- Johny Kamuru, Bupati Sorong mencabut izin usaha perkebunan dan izin lingkungan perusahaan sawit, PT Mega Mustika Plantation (MMP) dan menyerahkan kepada masyarakat adat Moi, pada 14 Agustus 2020.
- Hormes Ulimpa, Ketua Ikatan Klaso, bilang, pencabutan izin oleh bupati merupakan perjuangan panjang warga. Masyarakat adat Moi yang menolak lahan dan hutan mereka jadi perkebunan sawit perusahaan.
- Awal 2020, pada Januari-Februari, Masyarakat Adat Moi mulai lobi-lobi ke pemerintah soal penolakan MMP dan meminta pemerintah daerah cabut izin. Sampai Juli 2020, tak ada tanggapan pemerintah. Mereka bersepakat aksi langsung ke bupati pada Hari Masyarakat Adat Internasional lalu. Usai aksi, Bupati Sorong, Johny Kamuru, berjanji akan cabut izin perusahaan sawit ini.
- Pemerintah Papua Barat, sedang evaluasi dan kaji ulang izin kebun sawit, salah satu MMP. Heri Wijayanto, Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Papua Barat mengatakan, sampai 2019, ada 18 perusahaan yang sudah mendapat IUP di Papua Barat dengan luas 490.191 hektar.
Kabar gembira datang dari Kabupaten Sorong, Papua Barat. Johny Kamuru, Bupati Sorong mencabut izin usaha perkebunan dan izin lingkungan perusahaan sawit, PT Mega Mustika Plantation (MMP) dan menyerahkan kepada masyarakat adat Moi, pada 14 Agustus 2020. Pencabutan izin ini buah perjuangan panjang masyarakat adat Moi yang menolak lahan dan hutan mereka jadi perkebunan sawit perusahaan.
Masyarakat Adat Moi di Kalaben, Klaso, Kabupaten Sorong, Papua Barat, selama sembilan tahun terus mendesak dan menyuarakan agar pemerintah Sorong maupun Papua Barat, mencabut izin perusahaan dan mengembalikan lahan jadi wilayah Moi.
Aksi warga terakhir pada 8 Agustus 2020, tepat pada Hari Masyarakat Adat Sedunia. Hari itu, Masyarakat Adat Moi aksi di depan Kantor Bupati Sorong mendesak bupati mencabut izin-izin perusahaan sawit di beberapa titik di tanah adat Moi seperti PT. Mega Mustika Plantation; PT. Inti Kebun Lestari dan PT. Sorong Agro Sawitindo.
Hormes Ulimpa, Ketua Ikatan Klaso, bilang, pencabutan izin oleh bupati merupakan perjuangan panjang warga. “Ini sudah lebih dulu oleh orangtua saya hingga generasi saya, akhirnya pemerintah mencabut izin usaha perkebunan PT. Mega Mustika Plantation,” katanya.
Dia bilang, soal pembongkaran hutan Klaso jadi perkebunan bukan hanya sawit, pernah ada dokumen menyatakan akan buka untuk kebun coklat dan pir.
Sumber: Yoel Mugu
Pada 2011, MMP mulai masuk ke Klaso dan bertemu sepihak dengan pihak-pihak tertentu tanpa melibatkan semua masyarakat adat Klaso. Pada pertemuan itu, perusakaan hanya menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Usai pertemuan, MMP menerbitkan berita acara dan langsung mengajukan izin ke pemerintah. Pada 23 Desember 2011, Bupati Sorong, Stepanus Malak, mengeluarkan SK Bupati soal izin lokasi untuk keperluan usaha perkebunan sawit MMP di Distrik Klaso, Kabupaten Sorong, seluas 11.475 hektar.
“Dari sini sudah terlihat kecurangan dari perusahaan yang sama sekali tidak melibatkan semua masyarakat adat dan membuat berita acara tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu,” kata Hormes.
Sejak itu, Hormes dan beberapa pemuda Moi mulai berkonsolidasi dengan pemuda, mahasiswa hingga mayarakat untuk tolak perkebunan sawit MMP. Mereka tak mau hutan adat hancur.
Mereka sudah banyak mendatapkan informasi berbagai masalah menimpa kala hutan atau wilayah adat jadi kebun sawit, antara lain, mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
“Saya bersama beberapa orang lain mulai mengajak pemuda, mahasiswa, dan masyarakat untuk penolakan perkebunan sawit demi menjaga keituhan hutan kami. Kami juga belajar dari pengalaman buruk dan dampak buruk dari perkebunan sawit yang ada lebih dulu.”
Dari 2011-2020, masyarakat Adat Moi menolak dengan berbagai cara. Mulai dari aksi langsung dan melalui media sosial mendesak pemerintah mencabut izin MMP.
Dia ceritakan, pada 2012, mereka mulai sosialisasi kepada masyarakat mengenai dampak buruk dari perkebunan sawit yang bisa merusak hutan dan segala satwa di dalamnya.
Sosialisasi dan suara warga ini mereka serahkan kepada pemerintah (bupati) tetapi mendapat respon sama sekali. Pada 2015, Hormes dan masyarakat adat Moi aksi di Klaso, tempat pembukaan kebun sawit. Mereka juga buat surat pernyataan dan berikan kepada pemerintah. Lagi-lagi tak berespon.
Mereka tak patah arang. Pada 2016, mereka kembali aksi di depan Gedung DPRD Sorong dengan tuntutan meminta DPR mendesak pemerintah mencabut izin MMP. Kabar baik belum juga datang.
Pada 2017, mereka terus kampanye melalui media sosial hingga MMP enggan membuka lahan.
Awal 2020, pada Januari-Februari, Masyarakat Adat Moi mulai lobi-lobi ke pemerintah soal penolakan MMP dan meminta pemerintah daerah cabut izin.
Sampai Juli 2020, tak ada tanggapan pemerintah. Mereka bersepakat aksi langsung ke bupati pada Hari Masyarakat Adat Internasional lalu. Usai aksi, Bupati Sorong, Johny Kamuru, berjanji akan cabut izin perusahaan sawit ini.
Pada 14 Agustus janji terwujud. Berlokasi di Kampung Dela, Distrik Selemkai. Johny Kamuru membacakan dan menyerahkan surat putusan pencabutan izin lingkungan dan IUP MMP kepada masyarakat adat Moi di Klaso, dan Morait di Kabupaten Sorong.
Masyarakat adat Moi juga meminta pemerintah pusat, Komnas HAM, Bupati Sorong, segera audit HAM dan lingkungan terhadap usaha perusahaan dan perizinan usaha perkebunan, pembalakan kayu, pertambangan dan program pembangunan kawasan khusus. Berbagai hal itu diduga melanggar hak masyarakat adat Moi dan mendapat penolakan warga.
Hormes bilang, mereka akan mengajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup agar ada penetapan hutan adat Klaso yang kini dalam status hutan produksi dikonversi (HPK). Mereka minta kawasan hutan ubah ke alokasi penggunaan lain (APL).
Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, Masyarakat Klaso meminta hutan Klaso diakui sebagai hutan adat.
Marthinus Ulimpa, anggota Komidi II DPR mengatakan, soal perubahan HPK ke APL sudah ada pembicaraan internal DI DPR terutama Komisi II yang khusus mengurus perizinan.
“Saya dan beberapa anggota DPR telah membicarakan mengenai pengalihan hutan konservasi ke hutan adat.”
Marthinus Ulimpa juga anak asli Klaso yang membantu proses pencabutan izin kebun sawit.
Pada Jumat, 8 Agustus 2020, Marthinus bertemu Kepala Dinas Pertanian dan Kabid Perkebunan untuk menyerahkan dokumen-dokumen penolakan Masyarakat Adat Klaso. Dokumen ini lalu diberikan kepada Bupati Sorong.
Menurut Marthinus, bupati menanggapi persoalan ini dengan sangat baik. Jadi, saat aksi Hari Masyarakat Adat Internasional, bupati berjanji mencabut izin dan menyerahkan surat putusan kepada masyarakat adat Moi di Klaso, dan Morait Sorong.
Marthinus mengapresiasi koalisi organisasi masyarakat sipil yang mengawal penolakan kebun sawit di Klaso termasuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya dan Malamoi.
Masyarakat adat Moi aksi di depan Kantor Bupati Sorong menuntut cabut izin kebun sawit perusahaan di wilayah adat Moi. Mereka aksi 9 Agustus 2020, tepat Hari Masyarakat Adat Internasional. Foto: Natalia Laurensia Carmelia Yewen / Mongabay Indonesia
Pemerintah Papua Barat evaluasi izin sawit
Pemerintah Papua Barat, sedang evaluasi dan kaji ulang izin kebun sawit, salah satu MMP. Heri Wijayanto, Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Papua Barat mengatakan, sampai 2019, ada 18 perusahaan yang sudah mendapat IUP di Papua Barat dengan luas 490.191 hektar.
Empat perusahaan, katanya, sudah tahap produksi, lima baru tahap menanam, sisanya, belum mulai bukan kebun.
MMP mendapat izin 9.835 hektar—data sebelumnya 11.000-an hektar. Ada tiga perusahaan lain di Kabupaten Sorong belum beroperasi dan sedang evaluasi antara lain PT. Cipta Papua Plantation seluas 15.671 hektar, PT. Inti Kebun Lestari 34.400 hektar, dan PT. Sorong Agro Sawitindo seluas 40.000 hektar.
Soal pencabutan izin MMP, Heri belum mau komentar karena belum mendpatkan surat resmi dari Pemerintah Kabupaten Sorong.
Menurut dia, hasil peninjauan kembali belum bisa publikasi dan terbatas pada internal pemerintah. Dia bilang, masih ada data harus dilengkapi dan klarifikasi ke perusahaan.
“Kewenangan mencabut izin ada pada bupati. Kita hanya menyampaikan data ke kabupaten hasil review kita.”Sebelumnya, provinsi sudah kirim surat ke Pemerintah Sorong soal evaluasi kebun sawit.
Bustar Maitar, Direktur Eksekutif Econusa mengapresiasi kebijakan Bupati Sorong. Econusa ikut membantu pemerintah Papua Barat dalam meninjau kembali izin perkebunan sawit di provinsi itu.
“Perusahaan itu jadi salah satu yang di-review, jadi saya pikir bagus karena Pak bupati berinisiatif memfasilitasi yang diminta masyarakat untuk tak memperpanjang izin. Izin juga sudah expired, harusnya sudah tidak diperpanjang. Sepantasnya hutan kembali ke masyarakat.”
Menurut dia, peninjauan kembali izin-izin ini masih terus berlangsung. Sekarang, katanya, tahap mengkonsolidasikan semua temuan. Dari hasil ini, katanya, akan ada rekomendasi kepada gubernur dan bupati.
Kalau izin lokasi dari bupati, maka yang berwenang bupati. Kalau wilayah izin lintas kabupaten dan izin dari gubernur, maka yang berwenang mencabut izin gubernur.
Sebelum akhir 2020, dia berharap, proses peninjauan izin selesai.
Bustar bilang, pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) membuat proses jadi lambat. Apalagi, katanya, perlu koordinasi bukan hanya dengan perusahaan juga pemerintah dan lembaga terkait. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut terlibat memberi masukan pada proses ini.
“Idealnya bisa face to face tapi situasi sekarang semua online hingga sedikit memperlambat proses. Mudah-mudahan sebelum akhir tahun semua sudah bisa diserahkan ke gubernur dan para bupati.”
“Yang mana kira-kira yang sebaiknya tidak diberikan izin dan diberikan kepada masyarakat.”
Keterangan foto utama: Bupati Sorong Johny Kamuru bersama masyarakat Adat Moi di Kampung Dela, Distrik Selemkai, Sorong, Papua Barat. Foto: Yoel Mugu