Mongabay.co.id

Perahu Bidar dan Tradisi Masyarakat di Sepanjang Sungai Musi

 

 

Salah satu tradisi lomba perahu di Sungai Musi adalah perahu bidar. Lomba ini biasanya digelar setiap tahun dalam merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus, dan Hari Jadi Kota Palembang, 17 Juni. Namun pada perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2020 ini tidak digelar karena pandemi COVID-19.

Lomba perahu bidar yang digelar di Sungai Musi, diperkirakan pertama kali dilaksanakan saat merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina -Ratu Belanda- pada 1898, di Palembang, Sumatera Selatan. Selanjutnya, lomba ini digelar setiap memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia dan Hari Jadi Kota Palembang.

 

Perahu bidar yang biasanya dilombakan saat perayaan Hari Hari Jadi Kota Palembang dan Hari Kemerdekaan Indonesia. Foto: Yudi Semai

 

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] bidar artinya “perahu perang”. Dilihat dari bentuknya, perahu bidar merupakan perahu pencalang, yang panjang dan tidak memiliki tutup.

Pencalang dalam bahasa melayu artinya melaju cepat atau cepat pergi. Sejumlah sejarawan memperkirakan, perahu pencalang digunakan para prajurit di masa Kedatuan Sriwijaya atau Kerajaan Palembang untuk berperang, setelah turun dari kapal utamanya.

Perahu bidar dibuat menggunakan kayu, umumnya pohon rengas. Ada beberapa jenis perahu bidar yakni Bidar Kecik [mini] dengan jumlah pendayung 5-11 pendayung. Bidar Pecalangan sekitar 35 pendayung, serta Bidar Besak [besar] yang bisa mengangkut 57-58 pendayung.

Perahu Bidar Besak panjangnya sekitar 26 meter, lebar 1,37 sentimeter, dan tingginya 70 sentimeter [tengah].

 

Dua perahu bidar mini tampak berpacu di Sungai Ogan untuk menjadi yang tercepat. Foto: Yudi Semai

 

Kampung pendayung bidar

Terlepas sejarahnya, tradisi perahu bidar merupakan lomba yang dinantikan masyarakat Palembang setiap tahunnya.

Kampung Keramasan, merupakan permukiman masyarakat yang berada di Sungai Keramasan, anak Sungai Musi. Sejak dahulu, Keramasan menghasilkan para pendayung handal. Mereka biasanya disewa sejumlah pihak, baik pemerintahan, organisasi maupun perusahaan, untuk membawa perahu bidar yang dilombakan.

 

Perahu bidar merupakan tradisi masyarakat di sepanjang Sungai Musi. Foto: Yudi Semai

 

Selain Kampung Keramasan, Kampung Kertapati dan 1 Ulu, di tepi Sungai Ogan, juga anak Sungai Musi, menghasilkan para pendayung perahu bidar. Sebagian atlet dayung Sumatera Selatan dilahirkan dari masyarakat di kampung-kampung yang memiliki tradisi tersebut.

Para pendayung lahir alami, tidak ada pendidikan khusus. Mereka hanya mendapat pelatihan dari pendayung sebelumnya.

 

Setiap perahu berisi lima pendayung anak atau remaja. Mereka calon pendayung perahu bidar dewasa. Foto: Yudi Semai

 

Pembinaan

Minggu [12/7/2020], sebanyak 64 perahu bidar mini mengikuti lomba Perahu Bidar Mini yang digelar HM Toyib -tokoh masyarakat Kelurahan 15 Ulu- di Sungai Ogan. Lomba ini dihadiri Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan.

Herman Deru mengatakan perahu bidar mini ke depan harus diperbanyak dan rutin dilakukan perlombaan, sehingga para peserta lebih bersemangat mempersiapkan diri dan tradisi bahari di Palembang terus terjaga.

 

Tradisi perahu bidar harus dilakukan pembinaan. Baik secara budaya, olahraga, maupun tradisi. Foto: Yudi Semai

 

Terpisah, Iman Setiawan, Seksi Sejarah Dinas Kebudayaan [Disbud] Kota Palembang mengatakan, “Upaya pelestarian dengan gelaran lomba bidar merupakan pembinaan pendayung sekaligus promosi daerah Palembang,” katanya usai lomba.

Mengenai pembinaan pendayung muda perahu bidar, Iman mengaku tidak tahu. Bahkan mereka tidak memiliki data berapa banyak perahu bidar dan pendayungnya di Palembang.

 

Anak-anak mengejar perahu bidar mini yang memenangkan perlombaan di Sungai Ogan, Palembang, tahun lalu. Foto: Humas Pemkot Palembang

 

Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga [Dispora] Kota Palembang, Ahmad Zazuli mengatakan, sejak dinas tersebut terbentuk pada 2017, belum memiliki program pembinaan pendayung perahu bidar. Meskipun Dispora Palembang memiliki Seksi Pelestarian Pengembangan Olahraga Rekreasi dan Olahraga Tradisi.

“Perahu bidar termasuk olahraga tradisi, seperti tarik tambang dan gobak sodor. Karena itu, Dispora Palembang seharusnya ikut andil dalam pembinaan. Tapi, selama ini Pemerintah Palembang menjadikan bidar sebagai atraksi daya tarik wisata, sehingga terkait dengan Dinas Pariwisata [Dispar].”

 

Menjelang matahari tenggelam, para pendayung berhenti berlatih mendayung perahu bidar mini. Foto: Yudi Semai

 

Pada 2015 lalu, saat menjabat Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Palembang, yang kemudian dipisah, Zazuli pernah berencana membina pendayung perahu bidar. Bentuknya penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan. Penyadaran tersebut dalam arti menanamkan jiwa pada generasi muda agar patut mengembangkan potensi diri. Setelah itu, potensi-potensi yang ada dikembangkan dengan pelatihan.

Bahkan, pernah diusulkan bantuan pembinaan terhadap pendayung bidar ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Hanya, bantuan tersebut harus disalurkan ke komunitas yang sudah berdiri minimal lima tahun. Namun, saat komunitas pendayung perahu bidar tengah dibentuk, dirinya sudah tidak lagi menjabat, sehingga program tersebut berhenti.

 

Para ibu tampak mencuci di tepi sungai. Masyarakat yang berada di tepi Sungai Ogan, Sungai Keramasan, maupun Sungai Musi, menjadikan sungai tersebut sebagai tempat mandi dan mencuci. Foto: Yudi Semai

 

Kata dia, yang ideal, pembinaan pendayung perahu bidar dilakukan secara bersama oleh Dinas Kebudayaan, Dinas Pemuda dan Olahraga, dan Dinas Pariwisata.

“Sebuah perahu bidar itu hanya bertahan lima tahun. Jadi butuh pembinaan agar perahu terawat dan lestari. Saat ini, banyak perahu bidar yang sudah rusak. Jumlahnya mungkin tidak lebih dari 10 unit,” ujarnya.

 

* Yulia Savitri dan Yudi Semai, peminat persoalan lingkungan, tradisi dan budaya yang aktif di komunitas Teater Potlot, Palembang, Sumatera Selatan.

 

 

Exit mobile version