Mongabay.co.id

Ekowisata di Punggung Gamalama Ini Hadapi Masalah Sampah dan Perburuan Satwa

Pemandangan alam dari Kecamatan Mayo, yang jadi lokasi ekowisata. Kini mereka hadapi masalah sampah dan perburuan satwa. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pepohonan rimbun dan hijau. Menyegarkan mata. Ada pala, cengkih, durian dan beragam tanaman lain. Hutan di punggung Gamalama ini terletak di kawasan puncak, Kelurahan Moya, Kota Ternate Tengah, Maluku Utara.

Dalam beberapa bulan ini, lokasi ini viral di media sosial dan jadi salah satu spot paling diburu penggila swafoto di Ternate. Mereka sekadar mengabadikan keindahan dan pemandangan alam Ternate dari ketinggian.

Tempat ini berada di ketinggian 750 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan 65 derajat, Luas tak sampai satu hektar. Dari sini, bisa menyaksikan Ternate dari ketinggian. Kalau melepas pandangan ke selatan, tampak gugusan pulau-pulau sekitar seperti Maitara, Tidore Mare dan Moti. Taman Cinta, begitu mereka menamai lokasi ekowisata Puncak Moya ini.

“Ada satu keluarga sekira 20 orang datang sejak pagi dan camping. Pagi baru mereka pulang,” kata Ci Ima, penjual dan pengelola cottage di kawasan ini.

Menuju lokasi tak mudah, harus berjalan kaki menanjak, hampir 1,5 kilometer dari ujung Kelurahan Moya, yang paling dekat dengan puncak Gamalama. Pengunjung juga harus berjalan menyusuri jalan tanah menanjak, baru ada badan jalan sekitar satu kilometer, 500 meter jalan setapak.

Kesulitan mencapai lokasi terbayar dengan keindahan alam, udara pegunungan sejuk, dan pemandangan Kota Ternate nan menawan. Dalam perjalanan menuju puncak, aroma wangi cengkih dan pala begitu menyenangkan. Di sepanjang perjalanan, bisa menyaksikan perkebunan pala, cengkih dan durian yang berumur ratusan tahun.

Pengunjung juga menyaksikan warga yang panen hasil pala di tepi jalan.

“Memang melelahkan mencapai spot ini. Ketika sampai, semua bisa terbayarkan. Menikmati pemandangan alam indah, suara burung dan udara segar pegunungan hingga menyaksikan ragam jenis kupu-kupu beterbangan,” kata Sunarti, pengunjung dari Marikurubu/Torano, Kota Ternate Tengah.

 

Para pengunjung yang bermain flying fox di kawasan ekowisata Gamalama. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Kawasan ini juga terbilang ramai pengunjung, tak hanya para pemburu swafoto juga perlintasan para pendaki Gunung Gamalama. Belakangan tempat ini juga jadi lokasi camping.

Di sini sudah ada tiga cottage, taman bunga dan wahana outbond berupa flyng fox. Ekowisata ini berada dalam kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan hutan lindung Gamalama.

Ekowisata ini gagasan dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ternate Tidore. Pengelolaannya, oleh Kelompok Perhutanan Sosial Kelurahan Moya yang membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Ake Balanda. Kelompok ini dapat izin mengelola ekowisata selama 35 tahun.

“Model pemberdayaan masyarakat. Semua hasil usaha dikelola kelompok dan warga Kelurahan Moya. Hasil itu didapatkan warga terutama mereka yang memiliki kebun di siini,” kata Ibrahim Tuhateru, Kepala KPH Ternate Tidore, baru-baru ini.

Rajab Hayat, Ketua Kelompok LPHD Ake Balanda yang mengelola ekowisata ini mengatakan, beberapa fasilitas di taman ini terbangun swadaya kelompok masyarakat.

Saat ini, mereka mendapatkan dukungan flying fox dari Balai Perhutanan Sosial dan Kementerian Lingkungan Hidup (BPSKL) Maluku Papua untuk menambah fasilitas di sini.

 

Pertemuan Kepala KPH Ternate Tidore Ibrahim Tuhateru (bertopi berkemeja biru) dengan Kelompok LPHD bersama mahasiswa yang menjadi relawan pengelolaan tempat wisata. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Sampah dan perburuan satwa

Kawasan hutan Ternate , terutama yang jadi ekowisata ini menghadapi masalah serius. Di ekowisata Puncak Moya ini hadapi masalah sampah plastik bertebaran di mana- mana. Dari jalan sampai lokasi, banyak sampah.

Masalah serius lain, soal perburuan satwa seperti burung dan kus-kus Ternate marak belakangan ini. Saat datang ke ekowisata ini, ada warga menenteng senapan angin untuk berburu burung maupun jenis kus-kus di hutan ini.

Ibrahim mengakui ini. Soal sampah, memang susah karena kesadaran pengunjung minim. Untuk perburuan satwa juga masih marak, terutama jenis burung termasuk paruh bengkok.

“Untuk keragaman hayati di kawasan hutan belum identifikasi hingga belum diketahui potensi apa saja. Ada banyak jenis paruh bengkok hidup di hutan ini. Kita bisa dengar kakatua bersuara sahut sahutan di hutan ini,” katanya.

Dia sudah mendiskusikan soal sampah dan perburuan ke Kelompok LPHD. Untuk sampah, misal, ada beberapa tempat sampah maupun pengumuman di sepanjang jalan menuju ke tempat wisata agar pengunjung tak membuang sampah sembarangan.

Urusan perburuan, Kelompok LPHD segera menggelar rapat dengan pemerintah kelurahan dan meminta ada imbauan maupun pengumuman sekaligus sosialisasi kepada warga agar tak lagi berburu.

 

 

Keterangan foto utama:  Pemandangan alam dari Kecamatan Mayo, yang jadi lokasi ekowisata. Kini mereka hadapi masalah sampah dan perburuan satwa. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Kita bisa menyaksikan warga sedang panen pala maupun cengkih. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version