Mongabay.co.id

Waktunya Kaji Ekosistem Batang Toru secara Menyeluruh

 

 

 

 

Kawasan Batang Toru di Sumatera Utara merupakan ekosistem penting dan rumah salah satu satwa langka dilindungi orangutan Tapanuli. Kalangan pakar dan aktivis lingkungan mendesak perlu kajian independen, mendalam dan menyeluruh guna mengevaluasi izin-izin konsesi yang berada di ekosistem Batang Toru. Kawasan ini sudah banyak investasi besar masuk, mulai dari tambang emas sampai proyek PLTA.

Serge Wich, pakar orangutan dari Liverpool John Moores University, mengatakan, pembangunan PLTA Batang Toru dapat berdampak pada ekosistem orangutan Tapanuli. Meski tidak menempati seluruh wilayah, proyek ini bisa memberikan dampak karena dibangun di lokasi dengan kepadatan orangutan tinggi dan jadi wilayah konektivitas antar mereka, yang terbagi dalam tiga blok terpisah: barat, timur dan Sibual-buali (bagian selatan hutan Batang Toru).

“Karena itu daerah kunci dan kritis untuk konektivitas orangutan Tapanuli. Kenapa ambil risiko dengan masa depan orangutan untuk proyek ini,” kata Wich dalam diskusi daring “Mendorong Penguatan Perlindungan Ekosistem Hutan Batang Toru,” baru-baru ini.

Baca: Populasi Orangutan Tapanuli Banyak Ditemukan di Lokasi Pembangunan PLTA Batang Toru

Orangutan Tapanuli, kata Wich, rentan gangguan. Ada beberapa penyebab, antara lain, perkembangbiakan sangat lamban, umur 15 tahun baru mempunyai anak dan hanya melahirkan setiap tujuh atau sembilan tahun. Populasi mereka juga kecil dan terfregmentasi. Satu orangutan hilang, katanya, sangat berdampak. Orangutan Tapanuli juga sangat tergantung hutan, dan hampir 100% arboreal atau hidup di atas pohon.

Hasil penelitianny juga menemukan orangutan Tapanuli menghindari manusia dan keributan. “Jika pohon sebagai tempat hidup sudah hilang, bagaimana mereka bisa berkembang dan bertahan hidup? Menjaga habitat tetap ada jadi kewajiban mutlak,” katanya.

Dari 800 individu, populasi tersebar antara lain di blok barat 581 orangutan, blok timur sekitar 162, dan Cagar Alam Sibual Buali lebih sedikit sekitar 24 orangutan. Total daerah jelajah orangutan Tapanuli, diperkirakan berkisar 1.023 kilometer persegi.

Baca: Petisi Hentikan Proyek PLTA Batang Toru Menanti Dukungan

Dari total daerah jelajah orangutan Tapanuli ini, 85% hutan lindung, atau cagar alam dan 15% APL, dengan perkiraan populasi sekitar 767 individu dengan tingkat kepercayaan data 95%.

Dia bilang, ada beberapa ancaman terhadap orangutan Tapanuli, seperti konflik dengan manusia. Ada juga ancaman perburuan. Jadi, terpenting kalau 1% saja orangutan Tapanuli diambil dari habitat atau mati, pasti akan terancam punah. Untuk itu, katanya, penanganan harus hati-hati sekali.

Wich mendesak, perlu ada evaluasi dampak proyek-proyek itu dan kerja sama dengan masyarakat lokal di sekitar wilayah.

Orangutan Tapanuli, katanya, memiliki populasi kecil dan sangat rentan gangguan, apalagi kalau terfragmentasi akan mengganggu perkembangbiakan mereka.

“Hentikan deforestasi. Ganti status daerah area penggunaan lain ke hutan lindung dan memperbaiki konektivitas untuk ornagutan melewati sungai Batang Toru dan jalan lintas tengah Sumatera,” katanya.

 


Selain itu, kerjasama dengan komunitas lokal, untuk menghentikan konflik atau menekan perburuan.

“Riset juga perlu terus dilakukan untuk mengetahui dampak semua ancaman. Lalu, data genetis deforestasi, kepadatan orangutan, dasar konflik atau perburuan dan lain-lain. Penting juga data yang bisa diakses semua orang, Ada transparansi hasil, sebab sekarang masih belum begitu terbuka.”

Onrizal, ahli biodiversitas Universitas Sumatera Utara mengatakan, ada 91 jenis mamalia di ekosistem Batang Toru, salah satu orangutan Tapanuli.

Baca juga:  Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru

Kehadiran sejumlah proyek di ekosistem hutan Batang Toru akan mengancam keragaman hayati di kawasan itu.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, perlu ada kajian sistematis dan audit menyeluruh terhadap proyek yang akan ataupun yang sudah mengakibatkan berbagai perubahan bentang alam dan kerusakan di Batang Toru. Begitu juga dalam melihat dampak yang dialami masyarakat.

“Perlu audit lingkungan hidup menyeluruh terhadap seluruh proyek yang akan memberikan dampak terhadap ekosistem Batang Toru.”

Dana Prima Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut mengatakan, ekosistem Batang Toru punya begitu banyak potensi, tetapi berbanding terbalik dengan proses perlindungan.

Ekosistem Batang Toru ada di tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara, dengan luasan berdasarkan peta 140.000 hektar.

Masyarakat di sekitar ekosistem Batang Toru bergantung pada air untuk perladangan, persawahan, mandi, dan kebutuhan air minum serta lain-lain.

“Di Batang Toru ada sekitar 12-an hulu DAS yang jadi Sungai Batang Toru.”

Dari 140.000-an hektar itu, ada beberapa investasi besar sudah masuk, seperti tambang emas Agricont Resort mendapatkan izin kontrak karya dari pemerintah seluas 2.200 hektar hutan sudah menjadi keloal perusahaan. Ada sejumlah IUP lain yang sudah beroperasi di ekosistem Batang Toru.

Kemudian ada juga proyek pembangunan PLTA Batang Toru. Ada juga perkebunan sawit PTPN III masuk dalam kawasan Batang Toru, dengan luasan HGU 1.917 hektar. Ada lagi, aktivitas perkebunan perkebunan ilegal di sekitar hutan Batang Toru, dan masih terus dibiarkan hingga kini.

Di Tapanuli Utara ada perusahaan panas bumi geothermal, juga beroperasi dalam ekosistem Batang Toru, dan memiliki konsesi cukup luas. Ada kemungkinan pembukaan-pembukaan hutan lebih luas lagi di sekitar ekosistem Batang Toru di Tapanuli Utara.

Masyarakat pendatang juga ada berlokasi di Lubuk Pariasan, membuka lahan pertanian.

Dia bilang, tak ada upaya konkret perlindungan ekosistem ini. Bahkan, malah jadi area penggunaan lain padahal fungsi sangat penting.

Walhi belum melihat ada upaya perlindungan ekosistem Batang Toru oleh pemerintah. Malah berlomba-lomba memasukkan investasi lain ke sana.

 

Ekosistem Batang Toru, kaya keragaman hayati, salah satu orangutanTtapanuli. Foto:  Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia 

 

Sesar aktif

Teuku Abdullah Sani, pakar geofisika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, kalau melihat fenomena alam Sumatera, Batang Toru berada di daerah pegunungan. Ada satu fenomena besar di dalam ilmu kebumian, terlihat ada lubang besar dan itu Danau Toba. Ia merupakan keajaiban besar dan unik dunia.

Danau Toba, katanya, merupakan gunung api terbesar di dunia. Di bawah itu ada aktivitas magma sebagai gunung api terbesar di dunia yang sempat meletus.

Kalau di Batang Toru , ada patahan Sumatera dan sepanjang Sumatera. Patahan ini merupakan sesar Sumatera yang aktif.

Untuk itu, harus jadi perhatian dalam pembangunan proyek, termasuk untuk perkotaan sekalipun.

Kalau melihat jalur patahan gempa dari Padang Sidempuan hingga ke Aceh, di sepanjang jalan ada patahan-patahan yang menyebabkan pergeseran, baik jalan atau tanah retak, dinding bukit atau pegunungan.

Kondisi alam ini tak bisa dihindari, jadi yang harus dilakukan rencana tata ruang. Pemerintah Sumut, sudah ada rencana tata ruang, tetapi balik lagi soal komitmen pelaksanaannya.

“Kita tidak anti pembangunan, tapi pembangunan harus disetarakan dengan alam. Tata ruang yang bijak dengan kepentingan alam, kepentingan manusia.”

Apakah memungkinkan ada PLTA di Batang Toru? Menurut dia mungkin saja, tetapi harus dengan hati-hati dan cara yang benar. Aturan hukum di Indonesia juga sudah menentukan dan mengatur soal itu, antara lain Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan.

Dalam Pasal 2 peraturan menteri ini disebutkan, pembangunan bendungan harus berdasarkan pada konsep keamanan bendungan, dan kaidah-kaidah keamanan bendungan yang tertuang dalam berbagai norma, standar, pedoman dan manual.

Dalam proyek PLTA Batang Toru, akan ada pembuatan bendungan. Sanny bilang, ada empat konsep keamanan bendungan harus ditaati pelaksana proyek.

Pertama, konsep bagaimana menata kehidupan, dan mengatur pembangunan infrastruktur, kedua, pemantauan pemeliharaan ketiga, operasi kesiapsiagaan, serta keempat, tindak darurat, apabila terjadi bencana.

Banyak kasus, kata Sanny, tiba-tiba bendungan pecah, seperti di Tiongkok, lalu timbul masalah. Untuk itu, harus ada langkah-langkah penanganan kalau sampai hal seperti itu terjadi.

Bicara keamanan, katanya, juga termasuk menganalisis patahan dan potensi gempa di wilayah yang akan dibangun bendungan.

Soal struktur, katanya, pembangunan infrastruktur yang baik dan tepat penting karena bendungan paling fatal di antara semua infrastruktur. Kalau terjadi sesuatu, katanya, harus terpantau dengan bagus.

Bendungan, katanya, selain memiliki manfaat sangat besar, juga menyimpan potensi bahaya besar pula. Ia dapat mengancam kehidupan masyarakat terutama di bagian hilir bendungan.

Keruntuhan bendungan, akan mengakibatkan banjir besar, juga ancaman bencana besar pula. “Bendungan dan banjir besar di bagian hilir. Ini jadi bencana besar apabila gagal hingga perlu benar-benar perhitungan dan penelitian yang baik dan sangat teliti oleh para ahli untuk menetapkan dimana dibangun bendungan aman dan terhindar gempa.”

Dia bilang, bencana keruntuhan bendungan tak hanya terjadi di lokasi bangunan, luas yang akan terdampak, bisa ribuan hektar ke hilir.

Sunny sebutkan contoh, bendungan Situ Gintung, Jawa Barat yang jebol. Bendungan ini menampung air kurang lebih stau juta meter kubik telah mengakibatkan korban jiwa 100 orang, dan kerugian harta benda, fasilitas sosial serta kerusakan lingkungan.

“Bendungan sangat spesial dibandingkan infrastruktur lain seperti jalan dan jembatan. Bendungan penting tetapi dengan membangun bendungan kita menciptakan bahaya cukup besar, apalagi dibangun di patahan gempa Sumatera seperti ekosistem Batang Toru,” katanya.

Setiap pembangunan bendungan, katanya, harus melalui sejumlah tahapan kajian dan mendapat tiga macam persetujuan, yaitu kajian desain, kajian konstruksi, mulai dari kesiapan pengisian awal waduk. Kemudian, harus mendapat persetujuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mulai dari izin hingga pelaksanaan konstruksi.

Selanjutnya, izin pengisian awal waduk untuk limbang pengelolaan tambang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Untuk pembangunan PLTA di ekosistem Batang Toru, Sanny mengingatkan beberapa hal. Dia bilang, perlu berpikir bijak saat membuat suatu proyek nasional, infrastruktur dan industri ekstraktif di ekosistem Batang Toru dengan mengikuti aturan berlaku. Baik, menyangkut tata ruang, zona gempa, dan patahan serta tak merusak ekosistem. Pembangunan, katanya, harus untuk memperkuat ekosistem Batang Toru yang unik.

Selain itu, katanya, perlu evaluasi dan penelitian detil, cek dan ricek rencana berbagai proyek pembangunan nasional dan industri ekstraktif di lokasi rawan gempa dan jalur patahan.

Khusus bendungan harus mengikuti spesifikasi khusus dengan memperhatikan keamanan struktur (building code). Juga pemantauan dan pemeliharaan serta konsekuensi yang kemungkinan timbul dengan memenuhi konsep kesiapsiagaan, dan tindak darurat.

 

 

***

Emmy Hafild, Senior Advisor for the President Commissioner of PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) membantah, lokasi proyek akan berdampak pada potensi koridor hutan yang menghubungkan populasi orangutan di bagian barat dan selatan.

“Kita sudah memikirkan di rencana strategi nasional untuk membuat koridor. PLTA juga sudah memikirkan itu, jadi PLTA harus mengikuti apa yang sudah direncanakan,” katanya dalam konferensi pers Mengelola Habitat Orangutan Dalam Kawasan APL, belum lama ini.

Dia bilang, semua pemangku kepentingan perlu mengelola berkelanjutan di wilayah areal penggunaan lain (APL) ekosistem Batang Toru. Berdasarkan peta tutupan lahan, sebagian besar ekosistem Batang Toru merupakan hutan lindung dan kurang 10% masuk APL.

 

Paya, orangutan Tapanuli lepas liar ke habitat di ekosistem Batang Toru, Senin (9/12/19), setelah sembuh dari luka-luka diduga kena senjata tajam. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Di APL ini sudah banyak kegiatan, seperti tambang emas, perkebunan, geothermal Sarulla, sawah yang diairi Sungai Batang Toru dan PLTA lain.

Dia berharap, semua pihak kolaborasi dalampengelolaan berkelanjutan di areal APL Batang Toru untuk melindugi orangutan di luar kawasan konservasi.

Dalam ekosistem Batang Toru ada lebih 700 orangutan Tapanuli hidup.

Jito Sugarjito, Direktur Pusat Energi Berkelanjutan dan Manajemen Sumber Daya Alam (CSERM) Universitas Nasional mengatakan, alergi saat mendengar soal perluasan kawasan konservasi karena pengelolaan yang ada saja belum benar.

“Jadi yang benar bukan perluasan, tapi manajemen pengelolaan kawasan yang ada yang harus diperkuat.”

Menurut dia, seberapa luas kawasan konsevasi kalau manajemen tidak tepat jadi percuma.

 

PLTA Batang Toru tertunda

Pembangunan PLTA Batang Toru bakal tertunda hingga tiga tahun mendatang karena pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dan masalah pendanaan.

Ikhsan Asaad, Direktur Mega Project PLN mengatakan,bahwa rencana awal operasi PLTA Batang Toru pada 2022 akan mundur. “Kemungkinan mundur ke 2025, utamanya karena terhenti drawdown dari lender Bank of China karena isu lingkungan (habitat orangutan) serta ditambah COVID-19,” katanya, Juni lalu.

Adapun Bank of China terlibat dalam pembiayaan proyek dan menyebutkan, “mencatat kekhawatiran yang diungkapkan dalam studi dan beberapa organisasi lingkungan” dan berjanji meninjau proyek ini dengan hati-hati.

Zulkifli Zaini, Direktur PLN mengatakan, masalah lingkungan jadi salah satu alasan mengapa proyek ini kemungkinan tertunda.

“Kami sudah menerima permintaan penundaan Batang Toru untuk COD (commercial operation date-red) selama tiga tahun juga karena ada COVID-19,” katanya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR, Juni lalu.

Saat dikonfirmasi, Firman Taufick, Direktur Komunikasi dan Urusan Luar NSHE menyebutkan, perusahaan dan PLN masih tahap pembicaraan atau review bersama terkait target operasional pembangunan PLTA Batang Toru.

“Apapun hasil dari diskusi antara NSHE dengan PLN, NSHE akan mengikuti kebijakan dan arahan PLN.”

 

 

Keterangan foto utama: Industri ekstraktif berada dalam ekosistem Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version