Mongabay.co.id

Infrastruktur Terus Berkembang, Mampukah Gajah Bertahan di Pesisir Timur? [Bagian 1]

 

Pesisir Timur Kabupaten Ogan Kemiring Ilir (OKI), Sumatera Selatan sebelum dekade 1970-an merupakan kawasan hutan yang kaya dengan flora dan fauna khas Sumatera. Lokasi ini adalah habitat satwa mamalia besar seperti gajah sumatera dan harimau sumatera. Tidak ada permukiman, baik dusun maupun desa, serta perkebunan di dalamnya.

Namun saat ini kondisinya berubah. Aktivitas HPH, pembukaan permukiman dan perkebunan teruntuk sekitar 10 ribu transmigran, serta perkebunan sawit, dari tahun 1970-an hingga 1990-an menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam.

Dari luas OKI yang mencapai 1,9 juta hektar (sekitar 769 ribu hektarnya rawa gambut). Dimana 586 ribu hektarnya telah berubah menjadi kawasan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan seratusan ribu hektar dijadikan perkebunan sawit. Sisanya dijadikan kawasan konservasi [Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor].

Baca juga: Saat Kantong Gajah di Sumsel Kian Terdesak

 

Kawanan gajah di kawasan produksi kelola lindung PT BAP [Bumi Andalas Permai], satu perusahaan HTI pemasok PT OKI Pulp & Paper Mills. Foto Dok. PT BAP

 

Gajah yang tetap bertahan

Dari sisi satwa liar, maka pada dekade awal 2000-an hanya populasi gajah yang bertahan, sementara harimau sumatera nyaris tidak pernah lagi ditemukan. Pun sejumlah satwa lainnya seperti rusa, kijang dan beruang madu. Sementara tanaman khas rawa gambut, yang tersisa hanya gelam, sebagai tanaman pionir lahan yang terbakar atau rusak.

Selain dengan aktifitas manusia, maka peristiwa kebakaran hutan dan lahan, -yang puncaknya pada 1997-1998 juga menjadi masalah. Saat itu sekitar 50 persen rawa gambut di Pesisir Timur terbakar. Kala itu, di Indonesia sekitar 17-27 juta hektar rawa gambut dan rawa air tawar terbakar. Sumatera paling luas, mencapai 40 persen.

Selanjutnya hampir setiap tahun terjadi kebakaran di rawa gambut di lanskap Sugihan. Bentang alam Sugihan ini terbentang dari Air Sugihan [Kabupaten OKI], Muara Sugihan [Kabupaten Banyuasin], serta Padang Sugihan [OKI dan Banyuasin].

Sebelumnya, tepatnya pada 1982, sebenarnya kawanan gajah di lanskap Sugihan yang selalu berkonflik dengan para transmigran, seperti di Jalur 14, Muara Sugihan, coba dipindah dan digiring ke Lebong Hitam dengan nama Operasi Ganesha.

Namun upaya tersebut gagal, sebab sebagian gajah kembali ke habitatnya. Akibatnya Jalur 21, yang sudah dibangun kanal-kanal dan permukiman untuk para transmigran, akhirnya dijadikan Suaka Margasatwa [SM] Padang Sugihan pada 1983 oleh pemerintah, yang diperuntukan populasi gajah.

Namun hanya sebagian kecil gajah liar yang bertahan di SM Padang Sugihan, sebagian besar tetap menyebar di kantong-kantongnya.

 

Saat ini sekitar 65 individu gajah liar, dari dewasa hingga anak-anak, yang hidup di kawasan HTI di lanskap Sugihan, Sumsel. Foto Dok PT BAP

 

Pada 2004, kawasan rawa gambut di Kabupaten OKI yang selalu terbakar itu dijadikan hutan tanaman industri [HTI] jenis akasia  yang luasannya 586.975 hektar. Sama seperti permukiman transmigran, perkebunan sawit, perusahaan HTI ini juga mengubah bentang alam gambut dengan pembuatan kanal-kanal, serta menawarkan tanaman baru yang dominan.

Ada empat perusahaan HTI OKI, masing-masing PT Sebangun Bumi Andalas [SBA] Wood Industri,  PT Bumi Andalas Permai [BAP], PT Bumi Mekar Hijau [BMH] dan PT Ciptamas Bumi Subur [CBS]. Tiga perusahaan yakni PT SBA, PT BAP dan PT BMH, kini menjadi pemasok bahan baku kayu akasia untuk pabrik kertas terbesar di Asia, PT OKI Pulp & Paper Mills, yang berada di Sungai Baung, Kabupaten OKI. Pabrik ini mulai beroperasi sejak 2016 dengan investasi sekitar Rp40 triliun.

Lalu bagaimana dengan kondisi populasi gajah saat ini di bentang alam Sugihan?

“Kalau gajah masih ada, tapi kalau harimau memang sudah sulit ditemukan sejak tahun 2000-an, sebelum perusahaan HTI itu berdiri,” kata Suraji [52], warga Desa Nusakarta, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten OKI, kepada Mongabay Indonesia saat dijumpai akhir Mei lalu.

Suraji, adalah seorangas transmigran asal Jawa yang pernah menjadi buruh perusahaan HPH, dan buruh perintis pematokan lahan sebuah perusahaan HTI.

“Pengalaman saya selama mencari kayu. Harimau yang banyak ditemukan itu di Sembilang [Banyuasin, Sumsel] dan Riau. Di Pesisir Timur ini paling sering saya bertemu gajah,” ujarnya.

Jumiran, Kepala Resort Konservasi Wilayah XV Pusat Latihan Gajah [PLG] Padang Sugihan, kepada Mongabay Indonesia, membenarkan masih adanya populasi gajah liar di Pesisir Timur, selain gajah jinak PLG Padang Sugihan sebanyak 31 individu.

Berdasarkan hasil monitoring, katanya, sekitar 148 individu gajah liar yang hidup di Pesisir Timur yang terbagi beberapa kelompok. Kelompok Cengal [27 individu], Penyambungan [40 individu], Sebokor [11 individu], Jalur 23 [39 individu], dan kelompok Lebong Hitam [31 individu]. Kawanan gajah liar, terdiri dari dewasa dan anak-anak.

Kawanan gajah ini selain hidup dan melintasi kawasan konservasi, juga kawasan hutan lainnya termasuk HTI dan perkebunan sawit.

Dolly Priatna, Kepala Departemen Konservasi Lanskap APP Sinar Mas, kepada Mongabay Indonesia, membenarkan jika masih ada kawanan gajah yang hidup di kawasan HTI di Pesisir Timur. Dolly bilang berdasarkan monitoring tercatat 65 individu gajah yang menetap atau hidup di kawasan HTI.

Namun gajah-gajah ini masih berinteraksi dengan kawanan gajah di PT KEN [Karawang Ekawana Nugraha], sebuah perusahaan konsesi restorasi ekosistem, yang populasinya sekitar 46 individu.

“Menurut kami total gajah liar ini sekitar 111 individu,” katanya.

Sejauh ini populasi gajah liar di Pesisir Timur hidup nyaman dan sehat. “Ini terbukti setiap tahun selalu terpantau hadirnya bayi gajah. Jika mereka stress atau hidup tidak nyaman, mereka akan menunda atau menghentikan kelahiran bayi gajah,” imbuh Dolly.

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, selama 15 tahun terakhir belum didapatkan informasi adanya gajah mati karena diserang manusia, baik karena berkonflik maupun diburu gadingnya oleh manusia.

“Setahu saya memang belum ditemukan gajah mati karena dibunuh manusia dalam 15 tahun terakhir,” kata Jumiran pada 2018 lalu.

Baca juga: Rusaknya Habitat Ancaman Utama Kehidupan Gajah Sumatera

 

Hamparan persawahan di Desa Nusantara, Air Sugihan, OKI. Ini sawah yang tersisa dari yang dikelola sejak transmigran datang pada 1981-1982 lalu. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Perkembangan Kawasan Air Sugihan, Bagaimana dengan Gajah?

Kecamatan Air Sugihan yang luasnya mencapai 259.382 hektar, yang terdiri dari 19 desa trasmigran yang berada di Jalur 23, Jalur 25, Jalur 27, Jalur 29, Jalur 30, Jalur 31, serta di tepi laut [Desa Sungai Batang], saat ini terus berkembang. Baik infrastruktur maupun populasi penduduknya, yang saat ini sekitar 35.000 jiwa.

Pada awalnya, sekitar 10 ribu jiwa transmigran dari Jawa didatangkan ke Air Sugihan pada 1981-1982. Namun karena persoalan rawa gambut yang sulit dikembangkan menjadi pertanian, sebagian besar transmigran itu lalu pindah atau pulang kembali ke Jawa.

Meskipun sebagian besar jalan belum beraspal, sehingga kering berdebu di musim kemarau dan becek dan berlubang di musim penghujan, Air Sugihan terus berkembang. Rumah-rumah permanen, pertokoan, sekolah, terus dibangun warga. Bangunan ini tentunya menggunakan lahan yang sebelumnya dijadikan perkebunan atau pertanian.

Bupati Kabupaten OKI, Iskandar pun, mencanangkan pembangunan dari desa, termasuk infrastruktur. Pemerintah Kabupaten OKI merencanakan jembatan penghubung Air Sugihan-Muara Sugihan (Kabupaten Banyuasin) dibangun, tepat dari Jalur 29-Jalur 16. Jembatan ini kemudian menghubungkan akses jalan ke Palembang. Mulai dari Muara Sugihan, Air Sugihan, Muara Padang, Mariana, dan Palembang.

Berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia, tidak ditemukan sebuah jalan yang menggunakan tiang gantung yang melintasi lahan basah, seperti rawa gambut. Semuanya ditimbun dan dicor. Misalnya jalan yang melintasi kawasan Sepucuk yang terdapat gambut dangkal dan dalam. Tiang gantung hanya digunakan jalan tol Palembang-Lampung yang melalui Sepucuk.

“Kami percaya Air Sugihan ini dalam lima tahun ke depan berkembang menjadi kota. Persoalan saat ini hanya jalan yang masih rusak, serta air bersih. Jika dua persoalan ini teratasi, pembangunan infrastruktur akan berjalan pesat,” kata Ahmad Furqoni, Sekretaris Desa Nusakarta, Jalur 27, Kecamatan Air Sugihan.

“Apalagi dengan adanya kabar adanya pembangunan Jembatan Bahtera [Bangka-Sumatera]”

 

Data pendugaan kantong gajah di lanskap Sugihan [HTI & PT KEN]. Peta Dok Departemen Konservasi Lanskap APP Sinarmas

 

Persoalannya, kata Furqoni, sebagian besar warga Air Sugihan berprofesi sebagai petani. Sementara lahan pertanian terus berkurang. Hanya sebagian kecil sawah yang dikelola sejak transmigran datang pada 1981-1982 yang bertahan.

Tidak dipungkiri sejumlah warga membuka lahan baru, seperti di kawasan konservasi yang dikelola PT KEN.

“Untung ada skema lahan kehidupan yang dilakukan perusahaan HTI, sehingga masih ada lahan persawahan di Jalur 23, Jalur 25, Jalur 27 dan sebagian di Jalur 27. Lahan lainnya sebagian besar dijadikan perkebunan sawit dan rumah-rumah baru,” katanya.

Masuknya kawanan gajah ini umumnya di lahan pertanian baru. Terakhir, 4 Maret 2020, satu individu gajah masuk ke persawahan dan perkebunan sawit di Dusun Belanti, Desa Banyubiru, Jalur 27, Kecamatan Air Sugihan, yang menyebabkan seorang warga terluka dan seorang anggota TNI tewas terinjak gajah karena berupaya menghalau gajah tersebut.

“Jika Air Sugihan berkembang, dan wilayahnya diperluas, saya yakin konflik gajah dan manusia akan meningkat ke depan. Gajah pasti akan kalah,” kata alumni sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta ini.

 

Ahmad Furqoni, Sekretaris Desa Nusakarta, menunjukan lokasi seekor gajah liar yang menginjak seorang anggota TNI hingga tewas di perkebunan sawit rakyat di Dusun Belanti, Desa Banyu Biru, Air Sugihan, OKI, Sumsel. Foto Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Koeksistensi

Yusuf Bahtimi, peneliti dari CIFOR (Center for International Forestry Research), yang lama melakukan penelitian tentang gambut dan melakukan pemantauan gajah di Pesisir Timur, mengaku sangat khawatir dengan masa depan populasi gajah tersebut.

“Perkembangan Pesisir Timur di Kabupaten OKI cukup pesat. Bukan hanya hadirnya perkebunan sawit, HTI, pabrik, juga berbagai pembangunan infrastruktur sebagai penunjangnya, termasuk permukiman baru, jalan, jembatan, dan lainnya,” jelasnya.

“Sangat mungkin ke depan kita kehilangan gajah di wilayah ini.”

Dia menyebut, perlu ada strategi untuk hidup berdampingan atau koeksistensi dengan hidupan liar,  khususnya gajah. Dia menyebut perlu ada pengetahuan berbasis riset sains tentang sifat dan kebutuhan ruang hidup gajah. Perencanaan pengembangan ekonomi dan infrastruktur harus didorong agar arif dan ramah lingkungan.

Segala upaya pembangunan, -termasuk konstruksi jalan, memerlukan pemahaman dengan dasar sains yang teruji (evidence-based understanding) mengenai dinamika dan pola pergerakan gajah.

Yusuf Bahtimi menggarisbawahi aksi perencanaan dan manajemen koridor gajah di Pesisir Timur OKI tak hanya yang tercakup di dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor semata. Hamparan bentang lahan di sekitarnya pun merupakan habitat penting bagi kawanan gajah.

 

***

Tulisan selanjutnya dalam seri ini:

[2]  Menyoal Kelestarian Gambut, Mangrove dan Masa Depan Gajah di Sugihan

[3]  Menyambungkan Koridor, Agar Gajah Tidak Punah dari Pesisir Timur Sumsel

 

Exit mobile version