Mongabay.co.id

Tolak Tambang Pasir Laut, Manre Didakwa Penghinaan Mata Uang

 

Nasib Manre (55) ibarat kata pepatah ‘sudah jatuh tertimpa tangga’. Nelayan asal Pulau Kodingareng Makassar ini harus berurusan dengan pihak kepolisian dengan dakwaan penghinaan mata uang negara terkait aksinya merobek amplop pemberian perusahaan yang ternyata berisi beberapa lembar uang rupiah.

Kasus Manre sendiri telah bergulir sejak awal Agustus silam ketika dia dan dua nelayan lainnya diperiksa sebagai terdakwa oleh Direktorat Polair Makassar. Manre yang difasilitasi LBH Makassar dan Walhi sempat melakukan konferensi pers.

Pada hari Jumat (14/8/2020) sekitar pukul 08.00, ketika tengah berada di dermaga Kayu Bangkoa Makassar, Manre dijemput paksa tiga aparat kepolisian. Slamet Riadi, aktivis WALHI Sulsel, ikut digelandang ke kantor Polair karena dianggap menghalangi penyidikan.

Polda Sulsel sendiri memastikan kasus Manre akan berlanjut. Mereka telah melakukan gelar perkara dimana para penyidik meyakini Manre terindikasi melanggar hukum berdasarkan Undang-Undang No.7/2011 tentang Mata Uang, Pasal 25 ayat (1) yang mengatakan, setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan atau mengubah rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol negara akan mendapatkan sanksi pidana.

“Perbuatan tersangka kasus perusakan uang tersebut, sebagai hal yang tidak tepat dalam bersikap karena permasalahan lain yang ditimbulkannya sehingga berakibat permasalahan hukum bagi yang bersangkutan,” kata Kabid Humas Ibrahim, seperti dikutip dari makassar.terkini.id, Senin (17/8/2020).

baca : Tambang Pasir Laut di Makassar Rampas Ruang Hidup Nelayan

 

Penolakan atas tambang pasir laut dari sejumlah aktivis NGO di Makassar. Foto: Walhi Sulsel

 

Penangkapan Manre adalah buntut dari kisruh tambang pasir laut di perairan Sangkarrang Makassar yang dilakukan oleh kapal pengeruk pasir asal Belanda, PT Royal Boskalis sejak Februari 2020 lalu.

Aktivitas penambangan ini mendapat penolakan dari nelayan asal Kodingareng Makassar karena dianggap beroperasi di wilayah tangkap ikan nelayan. Tercatat sudah 6 kali Nelayan melakukan aksi protes di depan Rumah Jabatan Gubernur Sulsel, di lokasi proyek Makassar New Port dan di lokasi penambangan, hingga aksi pendudukan kantor Gubernur hingga larut malam oleh ratusan nelayan, Kamis (13/8/2020).

Penangkapan Manre terkait aksi perobekan amplop yang berisi uang kertas pada saat rapat dengar pendapat di kantor DPRD Sulsel. Manre dan dua nelayan lainnya dituduh melakukan perobekan uang dengan maksud merendahkan rupiah sesuai Pasal 35 ayat (1) UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.

Menurut Ady Anugrah Pratama, dari LBH Makassar, Manre telah menerima panggilan I untuk diperiksa sebagai Tersangka pada tanggal 11 Agustus 2020, pukul 09.00 Wita. Pada saat menerima panggilan II bersamaan dengan penjemputan paksa terhadap dirinya, Manre tanpa diberi kesempatan untuk menghubungi penasihat hukumnya.

Ady menilai upaya paksa ini adalah tindakan sewenang-wenang dari penyidik Polair Polda Sulsel karena menyalahi prinsip fair trial atau melanggar hak-hak Manre sebagai Tersangka berupa hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang bisa dimengerti perihal pemanggilan terhadap dirinya sebagai Tersangka dan hak untuk menghubungi penasihat hukumnya pada setiap proses penyidikan.

baca juga : Aksi Penolakan Nelayan dan Sengkarut Tambang Pasir Laut di Makassar

 

Seratusan nelayan Pulau Kodingareng Makassar melakukan aksi ‘nginap’ di depan kantor Gubernur Sulsel. Foto: LBH Makassar

 

Reaksi masyarakat sipil dan akademisi

Penjemputan paksa Manre ini mendapat reaksi keras dari berbagai aktivis dan organisasi lingkungan hidup, termasuk yang tergabung dalam Koalisi untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL).

Dalam rilisnya, KORAL menilai penangkapan ini kemungkinan terkait unjuk rasa damai terhadap Gubernur Nurdin Abdullah pada Kamis (13/08), dimana ratusan nelayan Pulau Kodingareng memilih bermalam di depan kantor gubernur menuntut pemprov untuk menghentikan kegiatan tambang pasir laut di wilayah tangkap ikan nelayan di kawasan Spermonde.

KORAL juga menilai penangkapan ini merupakan bentuk intimidasi terhadap komunitas nelayan Kodingareng dan kriminalisasi pada aktivis dalam persoalan tambang pasir laut.

“Keadilan seharusnya berpihak pada nelayan dan masyarakat pesisir yang sudah mulai terkena dampak operasi tambang pasir. Pemerintah di saat pandemi ini malah memberi karpet merah terhadap perusahaan,” ungkap Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Afdillah, Jurukampanye Laut Greenpeace Indonesia, menilai seharusnya pemerintah tidak tutup mata dengan kondisi penghancuran ekosistem di kawasan Spermonde yang juga merupakan ruang mata pencaharian nelayan tradisional.

“Kepulauan Spermonde merupakan bagian segitiga karang dunia yang kaya akan keanekaragaman hayati dan perlu dilindungi. Sangat disayangkan kawasan ini semakin terancam hancur sehingga berdampak langsung pada mata pencaharian nelayan tradisional. Gubernur Nurdin jangan bungkam dengan peringatan ini,” ujar Afdillah.

perlu dibaca : Tambang Pasir Laut Galesong Rusak Ekosistem Laut dan Sebabkan Abrasi

 

Seruan aksi menuntut pembebasan Manre dari sejumlah elemen masyarakat sipil dan NGO. Sumber : Walhi Sulsel

 

Menurut Ridjal Idrus, akademisi dari Universitas Hasanuddin, upaya kriminalisasi nelayan dan aktivis tidak akan menyelesaikan persoalan dan hanya menghasilkan masalah baru.

“Lebih baik pemerintah mencari cara untuk mengurangi permasalahan agar bisa ditemukan win-win solution, ketimbang menghadirkan masalah baru,” katanya.

Ridjal berharap aktivitas penambangan pasir dihentikan untuk sementara waktu sambil mengajak duduk bersama, dengarkan keluhan masyarakat yang terdampak dan mengajak bicara pengusaha tambang pasir dan pihak pemangku kepentingan lainnya.

“Perlu di-check kembali RZWP3K yang sudah berbentuk Perda, apa sebenarnya peruntukan dari kawasan yang dipersengketakan tersebut. Karena wilayah laut merupakan yurisdiksi Pemprov, maka sudah tepat orang-orang tersebut mengadunya ke Pemprov. Tapi para nelayan ini ber-KTP Makassar, maka Pemkot Makassar juga perlu dilibatkan untuk mediasi.

Ridjal juga berharap pemerintah perlu membuka diri dan memberi kesempatan pada masyarakat yang merasa hak-haknya terabaikan untuk didengarkan suaranya.

“Pemerintah sudah berkomitmen untuk menjalankan pembangunan yang berkelanjutan, dimana salah satu prasyaratnya adalah No One Left Behind, tidak boleh ada yang ketinggalan kereta. Pembangunan pelabuhan boleh jalan, bahkan reklamasi pun bisa dilakukan, tapi tidak dengan mengorbankan masyarakat kecil.”

Yusran Nurdin Massa dari Blue Forests berharap pemerintah mendengarkan secara langsung keluhan terganggunya penghidupan nelayan karena area penangkapannya dijadikan wilayah konsesi penambangan.

“Apalagi ketika penetapan area konsesi tidak cukup dilibatkan dalam diskusinya.”

 

Seratusan nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar menggunakan perahu tradisional ketinting atau cadik melakukan pengadangan kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis. Foto: Walhi Sulsel

 

Menurut Edy Kurniawan, aktivis dari LBH Makassar, secara substansi, pasal yang disangkakan sangat dipaksakan. Edy menilai penyidik mempersulit diri dalam mengurai rumusan pasal dan membuktikan unsurnya. Dalam artian, Manre dijerat dengan perbuatan “Merusak, memotong rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah.”

“Padahal, Manre hanya merobek amplop yang ia tidak ketahui isinya dengan maksud menolak pemberian ganti rugi dari Boskalis. Jadi, Manre sama sekali tidak mengetahui jika yang ia robek adalah rupiah apalagi sampai bermaksud merendahkan rupiah. Kasus ini terlihat nyata adanya upaya kriminalisasi dan diduga kuat dilakukan untuk meredam aksi protes masyarakat menolak aktivitas tambang PT. Boskalis.

Edy menyitir Pasal 66 Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut pidana atau digugat secara perdata”.

Edy juga menilai upaya kriminalisasi ini sangat melukai rasa keadilan masyarakat nelayan Kepulauan Sangkarrang. Seharusnya Penyidik menyadari jika nelayan melakukan aksi protes hanya untuk mempertahankan ruang hidup mereka/wilayah tangkap ikan yang dirusak oleh Boskalis, serta memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara.

“Sejak awal Boskalis mengakui jika mereka tidak melakukan sosialisasi dan konsultasi publik mengenai rencana penambangan tersebut. Dalam hal ini tidak ditegakkan fungsi kontrol masyarakat terhadap pemerintah dan perusahaan. Oleh karenanya, Gubernur Sulsel dan Boskalis telah mengabaikan kewajibannya untuk melindungi, menghormati dan memenuhi kepentingan masyarakat/nelayan yang terdampak langsung dari kegiatan tambang Boskalis.”

 

Exit mobile version