Mongabay.co.id

Para Penyelamat Anggrek Rawa Gambut Batang Damar

 

 

 

 

Di sebuah panggung di tengah kebun sawit, saya menyaksikan orang-orang di Jambi Tulo, bersuka cita. Gadis cilik mengenakan kurung tanggung melantunkan lagu dengan iringan musik rebana. Suara meliuk-liuk dengan cengkok khas Melayu.

Di tengah keriuhan, saya bertemu Adi Ismanto, pendiri Gerakan Muaro Jambi Bersakat (GMJB). Sudah 11 tahun dia berjuang menyelamatkan anggrek rawa gambut di Batang Damar, Muaro Jambi.

Saya mengenalnya enam tahun silam. Dia memperlihatkan anggrek-anggrek hidup liar di Batang Damar—barang kali habitat anggrek rawa gambut terbesar di Muaro Jambi.

Setidaknya 74 jenis anggrek alam kini diselamatkan anggota GMJB, kebanyakan jenis Dendrodium, Pomatocalpa, Phalaenopsisi atau Eria, Trichotocia ferox, Thelasis, Flicking ceologyne, Cymbidium, Appendicula, Javanica, dan Bulbophyllum. Juga Dendrobium Lapongense, jenis anggrek yang jarang ditemukan di Jambi.

Adi juga pernah menunjukkan anggrek Dendrobium hendersonii. Dia menyebut, merpati biru, karena daun anggrek berwarna hijau kebiru-biruan. Anggrek jenis itu langka di Jambi.

Beberapa jenis anggrek yang belum diketahui nama latin diberi nama kampung, anggrek badak, karena bentuk bunga menyerupai badak. Adi bilang itu termasuk jenis anggrek langka.

Ado 10 jenis yang belum diketahui namonyo, sampai sekarang kami belum tahu.”

Anggrek-anggrek yang hidup liar di lahan gambut memiliki banyak keunikan, mulai dari corak, warna bahkan aroma wangi berbeda-beda. “Setiap anggrek punya keunikan sendiri-sendiri. Macam Coelogyne asperata itu mirip anggrek hitam (Coelogyne pandurata-red) di Kalimantan. Kalau di sini corak tengah merah samo kuning,” kata Adi.

Banyak anggrek mati karena tak tahan panas matahari. Hidup di luar habitat asli membuat anggrek-anggrek ini rentan.

Batang Damar hancur terbakar pada 2015. Berhari-hari rawa gambut penuh bara, membakar semua tanaman nyaris tanpa sisa. Lebih 100 jenis anggrek musnah. Padahal, pada 2013, GMJB mengusulkan agar batang damar jadi kawasan konservasi anggrek Muaro Jambi.

Kebakaran tidak hanya menghancurkan habitat anggrek, juga kelelawar (kalong) di Maro Sebo.

Enam tahun silam, saat saya memasuki tengah rawa gambut itu, ribuan kalong bergelantungan di ranting-ranting pohon tua yang meranggas, mirip rimbun daun. Kala senja tiba, mereka terbang mengitari batang damar, berisik, seolah bersuka cita menyambut gelap yang segera menyekap Muaro Jambi.

“Sejak kalong itu dak ado, duren-duren di Muaro Jambi itu rasonyo hambar.”

Para ilmuwan menyebut, kelelawar buah Asia Tenggara atau kalong (Pteropus hypomelanus) terancam punah. Kalong punya peran penting dalam proses penyerbukan durian (Durio zibethinus). Sayangnya, tak semua orang tahu kalau keberadaan mereka penting bagi alam.

“Waktu Batang Damar terbakar, kito sudah putus asa, dak ado lagi yang biso diselametin. Anggrek-anggrek ikut musnah, habis semuo,” kata Adi.

Sekarang, kawasan Batang Damar telah dikuasai PT Sumber Sedayu dan PT Agro Bumi Lestari. Tak lama lagi, rawa gambut itu berubah jadi kebun sawit dan jabon.

 

Sarcanthus subulatus, salah satu jenis anggrek yang selamatakan  GMJB dari rawa gambut Batang Damar, di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Saya melihat, kemeriahan di tengah kebun sawit itu bukanlah untuk merayakan suka cita, tetapi perjuangan menyelamatkan anggrek Muaro Jambi. Di tengah panggung tak bertiang, gadis cilik berbaju kurung masih mendendangkan lagu-lagu Melayu menyambut Gubernur Jambi yang datang jauh dari kota untuk meresmikan rumah bayang—tempat pembibitan anggrek Muaro Jambi.

Fachrori Umar, Gubernur Jambi turut bangga dengan upaya GMJB menjaga dan melestarikan lingkungan. “Jika kita lihat kekayaan sumber daya alam kita miliki, maka patut mensyukuri fenomena-fenomena alam yang unik,” katanya.

Dia berharap, gerakan komunitas kecil di Maro Sebo itu dapat membangkitkan semangat masyarakat luas ikut berperan menyelamatkan aggrek Muaro Jambi dan lingkungan dari bencana ekologi.

 

Gerakan 1001 anggrek macan

Setelah kebakaran 2015, semangat GMJB kembali muncul pada 2017. Mereka bertekad mengumpulkan 1001 anggrek macan (Gramatophyllum speciosum) untuk kembali lepas ke alam. Anggek ini dianggap unik karena jenis terbesar dan terberat di dunia. Anggrek macan juga lebih mudah dikembangkan di luar habitat.

“Anggrek macan ini lebih tahan dibanding jenis yang lain. Kalau lagi berbungo biso tahan sampai tigo bulan,” kata Adi.

Merawat anggrek alam di luar habitat bukan perkara gampang. Perlahan, puluhan jenis anggrek yang pernah diselamatkan anggota GMJB dari hutan mulai layu dan mati tersengat panas matahari.

Hampir semua anggota GMJB adalah petani yang hidup pas-pasan. Mereka rekayasa rumah jadi habitat anggrek mirip Batang Damar, adalah hal mustahil.

“Merawat anggrek alam ini biayanyo besak, bukan sikok (satu) duo (dua) anggrek yang kito selametin dari alam ini, tapi puluhan jenisnyo, kalau jumlahnya biso seratusan.”

Kini, sekitar 74 jenis anggrek rawa gambut yang masih bertahan hidup. “Dulu, ado 84 jenis yang kami selamatkan, sekarang, tinggal 74 jenis, sebagian mati,” katanya.

“Sayo mikirnyo, anggrek-anggrek ini harus biso hidup dari hasil dio dewek. Perawatannyo dari hasil kunjungan wisatawan.”

GMJB membuat Taman Sakat Lebung Panjang. Tiga setengah hektar kebun sawit milik Adi jadi pembibitan anggrek rawa gambut sekaligus tempat wisata minat khusus.

Wisatawan yang datang ke Taman Sakat bisa mengadopsi anggrek macan dengan berdonasi Rp100.000. Mereka akan mendapatkan satu anggrek macan yang akan dirawat Komunitas GMJB.

Lebih 50-an anggek macan telah diadopsi. “Ada dari Yogyakarta, Bandung, Bali, Jakarta, dari Jambi banyak. Kalau yang sudah kita pecah (bibit) ada 500-an batang.”

Pengunjung juga bisa mendonasikan anggrek mereka untuk mendukung gerapan 1001 anggrek macan. Adi bilang, jika mencapai 1.000, anggrek-anggrek ini akan dikembalikan ke alam liar terutama hutan yang masih asri dan terlindungi.

Pengunjung Taman Sakat juga bisa mengadopsi pohon-pohon lokal, seperti kandis, kecupak, cempunek. Pohon ini akan jadi pelindung bagi anggrek di alam. “Pelahan kita akan ubah jadi hutan lagi. Sawitnya ditebang.”

Pohon-pohon itu dahulu sebagai obat, makanan dan ritual di Muaro Jambi. Kini mulai sulit bahkan mulai terancam karena banyak pembukaan hutan untuk perkebunan.

 

Kunang-Kunang yang hilang

Hilangnya hutan Batang Damar menyingkap fenomena alam yang telah puluhan tahun tersembunyi. Fenomena kunang-kunang, istilah warga Maro Sebo pada cahaya kecil yang muncul di atas rawa gambut Batang Damar.

“Kunang-kunang ini sudah lamo ado, tapi orang tuo dulu sengajo nutupi tidak buka, kerno agama kan gak boleh percayo pada hal-hal mistis, takutnyo nanti dianggap syirik,” kata Adi.

Fenomena kunang-kunang muncul di atas rawa gambut Batang Damar disebut-sebut mirip dengan kemunculan bola api di Sungai Mekong. Penduduk Nong Khai Thailand menyebutnya dengan “Bang Fai Phaya Nak”.

Bola api naga itu hanya muncul satu tahun sekali, sekitar September atau Oktober, sebelum bulan purnama. Penduduk Nong Khai meyakini kemunculan bola api itu ada kaitan dengan Buddha.

Sementar fenomena kunang-kunang di Batang Damar muncul hampir setiap hari besar. “Munculnyo itu pas malam tahun baru (masehi), tahun baru Islam, malam takbiran,” kata Adi. “Kalau dulu orang yang pernah lihat itu warnanya banyak, ada biru, merah, kuning, kalau sekarang cuma merah.”

Batang Damar sendiri berada lima kilometer dari Candi Kedaton, bagian dari kompleks Candi Muaro Jambi tempat Yi Jing belajar Buddha.

 

Gubernur Jambi Fachrori Umar menanam anggrek macan setelah peresmian  Rumah Bayang. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Pada abad ketujuh, Pendeta I-Tsing (Yi Jing) dari Tiongkok pernah belajar sabdavidya (tata bahasa sansekerta) di Candi Muaro Jambi, sebelum berlayar ke India untuk belajar ajaran Buddha.

Belakang rawa gambut di Batang Damar dikaitkan dengan peradaban kuno sejaman masa Hindu-Buddha sejak ditemukan pecahan keramik dan kanal kuno. Dahulu, kanal jadi jalur transportasi. Kaitan sejarah di Batang Damar dengan Candi Muaro Jambi belum terungkap.

Jauh sebelumnya, hutan Batang Damar merupakan daerah kemarat bagi warga Desa Jambi Tulo, Mudung Darat dan Desa Bakung hingga muncul berbagai mitos turun-temurun.

“Orang zaman dulu itu sudah memperingatkan jangan masuk di situ (Batang Damar), jangan buat ulah di situ, kagek kamu keno ini keno ini, keno balaklah istilahnyo. Tapi orang zaman dulu memang takut akhirnya Batang Damar terlindungi.”

Mitos yang berkembang di Jambi Tulo, rawa gambut Batang Damar, merupakan sarang ular besar seukuran drum. Di Desa Mudung, ada harimau kurus. “Orang bayangkan harimau kurus bae sudah ngeri, sudah berapo lamo harimau ini tidak makan, kalau kito masuk situ (Batang Damar) kitolah yang akan dimakan,” cerita Adi.

Di Desa Bakung, ada mitos sekelompok rusa hidup di Batang Damar. “Logikanya darimano ado rusa hidup di hutan rawa, berarti bukan rusa sembarangan. Jadi, jangan sembarangan masuk ke situ.”

Kanal kuno yang ditemukan di sekitar Batang Damar, dulu untuk sedekah umo sebelum warga mulai menggarap sawah dan saat panen tiba. Sekarang, tak ada lagi sawah. Hampir semua Batang Damar dan ladang kuno dikuasai perusahaan. Rawa gambut itu perlahan mengering, air mengalir lewat kanal-kanal sepanjang ratusan meter.

“Terakhir waktu sayo masuk itu sudah tujuh hektar di Batang Damar yang digarap alat berat.”

Batang Damar sejatinya daerah resapan air yang bisa menyelamatkan ribuan hektar sawah di Kecamatan Muaro Sebo dari bencana banjir dan kekeringan.

Jalalludin, ayah Adi jadi tokoh masyarakat Jambi Tulo bilang, sawah-sawah di Desa Jambi Kecil, Setiris, Mudung Darat, Danau Kedap, Bakung, Jambi Tulo dan sebagian sawah di Desa Baru akan kekeringan kalau Batang Damar rusak.

“Dulu, sawah-sawah di sekitar Batang Damar itu tak pernah kekeringan, sekarang itu kering. Sumber air di kampung kini ko jugo kering. Sekarang, banyak yang buat sumur bor kerno sumur sudah dak ado airnyo lagi.”

Kerusakan lingkungan meluas hingga mengancam kearifan lokal di Maro Sebo. Saat ini, warga mulai kesulitan membuat tikar rumbai dan ambung dari rotan.

“Dulu di sano (Batang Damar) itu habitat pandan buat tikar, sekarang habis. Rotan buat ambung jugo tidak ado lagi, habis semuo terbakar.”

Saya menghubungi Wakil Bupati Muaro Jambi, Bambang Bayu Suseno. Dia bilang, sudah komunikasi dengan pemerintah Jambi agar bisa membantu mengembangkan anggrek Muaro Jambi.

“Saya minta potensi (anggrek) kami diidentifikasi dan pendampingan. Karena Muaro Jambi punya potensi anggrek alam,” katanya.

Pemerintah, katanya, siap mendorong pengembangan potensi di Muaro Jambi. Dia berencana, menjalin kerja sama dengan Universitas Jambi untuk rekasaya genetik. “Jangan sampai anak cucu kita hanya bisa lihat gambarnya.”

Sayangnya, masalah anggaran hampir selalu jadi alasan klasik pemerintah untuk tak melakukan apa-apa. “Anggaran kita terbatas, jadi ada program prirotas dan tidak, saya belum tahu apakah anggrek ini masuk program prioritas atau tidak.”

 

***

Suasana di tengah kebun sawit itu sudah tenang. Syair-syair Melayu tak terdengar lagi. Suara tabuh rebana sudah terhenti, rombongan Gubernur Jambi pun kembali ke kota.

Rumah Bayang, kembali sepi namun semangat komunitas ini menyelamatkan anggrek Jambi, makin kuat. “Dulu, Muaro Jambi ini habitat anggrek. Itu yang ingin kita pertahankan.”

 

 

Keterangan foto utama:  Eria bractescens atau sebut anggrek bawang. Jenis anggrek ini dulu  banyak ditemukan di rawa gambut Batang Damar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version