Mongabay.co.id

Menyibak Peradaban Masa Lalu yang Terkubur Bencana Alam

Temuan stuktur bata kuno di Kediri. Foto: Wicaksono Dwi Nugroho/BPCB Jawa Timur

 

 

 

 

Mereka tampak sangat berhati-hati membuka permukaan tanah di Dusun Kebonagung, Desa Brumbung, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur ini. Para arkeolog dan pekerja Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Jawa Timur ini sedang menggali tanah tempat berdiri struktur batu bata kuno pada kedalaman 2,3 meter. Mereka tengah ekskavasi Situs Petirtaan Geneng mulai 13 Juli lalu.

“Abu vulkanik setebal 10 centimeter menutup lantai bata. Perkiraan tertutup atas proses erupsi. Ada batu andesit di dasar kolam,” kata Wicaksono Dwi Nugroho, arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Jatim dalam diskusi webinar bertema “Bencana Alam dan Jejak Peradaban di Jawa Timur abad 12-14 Masehi” agenda Departemen Teknik Geofisika, Institut Tehnologi Sepuluh November (ITS) akhir Juli lalu.

Dalam dinding bawah, ada bongkahan batu andesit ukuran 30-60 centimeter. Batu ini diduga berasal dari lontaran material vulkanik Gunung Kelud. Survei awal Petirtaan seluas 5,2 meter kali 5, 2 meter, dengan kedalaman 2,35 meter.

Ada tiga bilik utama, sedangkan pintu masuk Petirtaan di sisi barat terlihat dari undakan atau tangga masuk. Sisi selatan, ada lapisan abu vulkanis mengeras. Dinding lain berlapis lempung. “Lontaran batu andesit merusak pintu konstruksi gapura. Sepertinya garupa paduraksa yang beratap,” katanya.

Di bagian bawah ada arung atau saluran air bawah tanah. Terowongan ini terpahat di tanah padas untuk mengalirkan air ke dalam kolam atau petirtaan itu. Petirtaan pertama kali ditemukan 3 Juli 2020, saat pemilik tanah menggali lahan untuk kolam pemancingan.

“Menemukan kembali jejak beradaban yang hilang,” katanya.

 

Jejak peradaban

Lokasi situs berada di permukiman terdekat dengan kawah Gunung Kelud. Sebelumnya, di kawasan itu sudah ditemukan prasasti Geneng Satu, yang menyebutkan daerah ini merupakan perdikan atau kawasan bebas pajak. Prasasti keluar pada 1128 Masehi oleh Raja Bameswara atau Kameshwara yang memimpin Kerajaan Kediri.

Kemudian ada Prasasti Geneng Dua keluar pada 1329 Masehi, saat Tribuwana Tungga Dewi memimpin Kerajaan Majapahit.

Situs ini tercatat dalam prasasti Geneng Dua di abad 14. Namun tak ditemukan catatan dan registrasi peninggalan purbakala Hindia Belanda dan Inggris sejak 1800-an. Kalau terpendam saat letusan besar Gunung Kelud pada 1919, bakal tercatat Belanda.

Dia menduga, situs ini terpendam saat erupsi Kelud pada 1500-an. Petirtaan ini diduga sebagai tempat pemujaan kuno terhadap Gunung Kelud.

Wicaksono mengatakan, sejak dua tahun terakhir menemukan sejumlah situs purbakala yang terkubur di dalam tanah. Selama ini, situs atau benda purbakala yang terpendam tanah selain bencana alam diduga sengaja ditimbun atau dirusak pasca perang atau sengaja ditinggalkan.

Selain di Desa Brumbung, Kediri, temuan lain, katanya, Situs Petirtaan Beji di Ngoro, Jombang, Situs Kumitir dan Situs Sugihwaras, sama-sama di Mojokerto.

Temuan situs baru ini, katanya, rata-rata terpendam karena bencana alam letusan gunung berapi. Diduga situs itu terkubur karena aktivitas bencana alam abad 12-14.

Situs petirtaan Beji di Ngoro, Jombang, awalnya ditemukan sebuah sendang lama, lebar empat meter, panjang enam meter. Pertama kali temukan petirtaan ini tampak bata kuno saat petani menggali tanah untuk irigasi pertanian.

Setelah ekskavasi kedalaman tiga meter ada bentuk petirtaan. Lapisan tanah dikupas sepaanjang 20 meter dan lebar 17 meter.

Ia membentuk petirtaan dilengkapi saluran air masuk dan saluran pembuangan. Tahun ini, rencana bagian dalam Situs Beji akan dikupas. Ada juga temuan uang logam atau koin (kepeng) dan fragmen keramik asal Tiongkok diperkirakan pada masa Dinasti Song dan Yuan abad 14.

Temuan lain, Situs Sugihwaras atau Kedaton, dalam kondisi rusak. Ia tampak sengaja dihancurkan karena ada penambangan pasir. BPCB Jatim terlambat mengetahui situs ini. “Tahun ini, mencoba menyelamatkan yang tersisa,” katanya.

Situs pemukiman Kedaton abad 13-14 era Majapahit. Ditemukan juga struktur bangunan diduga gapura zaman dulu. BPCB Jatim dibantu tim geosifika dari ITS meneliti menggunakan geo radar, magnet dan listrik di Petirtaan Beji dan Sugihwaras. Tujuannya, melihat potensi tinggalan arkeologis terisa di bagian bawah tanah.

 

Temuan stuktur bata kuno di Kediri yang diduga tertimpa reruntuhan letusan Gunung Kelud. Foto: Wicaksono Dwi Nugroho/BPCB Jawa Timur

 

Arkeolog BPCB Jatim juga mengekskavasi Situs Kumitir di Desa Jumitir. Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Awalnya, ditemukan struktur bangunan sepanjang 10 meter.

Struktur ini diperkirakan berkorelasi dengan talud Kumitir yang ditemukan 2017 dan 2018. “Hepotesisnya ini dinding besar. Didukung literatur dari kitab Pararaton, dan Negara Kertagama.”

Di sana, menjadi pendharmaan Mahisa Cempaka atau Narasingamurti, Raja Singasari yang meninggal setelah 1268 Masehi. Ekskavasi mulai Oktober 2019 hingga tampak struktur batu bata sepanjang 127 meter.membentuk garis lurus.

Sejumlah naskah kuno, katanya, menyebut Kumitir atau Kumeper tempat berdiri bangunan suci pendharmaan Mahisa Cempaka. Konstruksi talud atau turap yang tersusun dati batu bata kuno sepanjang 187 meter. Ekskavasi di area seluas enam hektar.

Ahli geologi Andang Bachtiar menjelaskan, mengetahui usia benda purbakala bisa dengan pengujian di laboratorium metode carbon daring.

“Bisa dicek dalam singkapan ekskavasi, banyak sekali bahan karbon yang terkubur di bawah endapan lahar atau volkanik.”

Sampel ini bisa diambil untuk analisis usia atau uji carbon dating bisa di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).

Bisa juga analisis sedimentologi dari endapan lahar ataupun endapan banjir dan endapan piroklastik dan longsoran lain.

 

 

***

Gunung Kelud, merupakan salah satu gunung api aktif di Jatim yang memiliki sejarah panjang dan peradaban negeri ini. Ahli geologi Teknik Geofisika ITS, Amien Widodo mengatakan, aktivitas vulkanik Gunung Kelud setinggi 1.731 meter di atas permukaan laut (m.dpl) sampai sekarang menimbulkan erupsi eksplosif berupa letusan. Erupsi efusif atau leleran kubah lava yang kemudian menjadi anak gunung pada 2007.

Sedangkan 2014, terjadi lontaran batu dan kerikil sejauh 10 kilometer. Abu vulkanik terbawa angin ke barat setinggi 32 kilometer hingga sampai Yogyakarta. “Pada 1919, letusan abu terbawa angin sampai Jakarta,” kata Amien.

Gunung Kelud secara administratif di Blitar, Kediri, dan Malang ini kembali meletus pada 1920. Letusan menyebabkan banjir lumpur dahsyat hingga Pemerintah Hindia Belanda konstruksi terowongan yang selesai 1924. Terowongan mampu mengurangi ketinggian air sampai 134,5 meter dengan volume sisa 1,8 juta meter kubik.

Letusan diawali dengan banjir bandang lebih dulu hingga penduduk mengungsi ke dataran tinggi. Banjir bandang disumbang luapan Sungai Brantas. Daerah Aliran Brantas (DAS) Brantas memiliki luas 14.103 kilometer persegi sepanjang 320 kilometer dengan curah hujan rata-rata 2.000 milimeter per tahun. Sedangkan potensi air permukaan per tahun rata-rata sekitar 13,232 miliar meter kubik.

Potensi banjir sangat besar hingga pemerintah kolonial Belanda mengatur dengan membuat sudetan untuk mengurangi volume air ke Surabaya. Pengendalian Sungai Brantas dirancang Hindia Belanda meliputi pembangunan pintu air Mlirip Mojokerto untuk mengendalikan banjir Kali Porong pada 1843.

Sedangkan 1865 dibangun sudetan Wonokromo untuk mengurangi debit banjir di Kalimas Surabaya. Pada 1870 terbangun Bendungan Jagir, Surabaya untuk mengendalikan debit banjir. Pada 1882, dibangun sudetan Kali Porong, 1889 bikin Dam Gubeng Surabata untuk menahan laju intrusi air laut dan 1943 Belanda bangun terowongan.

Ternyata, letusan Gunung Kelud dan banjir bandang Sungai Brantas terjadi jauh sebelum masa pendudukan Kolonial Belanda.

Amien menyebut, letusan terjadi sejak 1000 dan 1.300 Masehi. Bencana alam ini tercatat dalam Serat Pararaton. Serat Pararaton ini kitab sastra Jawa ditulis dalam bahasa Jawa Kawi. Ia menjelaskan bencana di Jawa.

Dalam kitab ini ada soal bencana gunung meletus pada 1233 tahun Saka menurut penanggalan Jawa atau 1311 Masehi, gemuruh lahar dingin (guntur banyu pindah) 1256 Saka atau 1334 Masehi.

Letusan Gunung Kelud 1380-1420 merupakan erupsi dahsyat hingga berdampak terhadap peradaban masa lalu. Termasuk peradaban Kerajaan Majapahit (1293 -1500). Letusan Gunung Kelud menghasilkan endapan vulkanik aliran lava, jatuhan piroklastik dan freatik yang menutup lahan di sekitar gunung.

Letusan sampai 40 kilometer, lontaran material vulkanik mengakibatkan lahan perkebunan dan pertanian subur menjadi tandus. Ia juga memporak-porandakan, mengubur candi, dan sarana vital di sekitar gunung, termasuk Candi Tondowongso, Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kediri. Lokasinya berjarak sekitar 25 kilometer barat laut kawah Gunung Kelud. Situs purbakala ini ditemukan 2007. Ada juga Situs Kedaton di Jombang, Situs Kumitir Trowoulan Mojokerto dan Sumber Beji Jombang.

 

Selain material gunung api, luapan Sungai Brantas juga merusak dan menghilangkan peradaban masa lalu. Permukiman mengikuti pola sungai yang berkelok. Kado saat banjir menerjang permukiman dan mengubur peradaban masa lampau. Karena itulah, banyak ditemukan benda purbakala di sekitar alira sungai.

Pada Desember 2019, dia uji geo listrik di Situs Sumber Beji ditemukan aliran air dengan debit 10 liter per detik. Air tanah berada di kedalaman dua meter. Juga ditemukan arung atau saluran air bawah tanah. Air mengalir masuk ke kolam dalam dua jalur. “Air mengalir deras, jernih. Posisinya terpendam tapi air tak berubah, tetap bening.”

 

 

Keterangan foto utama: Temuan stuktur bata kuno di Kediri. Foto: Wicaksono Dwi Nugroho/BPCB Jawa Timur

Exit mobile version