Mongabay.co.id

Gempa Kembar Guncang Bengkulu, Ini Penyebabnya

Bengkulu harus siap menghadapi potensi bencana yang bisa terjadi di darat maupun laut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Menjelang matahari terbit, Rabu [19/8/2020] Pukul 05.23 WIB, Feri Larika spontan langsung lari ke halaman rumahnya di Jalan Cempaka X, Nusa Indah. Jalan ini tak lebih dari 900 meter dari bibir Pantai Panjang Bengkulu.

“Gempa! Lantai, dinding, meja bergoyang!” kata dia sambil mencari informasi melalui handphone.

Benar saja, berdasarkan keterangan Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Kelas I Bengkulu Anang Anwar, telah terjadi gempa bumi pukul 05.23 dan 05.29 WIB di Provinsi Bengkulu. Guncangan gempa tektonik beruntun itu berkekuatan Magnitudo 6.9 dan 6.8.

Gempa bumi tektonik disebabkan adanya aktivitas pergerakan lempeng tektonik, misalnya tumbukan antar-lempeng pembentuk kulit bumi. “Gempa dalam waktu berdekatan dengan perbedaan magnitudo satu orde ini disebut gempa kembar atau doublet,” tuturnya, Rabu [19/8/2020].

Sumber gempa berasal dari segmen Mentawai Pagai. Tepatnya, di laut pada jarak 160 km arah barat daya Bengkulu, Provinsi Bengkulu, pada kedalaman 24 km. Sedangkan gempa kedua berlokasi di laut arah barat daya Bengkulu pada jarak 117 km pada kedalaman 86 km.

“Memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, ini gempa dangkal akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan, kedua gempa tersebut memiliki mekanisme pergerakan naik,” jelas Anang kepada Mongabay Indonesia.

Guncangan gempa seperti getaran truk berlalu itu dirasakan di Kota Bengkulu, Bengkulu Utara, Mukomuko, Seluma, Kepahiang, Bengkulu selatan, Kaur, Curup, Lebong, hingga Lubuk Linggau [Sumatera Selatan].

“Hingga saat ini belum ada laporan dampak kerusakan yang ditimbulkan,” lanjut dia.

Peneliti [PMG] Ahli muda stasiun geofisika BMKG Kepahiang-Bengkulu, Sabar Ardiansyah mengatakan hingga pukul 06.40 WIB, hasil monitoring menunjukkan ada lima aktivitas gempa bumi susulan, dengan Magnitudo 3.4 sampai 4.9. “Gempa susulan dengan skala kecil diperkirakan masih akan terjadi.”

Sabar menjelaskan, Sumatera bagian selatan mempunyai aktivitas tumbukan dua lempeng. Akibat proses tumbukannya hingga saat ini menyebabkan adanya zona sesar lokal. Selain itu wilayah Sumatera bagian selatan memiliki tingkat ancaman gempa cukup tinggi.

Hal ini dikarenakan adanya Zona Subduksi yang merupakan batas antar-Lempeng India-Australia yang menunjam ke dalam Lempeng Eurasia. Zona ini berpotensi menimbulkan gempa bumi dengan magnitudo relatif lebih besar.

Baca: Bengkulu Harus Siap, Hadapi Potensi Bencana

 

Potensi bencana yang terjadi Bengkulu bisa berasal dari darat maupun laut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Potensi gempa di laut

Sabar menjelaskan, Bengkulu memiliki dua subduksi, yaitu berasal dari Segmen Megathrust Mentawai Pagai [kekuatan maksimum Magnitudo 8,9] dan Megathrust Enggano [Magnitudo 8,4]. Megathrust adalah suatu wilayah dengan tantanan tektonik/lempeng luas yang memiliki mekanisme pergerakan rata-rata sesar naik.

Segmen Megatrust Mentawai-Pagai pernah mengakibatkan gempa pada 25 Oktober 2010, pukul 21.52 WIB. Gempa dengan Magnitudo 7.2, terjadi di sebelah barat Bengkulu sejauh 240 kilometer, dengan kedalaman 14,2 kilometer. Korban meninggal 286 orang, hilang 252 orang, dan luka-luka 200 orang.

Segmen Mentawai-Pagai juga mengguncang pada 12 September 2007, pukul 18.10 WIB, dengan Magnitudo 8.4 dan menimbulkan peringatan tsunami. Korban meninggal sebanyak 21 orang dan ratusan luka-luka.

Sedangkan Segmen Enggano pernah terjadi pada 4 Juni 2000, pukul 22.28 WIB, dengan Magnitudo 7,9. Pusat gempa berada di sekitar 90 kilometer barat daya Kota Tais, Kabupaten Seluma, dengan kedalaman 33 kilometer. Getarannya sampai Pagaralam, Lubuk Linggau, Palembang, Lampung hingga Jakarta. Gempa itu mengakibatkan 94 orang meninggal, lebih dari 1.000 orang luka-luka.

Sejak saat itu hingga Agustus 2019, Segmen Enggano belum terjadi lagi gempa melebihi kekuatan tersebut. “Banyak gempa besar dengan kedalaman dangkal dengan jenis pergerakan sesar naik terjadi di wilayah ini,” kata dia.

Menurutnya, dua segmen ini menjadi generator utama untuk gempa-gempa megathrust di wilayah Bengkulu.

Puncak gempa di Megathrust Mentawai Pagai pernah terjadi pada 1883 dengan kekuatan Magnitude 9.0. Gempa bumi ini menyebabkan tsunami besar di Sumatera Barat dan Bengkulu.

Berdasarkan penelitian dosen Universitas Putra Indonesia ‘YPTK’ Padang, Rafki Imani dan Jihan Melasari dengan judul ‘Estimasi Seismisitas Sumatera Sebagai Upaya Mitigasi Risiko Gempa’ diketahui daerah Mentawai, Enggano, Bengkulu adalah wilayah dengan periode ulang gempa terpendek dibanding daerah lainnya di Sumatera pada skala gempa kecil hingga besar. Ini dapat disimpulkan bahwa, di daerah ini mengalami aktivitas gempa merusak cukup tinggi. Kesimpulan ini berdasarkan analisis periode ulang secara spasial.

Baca: 10 Kali Gempa Dalam 3 Minggu, BMKG: Aktivitas Patahan Lokal Pagaralam Meningkat

 

Benteng Ford Marlborough, Bengkulu, tempat dataran tinggi di sekitar pantai Bengkulu, yang bisa dijadikan titik kumpul. Foto: Ahmad Supardi/ Mongabay Indonesia

 

Cekungan Sumatera Bagian Selatan

Wilayah Sumatera bagian selatan [Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung] memang memiliki cekungan hasil kegiatan tektonik yang berkaitan dengan penunjaman Lempeng Indo-Australia, yang bergerak ke utara hingga timur laut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam.

Penelitian Deswita Sari dari Universitas Lampung dengan judul “Relokasi Hiposenter Gempa Bumi Menggunakan Metode Modified Joint Hypocenter Determination [MJHD] untuk Analisis Zona Subduksi Sumatera bagian Selatan [2017]” menjelaskan zona penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan Selatan Pulau Jawa.

Beberapa lempeng kecil yang berada di antara zona interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zona konvergensi dalam bentuk dan arah. Penunjaman Lempeng Indo-Australia tersebut dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang.

“Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali proses orogenesis, yaitu Mesozoikum Tengah, Kapur Akhir sampai Tersier Awal, Pilo-Plistosen,” tulis Deswita.

 

Hutan mangrove yang sangat penting untuk wilayah pesisir, dapat menahan laju ombak dan pencegah abrasi pantai. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Baca juga: Masih Membekas, Gempa Bengkulu 12 Tahun Lalu [Bagian 1]

Secara fisiografis, cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan tersier berarah barat laut-tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, paparan Sunda di timur laut, tinggian Lampung di tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan cekungan Sunda. Lalu, Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatera Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah.

Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai Cekungan Busur Belakang, merupakan Cekungan Busur Belakang berumur tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda [sebagai bagian dari Lempeng Kontinen Asia] dan Lempeng Samudera Hindia. Cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km persegi.

Terhadap kejadian gempa kembar ini, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, dalam pernyataan tertulisnya meminta masyarakat tenang. Tidak terpengaruh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dia juga meminta masyarakat menghindari bangunan yang retak atau rusak yang diakibatkan gempa.

“Periksa dan pastikan bangunan tempat tinggal Anda cukup tahan gempa, ataupun tidak ada kerusakan akibat getaran gempa yg membahayakan kestabilan bangunan, sebelum Anda kembali ke rumah,” paparnya.

 

 

Exit mobile version