Mongabay.co.id

Gemuruh Maut di Luwu Utara [1]

Kondisi di kampung Lara Tua, kecamatan Baebunta Selatan.. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Hasnia, warga Kampung Petambua, usai mencuci perabot makan malam itu. Ibu dua anak ini bersama suaminya, Muharram bersantai menonton televisi. Di luar rumah, suara gaduh terdengar. Orang-orang mengingatkan luapan air dari Sungai Meli makin tinggi.

Di Kampung Maipi, Yasmin juga bersantai di rumah lalu mendengar teriakan orang. Dia berlari, bersama beberapa orang ke satu rumah di bantaran sungai. Air sudah tinggi, gelondongan kayu terlihat terbawa arus. Dia mundur, dan melihat beberapa rumah tersapu air.

Kenangan pahit dan getir karena banjir bandang, pada Senin malam, 13 Juli lalu ini terjadi Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Dalam kejadian ini, menelan 38 korban jiwa, puluhan luka-luka.

Andi Nina Saad, di Kampung Pontaden, bantaran Sungai Masamba juga terusan dari Sungai Maipi, bersama beberapa anggota keluarga melihat air sungai meluap. Dengan telefon genggam dia menghubungi beberapa anggota keluarga tanya situasi.

Di jalan poros utama yang menghubungkan Masamba menuju Malili, ribuan warga berdiri siaga. Orang-orang mulai panik dan saling berseru meninggalkan rumah. Andi Nina, membawa anaknya melewati lorong dan memberikan pada sang ibu. Dia kembali lagi ke rumah. Nyawanya tak tertolong.

Ulfa Mappe, mengenang tantenya dengan mata sembab. Jenazah Andi Nina ditemukan di Pombakka. Jarak Pontaden dan Pombakka, sekitar lima kilometer.

“Jauh sekali, kasian. Dia nda bisa selamatkan dirinya. Suaminya juga meninggal.”

Malam itu, kejadian begitu cepat. Keesokan hari, ribuan orang menangis. Menyaksikan rumah terkubur pasir dan gelondongan besar menindih rumah. Bagi mereka yang beruntung, beberapa orang menemukan saudara dan anak mereka di tempat terpisah. Yang lain harus rela menyaksikan jenazah digotong petugas. Hingga 24 hari berlalu, banjir itu masih terus menjadi pertanyaan.

 

Kondisi pasca banjir di Radda, Kecamatan Baebunta, Luwu Utara. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Minggu pagi, 12 Juli, Muharram seperti biasa, menapaki jalan menuju kebun di dataran tinggi, sisi lain kampung. Dia tanam beberapa tanaman sawit. Di punggung bukit kecil, dia menoleh dan melihat Kampung Petambua. Sebagian kampung masih diselimuti kabut tipis. “Saya lihat, bagus sekali pemandangannya. Kebetulan juga, saya bawa hape ke kebun,” katanya.

“Saya fotolah itu kampung empat kali. Sudah itu saya masukkan lagi hape di kantong celana,”

“Padahal, kalau mau pikir, setiap pagi ke kebun saya lihat kampung. Tapi nda pernah mau foto.”

Di tenda pengungsian, saya melihat gambar itu. Foto deretan rumah dan atap seng rapi serta sebuah kubah mesjid. Rumpun sawit terlihat membentang di sekeliling kampung.

Sehari setelah Muharram memotret kampung itu, di bawah rumpun sawit pada malam yang gelap itulah ratusan warga berlari. Orang-orang yang berteriak menyaksikan air bah datang menumbangkan kelapa. Gelegar batu gunung di batang sungai, seperti suara guntur. Keras sekali. Penduduk kampung mulai memukul tiang listrik, makin cepat dan panik. Semua orang harus keluar dari rumah.

Anak-anak digendong orangtua mereka. Para lansia dibopong. Mereka berlari. Menangis. Dua trapo listrik di Petambua, meledak dan menimbulkan pecikan api besar. Malam makin kalut. Hasnia, istri Muharram, sambil berurai air mata terus berlari. Dia menggendong anak keduanya. Anak pertama, Aan, hilang dalam jangkuan.

Dia histeris, tetapi selamat ikut rombongan keluarga lain.

Hujan masih mengguyur malam itu. Kaki yang berlari tanpa alas, tertusuk duri sawit. Perih. Anak-anak menangis kedinginan. Pada malam gelap itu, anak muda bernama Putra, mengingat orang tuanya yang tertinggal dalam rumah. Sementara air di Petambua sudah makin deras dan tinggi. Orang-orang mengingatkan Putra, tetapi dia terus menerobos.

Tak jauh dari rumahnya, batang kayu besar menghantam Putra. Dia terjepit di tembok pembatas. Tak ada yang kuasa menolong. Hingga pukul 02.00 dinihari, di bawah gerimis dari perlindungan sawit, orang-orang Petambua, duduk termenung. Mereka memeluk anak-anak mereka. Mencari karung atau apapun yang bisa menghangatkan tubuh. “Itu malam paling panjang. Panjang sekali. Kita tunggu pagi, kapan datang,” kata Muharram.

Warga lain, Idam, tinggal di Kampung Lombok, berhadapan dengan kampung Andi Nina Saad. Jarak rumah Idam dengan batang Sungai Masamba sekitar 50 meter. Rumah berlantai dua. Ketika air sungai naik, dia melihat dari ketinggian. “Beberapa hari sebelumnya, juga banjir. Tapi hujan reda, air sungai surut.”

Idam tak ada firasat buruk kalau air akan berubah jadi bah yang menakutkan. Menjelang pukul 09.00 air makin tinggi. Jembatan utama Masamba yang terlihat dari kediamannya mulai bergemuruh menimbulkan suara menakutkan. Dia panik, berlari membawa anak dan mertua.

 

Pengungsian di Desa Meli, Kecamatan Baebunta. Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Rumah Idam, berbentuk huruf L. Di bagian bangunan, yang menyambungkan dengan jalan utama, pintu terkunci. Air sudah menggenang di halaman. Orang-orang berteriak agar cepat meninggalkan rumah. Sebuah kampak, dia hantamkan di gagang pintu. Plang. “Kami bebas. Itu lega sekali.”

Kalau Idam menyaksikan air bah menyapu bangunan pukul 21.00, sejam sebelum itu di Maipi, warga sudah berjibaku menyelamatkan diri. Jarak Maipi ke Masamba sekitar sembilan kilometer.

Sebulan sebelumnya, pada 14 Mei 2020, banjir juga menghantam Masamba. Luapan air itu membawa lumpur dan gelondongan kayu. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Luwu Utara, mencatat, ada 81 keluarga terdampak.Pemerintah setempat memberikan bantuan.

Beberapa hari setelah banjir pertama itu menerjang dan tidak ada korban jiwa, air sungai kembali surut. Orang-orang mulai melupakan peristiwa pertama. Hujan terus mengguyur, hingga banjir kedua, pada 13 Juli memporakprandakan semua.

Saya menelusuri titik-titik utama wilayah yang rusak parah karena banjir bandang. Tak ada papan peringatan atau untuk mitigasi keselamatan atau jalur evakuasi kalau ada bencana.

“Ketika banjir datang, semua orang berlari saja. Mencari tempat sendiri yang dianggap aman. Memilih sendiri wilayahnya, tanah yang agak tinggi, atau rumah keluarga yang tak terjangkau banjir,” kata Idam.

 

Kondisi di jalur jembatan Balebo yang terputus . Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Daerah rawan tanpa mitigasi

Sehari setelah banjir bandang melanda Luwu Utara, pemerintah daerah mengumumkan masa tanggap darurat terhitung 14 Juli hingga 12 Agustus 2020. Ada enam kecamatan berdampak, yakni, Masamba, Sabbang, Baebunta, Baebunta Selatan, Malangke dan Malangke Barat.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana memberikan dana siap pakai Rp1 miliar. Sejak 19 Juli, lembaga ini mengumumkan korban meninggal 38 jiwa, dan tak bertambah. Mereka juga mencatat, 14.483 jiwa atau 3.627 keluarga mengungsi di 76 titik dan tersebar di tiga kecamatan, Sabbang, Baebunta dan Massamba.

BPBD Luwu pun mendata kelompok rentan yang mengungsi, terdiri dari 2.530 lansia, 870 balita, ada 124 bayi dan 137 ibu hamil.

Apakah apakah data itu valid? Beberapa relawan tak begitu yakin. Koordinasi pemerintah daerah buruk memperkeruh keadaan. BPBD bahkan tak memiliki barak utama di setiap titik pengungsian. Para pengungsi hanya mengandalkan tenda terpal sederhana untuk peneduh.

Di pengungsian Meli, puluhan tenda terpal berdiri di lahan perkebunan sawit yang sedang penanaman ulang. Di tempat ini, ketika cuaca cerah Gunung Lero sebagai hulu Sungai Meli terlihat jelas.

Sungai Masamba adalah sub DAS dari Baliase. Sungai sungai Meli sub DAS dari Rongkong. Mencermati peta topografi Luwu Utara, dan melihat bagian hulunya, jaringan sungai kecil seperti sistem urat saraf di otak manusia.

Ada ribuan sungai kecil yang membentuk urat kecil dan terhubung hingga ke gunung Kambuno serta ke Sungai Lariang di Sulawesi Barat hingga Sulawesi Tengah.

Gunung Lero adalah saudara dari Gunung Manganda di hulu Sungai Masamba. Dalam kisah foklor masyarakat setempat, dua gunung itu acap kali bertengkar. Kalau hujan mengguyur, salah satu dari gunung akan terlihat longsoran kecil. “Kalau Sungai Masamba banjir, maka orangtua dulu akan liat Manganda terluka. Begitu pun sebaliknya,” cerita beberapa warga.

 

Kondisi di kampung Maipi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Alih fungsi lahan

Kisah itu, menjadi cerita tutur masyarakat di sepanjang bantaran sungai. Namun kisah itu tak turun hingga ke generasi sekarang. “Cerita itu menarik. Artinya, ada kisah di balik itu. Luka itu adalah longsoran. Saya yakin itu tepat,” kata Adi Maulana, Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin.

Adi Maulana adalah guru besar geologi. Dia meneliti wilayah Luwu Utara pada 2017. Ketika menapaki jalur hulu Sungai Meli, Rongkong, Masamba, hingga Baliase, dia menemukan struktur yang begitu rapuh. “Strukturnya batuan granit. Batuan yang mudah jatuh. Jika lapuk akan seperti pasir,” katanya.

“Bagi orang konstruksi dan geologi, batuan granit sangat ditakuti dan menjadi penanda pentingnya kesiapsiagaan bencana.”

Dia bilang, seharusnya ada jalur evakuasi untuk warga di sempadan sungai. “Bukan bantuan bencana, itu sifatnya temporer.”

Bagi Adi Maulana, banjir Luwu Utara terjadi dalam rentang lama. Namun banjir pada 13 Juli, jadi kompleks, karena sedimentasi pasir dan kayu begitu banyak. Dia percaya, kalau ada alih fungsi lahan di area rawan itu. “Apakah alih fungsi itu legal atau pun ilegal, itu permukaan sudah terluka. Jika bagian bawah pegunungan yang rusak, bagian atas pasti tidak stabil.”

Ibrahim, penggiat alam bebas dari Komunitas Suara Gempita Pencinta Alam (Sugempa) Masamba telah lama menelusuri bagian hulu sungai itu. Dia bilang, pembukaan lahan menambah risiko banjir. “Gelondongan kayu itu bukti nyata. Pemerintah daerah jangan terus menerus menutupi.”

Selasa, 21 Juli, di lokasi pengungsian warga Petambua, saya berdiri di ujung bukit. Memandang sempadan Sungai Meli yang di kelilingi kebun sawit. Secara administratif, wilayah ini masuk Kecamatan Baebunta.

Di Baebunta, luas kebun sawit mencapai 2.779,97 hektar. Di sempadan Sungai Masamba luas kebun sawit mencapai 911,49 hektar. Total, Luwu Utara memiliki 18.833,55 hektar. Hamparan sawit inilah yang memperburuk dampak banjir. Pohon-pohon penahan air di sempadan sungai habis, berganti sawit.

Selain pembukaan lahan untuk perkebunan, di satu desa sempadan sungai, saya menjumpai koordinator penebang kayu gelondongan.

Dia tak ingin namanya disebutkan karena takut ancaman kepada keluarganya. Dia mengakomodir lima kelompok di desanya. Setiap kelompok penebang ada tujuh orang.

Dalam perjalanan menuju hutan, rute itu ditempuh dua hingga tiga hari berjalan kaki. Setiap anggota kelompok memiliki tugas sendiri selama 10 hari. Ada yang jadi penebang, penarik kayu, dan tukang masak.

Kayu-kayu itu dirapikan dalam ukuran delapan meter kemudian dihayutkan di aliran sungai hingga dekat kampung. Setiap kubik Rp1.250.000. Para pemesan datang mengambil dengan truk. “Ada banyak bos di Masamba. Tergantung siapa yang membiayai awal untuk masuk hutan,”

“Itu kan seperti bayar depan. Kan masuk hutan ambil kayu itu butuh konsumsi toh.”

Saya bertanya, apakah tidak takut ketahuan polisi dan menangkapnya. Pria itu hanya tersenyum. Dia tak berkata apa-apa. “Apakah kalian kenal dengan petugas kepolisian?” tanya saya.

Sekali lagi dia hanya tersenyum.

Berapa banyak penebang di Luwu Utara? Dia bilang, setidaknya ada tiga desa yang dia kenal. Dengan asumsi, dalam satu desa ada lima kelompok, dalam satu desa ada 35 orang. “Hutan itu ramai kalau dengar suara senso, tapi itu berjauhan. Masing-masing kelompok punya area pencarian.”

Bantaran sungai berubah jadi kebun sawit, hutan di hulu terbabat. Alam merana. Kini, ribuan warga menanggung derita di pengungsian. Rumah hancur, harta benda sirna. Mereka kehilangan istri, suami, anak dan sanak famili… (Bersambung)

 

 

Keterangan foto utama: Kondisi di kampung Lara Tua, kecamatan Baebunta Selatan.. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Kondisi pasca banjir di Radda, Kecamatan Baebunta Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version