mempublikasikan temuan barunya tentang dampak produksi minyak kelapa (coconut oil). Dalam tulisan Coconut oil production threatens five times more species than palm oil – new findings, yang diterbitkan oleh The Conversation (6 Juli 2020) dan juga Earth Island Journal (30 Juli 2020). Meijaard menggugat kebencian orang-orang pada produk kelapa sawit (palm oil) sementara mereka menyukai produk dari minyak kelapa (coconut oil).

Profesor Konservasi dari University of Kent itu heran mengapa reputasi kelapa di mata konsumen lebih cerah dibanding kelapa sawit. Padahal menurut temuannya, pohon kelapa mengancam spesies lima kali lebih banyak daripada minyak kelapa sawit.

Dalam sebuah studi untuk The International Union for Conservation of Nature (IUCN), Meijaard meneliti per volume minyak yang dihasilkan, dan berkesimpulan bahwa produksi kelapa mempengaruhi lebih banyak spesies dibandingkan tanaman minyak lainnya, termasuk kelapa sawit.

 

Seorang pekerja di perkebunan kelapa sawit. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Jika diurut, kelapa mengancam sekitar 20,2 spesies per juta metrik ton minyak yang dihasilkan, diikuti oleh zaitun dengan 4,1 spesies, kelapa sawit dengan 3,8 dan kedelai, 1,3.

Budidaya kelapa berkontribusi langsung pada kepunahan beberapa spesies. Spesies ini termasuk burung yang disebut mata putih marianne (zosterops semiflavus) dari Pulau Marianne di Seychelles, dan rubah terbang ontong jawa kepulauan solomon (pteropus howensis).

Tidak ada yang terlihat sejak 1945, tetapi mereka pernah ditemukan di pulau-pulau yang sebagian besar dikonversi menjadi perkebunan kelapa. Sementara kelapa sawit sejauh ini, menurut Meijaard dan rekan-rekan penelitiannya, masih belum menimbulkan dampak seperti itu.

Pada akhir tulisannya, Meijaard merekomendasikan bahwa semua tanaman dan komoditas memiliki konsekuensi lingkungan. Seperti halnya panen zaitun Spanyol yang dilaporkan membunuh 2,6 juta burung pada 2019 –itu terjadi ketika para pekerja pertanian menyedot minyak zaitun saat burung sedang bertengger di malam hari. Tetapi produksi minyak zaitun jarang menimbulkan kekhawatiran di kalangan konsumen dan pencinta lingkungan.

Jika orang-orang ingin memboikot minyak sawit karena kontribusinya terhadap penggundulan hutan —Meijaard menilai— layaknya mereka juga harus menghindari kopi, cokelat, zaitun dan juga kelapa.

Tak berselang lama, Asa Feinstein, ahli kelapa dari CocoAsenso, menanggapi Erik Meijaard. Dalam tulisan Does coconut oil really threaten more species than palm oil? No, it doesn’t, yang diterbitkan Mongabay.com (30 Juli 2020) dan juga Earth Island Journal (30 Juli 2020), Feinstein menerangkan ada bias informasi yang disampaikan oleh Erik Meijaard dalam penelitiannya itu.

Feinstein tidak menafikan bahwa penanaman kelapa dalam skala besar sejak awal 1900-an telah berdampak negatif pada ekosistem pulau dan spesies yang bergantung padanya. Seperti semua tanaman yang ditanam secara luas, produksi kelapa memang berdampak pada keanekaragaman hayati.

Namun yang penting dicatat ialah, pertama-tama, Meijaard berasumsi bahwa semua kelapa digunakan untuk minyak kelapa dan hanya minyak kelapa. Namun pada kenyataannya, hanya sekitar dua pertiga kelapa yang diproduksi di seluruh dunia diolah menjadi minyak kelapa. Jika penulis memperhitungkan fakta sederhana ini, angka mereka yang dilaporkan 20,2 spesies akan menjadi 12,2 spesies.

Ini masih terlihat seperti angka yang tinggi, tetapi ini sebelum kita mengingat fakta penting lainnya yang diabaikan penulis ketika menerapkan indikator mereka pada minyak kelapa –untuk satu ton produksi minyak kelapa ada 2 hingga 7 ton produk sampingan berharga yang diproduksi.

Ini mencakup 0,5 ton kue kopra (pakan ternak berprotein tinggi) dan 1,5 ton cangkang (digunakan untuk segala sesuatu mulai dari bahan bakar hingga penyaringan air). Dalam banyak kasus, produk sampingan yang dipasarkan juga termasuk 3 ton sekam (sangat dicari untuk hortikultura dan penggunaan lainnya) dan 2 ton air kelapa.

 

Perkebunan kelapa. Kelapa banyak dijumpai di daerah tropis, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Foto: Jervis Gonzalez for Mongabay.

 

Sementara dari satu ton kelapa sawit, pada dasarnya kita hanya mendapatkan satu ton minyak sawit dan beberapa bahan bakar untuk pabrik minyak sawit.

Fakta bahwa Meijaard dan rekan-rekannya berasumsi bahwa kelapa hanya digunakan untuk minyak kelapa bisa dibilang bukan alasan terbesar untuk mengabaikan analisis kelapa mereka.

Mungkin alasan terbesar adalah sesuatu yang penulis akui ketika mereka menulis bahwa data IUCN, -yang merupakan inti dari analisis mereka, “berfokus pada apa yang telah terjadi di masa lalu, daripada dampak marginal dari produksi tambahan.”

Pengetahuan tentang kerusakan lingkungan di masa lalu mungkin menarik untuk diketahui, namun apa yang benar-benar perlu diketahui oleh konsumen dan pembuat kebijakan adalah bagaimana spesies terancam saat ini dan bagaimana mereka diperkirakan akan terancam di masa depan.

Sayangnya, data yang disajikan oleh Meijaard dan rekan-rekannya hanya memberikan sedikit informasi yang relevan tentang ancaman terkini terhadap keanekaragaman hayati.

Berfokus pada kerusakan lingkungan masa lalu daripada ancaman lingkungan saat ini, secara inheren, melukiskan gambaran lingkungan yang lebih gelap untuk kelapa dan yang lebih cerah untuk minyak kelapa sawit.

Kelapa telah ditanam secara luas selama lebih dari seabad dan sebagian besar perkebunan kelapa yang ada saat ini didirikan setidaknya 50 tahun yang lalu. Bukan kebetulan bahwa satu-satunya kepunahan terkait kelapa yang disebutkan oleh Meijaard dan rekan-rekannya terjadi pada tahun 1940-an.

Sebaliknya, produksi kelapa sawit skala industri relatif baru – sebagian besar wilayahnya didirikan selama 20 tahun terakhir.

Mungkin pertanyaan paling kritis dalam menilai ancaman yang ditimbulkan tanaman tertentu terhadap keanekaragaman hayati adalah laju ekspansi dan penghancuran ekosistem alami tanaman saat ini. Meijaard dan rekan-rekannya, menurut Feinstein, benar-benar mengabaikan hal ini dalam analisis mereka.

Ini mungkin karena perkebunan kelapa berkembang lambat seperti siput. Menurut data Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), luas lahan kelapa selama tiga dekade terakhir mencapai 1,8 juta hektar, atau area yang bisa kita tempuh sekitar lima jam.

Tidak seperti kelapa, kelapa sawit adalah tanaman yang berkembang pesat yang saat ini merupakan salah satu pendorong terbesar deforestasi tropis. Selama tiga dekade terakhir, ekspansi kelapa sawit mencapai 12,1 juta hektar –wilayah seluas setengah dari Inggris, yang sebagian besar adalah hutan hujan tropis primer yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Bertentangan dengan klaim Meijaard dan rekan-rekannya, alasan mengapa para pencinta lingkungan memusatkan kemarahan mereka pada minyak kelapa sawit –bukan karena “standar ganda”— melainkan karena penilaian yang akurat dari berbagai ancaman yang berbeda yang diajukan oleh komoditas-komoditas ini pada masa sekarang dan masa depan untuk kesehatan planet kita.

 

Referensi:

[1] Erik Meijaard, Coconut oil production threatens five times more species than palm oil – new findings, The Conversation (6 Juli 2020)

[2] Asa Feinstein, Does coconut oil really threaten more species than palm oil? No, it doesn’t, com (30 Juli 2020)

 

Gambar utama: buah kelapa sawit. Foto: Rhett A Butler/ Mongabay

 

***

* Marlis Kwan, penulis adalah Analyst Fair Business for Environment Forum. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version