Mongabay.co.id

Mocaf  Banjarnegara: Angkat Pendapatan Petani, Naikkan Pamor Singkong

 

“Selama petani singkong masih menderita, jangan ada kata istirahat.” Kalimat itu diucapkan oleh almarhum Said Tuhuleley, tokoh Muhammadiyah khususnya dalam pemberdayaan masyarakat. Itu adalah pesan sebelum dia meninggal kepada seorang anak muda asal Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) Riza Azyumarrida Azra (29). Riza ingat betul kalimat yang diucapkan ketika dirinya menyempatkan membesuk gurunya itu. Karena dia telah menggembleng dirinya selama bertahun-tahun sebagai relawan sosial pemberdayaan.

“Itulah kalimat yang sampai sekarang masih menjadi spirit untuk memperjuangkan para petani singkong. Saya tidak mungkin akan lupa dan akan melaksanakan apa yang diucapkan Bang Said, guru saya tersebut. Makanya, sampai sekarang saya akan terus berjuang bersama para petani singkong,”ungkap Riza saat ditemui Mongabay pada Senin (11/8).

Lazimnya, seorang yang lulus dari Fakultas Teknik Elektro, apalagi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, akan mencari perusahaan bonafid. Tetapi tidak bagi Riza. Ia justru telah memiliki “passion” berbeda, yakni sebagai relawan sosial pemberdayaan. Selepas kuliah tahun 2012, ia tidak lantas balik ke Banjarnegara, melainkan bergabung bersama Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah Yogyakarta melakukan pemberdayaan di sejumlah daerah. “Saya ikut serta pemberdayaan berbasis konservasi alam di beberapa tempat seperti Kalimantan, Lampung dan Papua. Mereka yang diberdayakan adalah warga pinggiran, tukang becak, buruh, petani salah satunya petani singkong, dan lainnya,” katanya.

Akhir tahun 2014, Riza memutuskan untuk hijrah ke kampung halamannya di Banjarnegara dari Yogyakarta. Sebagai anak muda yang telah memiliki “passion” pemberdayaan, ia membuat organisasi yang dinamakan Sahabat Difabel. Kemudian sempat juga menjadi relawan kebencanaan serta membuat Sekolah Inspirasi Pedalaman (SIP).

“Ketika SIP melaksanakan kegiatan di desa-desa terpencil di Banjarnegara, tidak sedikit petani khususnya singkong yang mengeluhkan harga. Bahkan, harga hanya Rp200 per kilogram. Sehingga kerap petani membiarkan singkongnya membusuk. Kalau dipanen, maka akan tambah merugi, karena ongkos cabut dan angkut tidak lebih besar ketimbang harga singkong hasil panen,” ungkap Riza.

baca : Achmad Subagio, Profesor Muda Pejuang Singkong

 

1-Riza Azyumarrida Azra (29) seorang muda yang mendampingi petani singkong di Banjarnegara. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dampingi Petani

Petani yang mengadu mengenai rendahnya harga singkong tersebut membuat Riza mencoba untuk melakukan pendampingan kepada para petani singkong di Banjarnegara. Kebetulan, sewaktu menjadi relawan sosial bersama MPM PP Muhammadiyah, Riza sempat melakukan pendampingan dan mengerti ilmu pembuatan mocaf atau tepung berbahan baku singkong.

“Saya juga mencari referensi dengan bertanya kepada para pakar, misalnya ke Teknologi Pangan UGM serta para tokoh lainnya. Ada satu yang disebut yakni tepung mocaf. Karena menurut para ahli itu, mocaf adalah pangan masa depan,”ujarnya.

Tepung mocaf, katanya, akan dapat mengganti tepung terigu. Apalagi, selama ini tepung terigu digunakan oleh semua kalangan. Bahkan, makanan khas di Banjarnegara dan Banyumas pada umumnya, yakni mendoan, memakai tepung terigu. Ironis sekali, makanan khas tetapi masih memanfaatkan tepung terigu impor. Sehingga sesungguhnya, pasarnya cukup terbuka.

Atas dasar itulah, kemudian Riza mulai melakukan pelatihan kepada para petani singkong yang tersebar di Banjarnegara. “Waktu itu, setidaknya ada 11 titik di sejumlah kecamatan yakni Purwonegoro, Bawang, Punggelan, Karangkobar, dan lainnya. Di daerah selatan Banjarnegara yang banyak tanaman singkong, petaninya bersemangat untuk membuat tepung mocaf, karena mereka berharap tidak hanya menjual singkong saja,”ujarnya.

Setelah diajari, ternyata banyak petani yang cukup berhasil memproduksi tepung mocaf. Jumlahnya ada yang hanya kiloan, tetapi ternyata ada yang berjumlah hingga ton. “Padahal, pada saat mengajari mereka, kami telah memastikan tidak dapat mencari pasarnya. Saya bersama teman-teman hanyalah membantu supaya singkong dapat diolah menjadi bentuk lain, salah satunya adalah tepung mocaf,”katanya.

Namun, lanjut Riza, pembelajaran produksi tepung mocaf ternyata justru menimbulkan persoalan baru, karena pemberdayaannya tidak tuntas. “Sejak awal, kami memang hanya ingin membantu saja, sehingga belum sampai memikirkan bagaimana pemasarannya. Sebab, jika harus memikirkan pemasaran, maka itu sudah masuk dalam areal bisnis. Di sinilah masalahnya. Selama ini, saya adalah relawan sosial, yang tidak memikirkan soal bisnis. Praktis, kami hanya mendampingi dan membantu pemberdayaan, itu saja,”ungkap Riza.

Dia mengaku sangat bingung dan pusing, karena ia tidak mungkin membeli hasil produksi tepung mocaf dari para petani. Karena memang tidak memiliki modal untuk melakukan pembelian.

baca juga : Cerita Ponpes Berwawasan Lingkungan yang Menuju Kemandirian

 

Pengemasan tepung mocaf di Rumah Mocaf Banjarnegara. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sociopreneur

Melihat persoalan yang muncul, Riza berusaha untuk memecahkannya dengan melakukan konsultasi kepada para pakar, misalnya Imam Prasodjo dan Tri Mumpuni untuk belajar mengenai kerja sosial yang dipadukan dengan bisnis. Dari diskusi yang dia lakukan, ada ide yang kemudian muncul untuk mempraktikkan konsep sociopreneur.

“Saya memahami sebagai demokratisasi ekonomi. Salah satunya adalah transparansi harga baik di tingkat petani maupun ketika nanti jadi tepung mocaf. Dan itu berlangsung sampai sekarang. Kami kemudian juga membentuk Rumah Mocaf sebagai wadah bagi sociopreneur ,”ujarnya.

Pada awal melangkah dirasakan begitu berat. Dalam kondisi seperti itu, ternyata Bank Indonesia (BI) Purwokerto datang dan mengenalkan bagaimana “branding” dan “packaging” kepada ahlinya. “Dari sinilah, kami mulai melangkah untuk serius dalam mengurus tepung mocaf. Jadi, kami kemudian menggandeng Desa Pesangkalan, Kecamatan Pegedongan sebagai “pilot project”. Itu kami mulai pada akhir 2017,”ujarnya.

Saat menggandeng petani singkong, ada negosiasi harga yang wajar, sehingga tidak merugikan petani. Waktu awal, harga singkong paling hanya Rp350 hingga Rp500 per kilogram (kg), padahal untuk impas harus Rp600 per kg. Karena itulah, Rumah Mocaf menawarkan harga Rp1.200 per kg atau dinaikkan hingga 100% dari break even point (BEP).

“Jelas petani sangat bersemangat, karena mereka belum pernah merasakan harga setinggi itu. Setelah dipikir-pikir, akhirnya kami malah memutuskan harganya Rp1.500 per kg. Tetapi, tidak seluruhnya diterimakan kepada petani. Mereka mendapatkan Rp1.200, sedangkan Rp300 harus ditabung. Ini penting sebagai tabungan bagi mereka. Tabungan dikelola kelompok petani dan sampai sekarang terus berjalan,”ungkapnya.

Ia mengungkapkan praktik negosiasi harga awal itu disebutnya sebagai demokratisasi ekonomi. Petani tahu perhitungannya, sehingga mereka tidak akan merugi. “Intinya, jangan sampai petani ‘diperdaya’ bukan diberdayakan. Petani dapat menentukan harga sendiri secara wajar.  Tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang dizalimi. Dengan transparansi harga, mereka juga harga tepung mocaf yang kami jual. Jadi semuanya saling tahu. Dalam sociopreneur, bolehlah mendapat keuntungan, tetapi yang wajar,”tandasnya.

Sebab, banyak cerita kelam sebelumnya, di mana petani tidak memiliki pilihan lain. Misalnya, ada satu kisah ketika sudah diangkut dan sampai ke depan pabrik, harga langsung dibanting. Petani tidak mungkin akan kembali dengan tambahan ongkos, sehingga akhirnya hanya dapat pasrah saja dengan harga yang sangat rendah. “Kami tidak mau peristiwa ini akan berulang,”ujarnya.

Dalam mempraktikkan wirausaha sosial itu, Rumah Mocaf menekankan tiga hal yang paling dasar dan harus menjadi patokan. Yakni tidak boleh mengeksploitasi petani, tidak mencemari lingkungan serta tidak mengeksploitasi hutan. “Tiga hal ini harus dilaksanakan dalam sociopreneur. Ini sangat penting,”ujarnya.

Di Desa Pesangkalan sebagai tempat “pilot project”, kini telah memiliki lahan sekitar 12 hektare dengan jumlah petani sekitar 100-an. Dari luasan itu, tidak hanya lahan milik petani, tetapi juga kerja sama dengan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) desa setempat. “Dengan luasan 12 ha, maka dijadwal setiap bulan ada yang panen dan tanam. Jika usai panen 12 bulan, maka setiap bulan ada yang panen seluas 1 ha,” katanya.

Hasilnya pun juga sudah mengalami lonjakan cukup signifikan. Kalau sebelumnya, rata-rata hasil singkong hanya 10 ton setiap ha, kini telah mencapai 30 ton. Sebab, pemeliharaannya dilakukan secara intensif. “Jadi, kami menerapkan ‘integrated farming’, karena pada umumnya warga juga memelihara kambing atau sapi. Kotorannya diproses menjadi pupuk organik. Kami telah memiliki tempat pemrosesan pupuk organik yang berada di tengah areal tanaman singkong,”ujarnya.

 

Aktivitas pengepakan untuk dikirim ke pemesan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Pemasaraan Melonjak saat Pandemi 

Dalam pengembangan “pilot project”, ada tiga klaster yang dibentuk. Klaster pertama adalah para petani yang bertugas di lapangan untuk penanaman dan pemeliharaan. Kemudian klaster kedua adalah para perempuan yang memroses singkong. Sedangkan klaster ketiga adalah anak-anak muda di Rumah Mocaf yang bertugas melakukan pemasaran.

“Anak-anak muda ini memang sengaja kami rekrut untuk melaksanakan riset data serta melakukan pemasaran secara daring. Dalam melangkah, kami pasti mencari data terlebih dahulu. Misalnya, berapa banyak yang membicarakan mocaf. Atau dalam mesin pencari itu terkenal juga dengan  kata kunci “gluten free” yang mengarah pada tepung mocaf, karena tepung memang tidak mengandung gluten. Kami juga telah memasukkan pemasaran di seluruh ‘marketplace’ besar, mulai bukalapak, shopee, tokopedia, lazada, blibli, serta lainnya,” jelasnya.

Salah satu konsumen pertama dan sampai sekarang menjadi pelanggan adalah komunitas ibu-ibu yang memiliki anak autis. Pasalnya, anak-anak autis tidak boleh mengonsumi makanan yang mengandung gluten. “Sejak awal sampai sekarang, komunitas ibu-ibu tersebut masih setia menjadi pelanggan kami. Inilah yang menjadi salah satu keyakinan kami untuk terus melangkah, karena ternyata pasar sangat terbuka lebar,”tegasnya.

BI Purwokerto, lanjutnya, juga membuka akses untuk mengikuti pameran ke luar negeri. Setidaknya, sudah lima kali pameran mengenalkan mocaf produksi Banjarnegara. “Pameran yang saya ikuti langsung di Malaysia dan Singapura. Yang di Malaysia adalah pameran produk halal dunia pada 2019 lalu. Tiga pameran lainnya, hanya produknya yang dibawa yakni di Belgia, AS, dan Rusia. Ini sangat penting bagi kami untuk mengenalkan mocaf kepada dunia.”

Sebab, kata Riza, pasar mocaf dunia itu sangat terbuka. Namun demikian, pihaknya belum dapat menembusnya, lantaran produknya harus bersertifikasi. “Saat sekarang, masih dalam proses sertifikasi dengan Sucofindo yang didukung oleh Kementerian Perindustrian. Mudah-mudahan pada September mendatang sudah bisa rampung, sehingga nantinya dapat melakukan ekspor. Karena sudah banyak negara yang berminat untuk membeli. Bahkan perwakilan Ali Baba juga telah melakukan riset ke sini,”ujarnya.

Saat sekarang, produk baru dipasarkan ke pasar lokal terutama kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang dan lainnya. Pembeli terbesar memesan melalui “marketplace” secara daring. Sehingga setiap harinya di Rumah Mocaf cukup sibuk untuk melakukan pengepakan guna mengirimkan barang. “Bahkan, pada masa pandemi sekarang, alhamdulillah, malah mengalami peningkatan hingga 100%,”katanya.

Menurutnya, sebelum pandemi, rata-rata penjualan tepung mocaf mencapai 4 ton, tetapi saat sekarang bisa mencapai 7-8 ton. Riza tidak tahu persis alasannya, tetapi kemungkinan banyak yang mencari makanan sehat. Harganya dipatok sekitar Rp17 ribu per bungkus isi 500 gram atau 0,5 kg. Ia berharap, dengan semakin tingginya permintaan, bakal mengangkat petani singkong di Banjarnegara.

Bahkan, selain di Desa Pesangkalan, pihaknya juga tengah menjajaki desa lainnya yang menjadi sentra singkong yakni Desa Wiramastra, Kecamatan Bawang dan Desa Parakan, Kecamatan Purwonegoro. Di kedua desa tersebut dipersiapkan untuk produk yang nantinya ke pasar internasional. Mudah-mudahan ini merupakan langkah nyata untuk terus meningkatkan kesejahteraan petani singkong yang selama ini terpinggirkan. Cita-cita besar Riza: bagaimana Indonesia mampu berdaulat atas pangan.

 

Exit mobile version