Mongabay.co.id

Rusaknya Habitat Ancaman Utama Kehidupan Gajah Sumatera

Gajah sumatera. Mamalia besar ini dahulunya dihormati dan menjadi bagian penting kehidupan manusia. Mengapa sekarang berbeda? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay indonesia

 

 

Kehidupan gajah sumatera masih dalam ancaman. Rusaknya habitat yang menyebabkan terjadinya konflik merupakan kondisi nyata yang dihadapi Elephas maximus sumatranus saat ini.

Di Provinsi Aceh, diperkirakan hampir 80 persen habitat gajah sumatera berada di luar kawasan hutan konservasi. Mereka tersebar di hutan produksi dan juga areal penggunaan lain.

Pembukaan kawasan hutan untuk lahan pertanian, perkebunan, dan kegiatan lain termasuk pertambangan di Kawasan Ekosistem Leuser maupun Ulu Masen, menyebabkan habitat gajah menyempit.

Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL], Dedi Yansyah, menuturkan, akibat habitat yang tergerus menyebabkan gajah yang sebelumnya hidup dalam kelompok besar, terpisah menjadi kelompok-kelompok kecil.

“Ini sangat memprihatinkan, karena ruang gerak mereka makin terbatas, sulit bersatu dalam kelompok lebih besar,” terangnya kepada Mongabay, baru-baru ini.

Dedi menyebutkan, meskipun ada kelompok-kelompok yang jumlahnya masih diatas 20 individu, namun ada kelompok yang jumlahnya sangat sedikit. Dikhawatirkan, akan sulit berkembang biak.

“Jika ini terus terjadi, tanpa ada perburuan gajah sumatera bisa lenyap dengan sendirinya, karena hidup dalam wilayah terbatas. Sebagai contoh, ada kelompok kecil di Aceh Tenggara yang harus direlokasi untuk disatukan dengan kelompok lain. Tentu saja, masalah ini harus segera dicarikan solusi.”

Baca: Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia

 

Gajah sumatera yang dulunya menjadi bagian penting kehidupan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data patroli Forum Konservasi Leuser [FKL], di beberapa kabupaten di Aceh seperti Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, dan Aceh Tenggara mulai tidak banyak ditemui tanda-tanda keberadaan gajah.

Di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah [SRAK Gajah] 2007-2017 dijelaskan bahwa wilayah ini merupakan habitat dan jalur lintasan gajah. Namun sejak 2014, tanda-tanda keberadaannya mulai tidak terlihat lagi.

“Nagan Raya dulunya habitat dan jalur lintasan gajah, hingga 2010, gajah bahkan terlihat dekat jalan negara. Untuk menjaga kantong gajah tidak hilang, cara yang harus dilakukan adalah memulihkan hutan yang rusak akibat dijadikan kebun. Pengalaman kami di Kabupaten Aceh Tamiang menunjukkan, hutan yang direstorasi membuat gajah datang kembali,” papar Dedi.

Berdasarkan SK/MenLHK No. 103/Men-LHK-II/2015, luas kawasan hutan dan konservasi perairan Aceh seluas 3.557.928 hektar, namun pada tahun 2019 yang tersisa hanya 2.989.212 hektar.

Data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh menunjukkan, luas hutan di Provinsi Aceh yang menjadi habitat gajah dan satwa lain memang menyusut. Pada 2019 misalnya, Aceh kehilangan tutupan hutan mencapai 15.071 hektar.

“Hutan saat ini seluas 2.989.212 hektar. Aceh, kehilangan tutupan hutan sekitar 41 hektar per hari,” ujar Agung Dwinurcahya, Manager GIS Yayasan HAKA.

Baca: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera

 

Anak gajah sumatera yang pernah dirawat di CRU Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Konflik gajah

BKSDA Aceh mencatat, pada 2016, konflik antara masyarakat dengan gajah mencapai 46 kasus. Selanjutnya, pada 2017 [103 kasus], 2018 [71 kasus], dan 2019 [109 kasus].

Wilayah konflik berada di Kabupaten Bener Meriah, Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Selatan, juga Aceh Tenggara. Umumnya, pertikaian terjadi karena gajah masuk perkebunan kelapa sawit warga, perusahaan pemegang HGU, serta lahan pertanian masyarakat.

Kepala BKSDA Aceh, Agus Irianto, mengatakan konflik antara manusia dengan gajah terjadi karena habitat gajah yang berkurang.

“Pembukaan lahan di kawasan hutan untuk perkebunan, pertanian, maupun kegiatan lain terus terjadi. Fungsi kawasan tidak dapat dikembalikan,” tuturnya, Kamis [06/8/2020].

Agus mengatakan, masyarakat dan satwa liar khususnya gajah, kedepannya harus dapat hidup berdampingan dan kawasan hutan tidak diganggu kegiatan merusak. “Habitatnya dapat dibuat dengan status kawasan hutan esensial atau lainnya.”

Kerja sama semua pihak untuk bersama memperhatikan kehidupan gajah dan habitatnya juga sangat penting. “Perhatian seriuas semua pihak untuk mendukung dan menjaga agar konflik tidak terjadi harus diutamakan. Dengan begitu, tidak ada pihak yang akan dirugikan,” tambahnya.

Baca: Hukuman Cambuk Menanti Pejabat Aceh, yang Membiarkan Satwa Liar Dilindungi Terancam

 

Seekor anak gajah sumatera bermain di lumpur di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Fokus penyelamatan

Kejadian di Kota Subulussalam, menjadi pelajaran kita bersama bagaimana rusaknya habitat membuat kehidupan gajah sumatera terbagi dalam kelompok kecil. Pada 2006, jumlah gajah tersisa di sini diperkirakan sekitar 10 individu dan waktu itu tercatat ada konflik dengan masyarakat di Kecamatan Simpang Kiri.

“Di Simpang Kiri ada gajah liar, hidup di antara hutan dan kebun masyarakat. Gajah berkonflik dengan masyarakat karena habitatnya berubah menjadi kebun,” ungkap Sudirman, warga Simpang Kiri.

Dia mengatakan, kawanan gajah itu sudah tidak pernah terlihat setelah satu gajah liar, yang kemudian diberi nama Septi, dibawa ke Pusat Konservasi Gajah [PKG] milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, di Saree Kabupaten Aceh Besar.

Septi ditangkap di Desa Tangga Besi, Kecamatan Simpang Kiri, Desember 2018. Awalnya gajah betina 20 tahun tersebut akan direlokasi ke hutan Bengkung, yang tersambung ke Taman Nasional Gunung Leuser melalui Desa Kapal Sesak, Kecamatan Trumon Trimur, Kabupaten Aceh Selatan.

Namun, Septi yang terbiasa hidup di areal perkebunan enggan masuk hutan, lebih sering mencari makanan di lahan garapan masyarakat. “Gajah tersisa di Simpang Kiri bukan hanya Septi, masih ada lagi yang lebih kecil yang terpantau akhir 2018,” ujarnya.

Baca juga: Ancaman Nyata UU Minerba Terhadap Gajah Sumatera

 

Mahout berpatroli dengan gajah sumatera di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Merujuk dokumen Rencana  Tindakan  Mendesak  [RTM] Penyelamatan Populasi Gajah Sumatera 2020-2023, KLHK, dijelaskan bahwa sejumlah program dan tindakan mendesak dibutuhkan untuk merespon kondisi kritis populasi  gajah  sumatera.

Dokumen yang disusun tim Direktorat KKH-KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] dan LSM yang bekerja pada penyelamatan gajah sumatera menjelaskan, penyebab kematian gajah secara langsung akibat adanya perburuan, konflik  dengan manusia manusia, jerat, racun dan juga pagar listrik.

Direktur KKH, Indra Exploitasia dalam pengantarnya menyatakan, upaya penyelamatan gajah sumatera beserta habitatnya harus dilakukan tidak hanya oleh orang-orang yang bekerja dalam dunia konservasi, tetapi harus dilakukan dan didukung juga pihak lain.

“Populasi gajah sumatera pada 2017, diperkirakan sekitar 1.694 – 2.038 individu yang tersebar di tujuh provinsi, meliputi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung yang berada di 36 kantong habitat.”

Indra mengatakan, kebutuhan ruang untuk pembangunan wilayah perkebunan dan permukiman, perburuan, dan konflik merupakan tantangan dalam upaya konservasi gajah sumatera. Terutama, terkait habitat satwa tersebut.

“Kondisi ini berdampak pada tekanan populasi dan habitat, sebagai implikasi hilang dan terfragmentasinya ruang jelajah gajah sumatera,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version