Mongabay.co.id

Saat Kita Semakin Asing dengan Berbagai Jenis Tetumbuhan

Bagi generasi kakek-nenek kita, pengetahuan tentang alam tak bisa dilepaskan dalam kehidupan mereka. Alam adalah bagian dari entitas kebudayaan yang menyatu dalam diri mereka. Karena itulah, alam bukan hanya diperlakukan sebagai ibu, yang merupakan tempat menyusu dan bersandar, tetapi juga diperlakukan sebagai ayah yang memberikan pitutur dan  pepeling (nasehat dan pengingat).

Maka tak heran, orang-orang tua di masa lampau selalu memakai filosofi “alam terkembang menjadi guru”.

Alam telah menjadi laku dalam keseharian mereka, bila mereka tak memelihara keseimbangan dengan alam, maka sudah pasti kehidupan mereka pun akan rusak dan hancur. Begitupun sebaliknya, bila mereka merawat dan menjaga alam, mereka akan makmur.

Baca juga: Taman Kehati dan Upaya Pelestarian Tumbuhan Lokal Indonesia

Namun di saat ini, -dengan berbagai perkembangan teknologi informasi, pengetahuan tentang kosmologi alam dan filosofinya hanya tertinggal dalam arsip dan kepustakaan. Maka teramat susah tatkala kita ingin kembali kepada cara hidup masa lampau, yang mendekat dan intim dengan alam.

Beruntung kita masih bisa menemukan khasanah di bidang agama dan etik, bidang sejarah dan mitologi, susastra, seni dan hukum, ilmu kemasyarakatan, cerita rakyat, pada karya sastra di masa lalu (Pigeaud, 1967:45).

Ironisnya, -sebagai contoh bagi kita yang berbahasa ibu bahasa Jawa, akses terhadap pengetahuan yang memuat filosofi dan hubungan manusia dengan alam menjadi semakin jauh. Misalnya, sumber-sumber pengetahuan tentang alam dan hubungannya dengan manusia di masa lampau ditulis dalam sumber-sumber primer dengan menggunakan huruf beraksara Jawa kuna.

Baca juga: Kepedulian Kita pada Pelestarian Pohon Masih Rendah

 

Hanif Wicaksono, salah satu pelestari pelestari pohon buah langka di Kalimantan Selatan. Dia telah banyak membudidayakan pohon-pohon langka asal Kalimantan. Foto: Dok. Hanif Wicaksono

 

Makna Dibalik Nilai Filosofis Pohon

Salah satu kekayaan alam yang dekat dengan kita, tapi kita tak mampu menjangkaunya adalah pengetahuan tentang pohon. Pohon bagi kita kini tak lebih dari sekadar benda untuk mengurangi polusi di jalan-jalan raya.

Pohon tak lebih dari sekadar benda-benda yang kita menikmatinya tatkala kita memandangi daunnya. Singkatnya, pohon bagi kehidupan kita kini menjadi etalase-etalase yang hidup dalam rumah peradaban kita.

Keterputusan cerita, riwayat dan pengisahan dari orangtua kemudian mengakibatkan pengetahuan kita tentang pohon di sekitar kita menjadi hilang. Terlebih etos dan gairah untuk merawat dan menjadikan pohon bukan sebagai sebuah benda mati, cenderung hilang bagi generasi kita sekarang. Padahal bila kita lihat, pohon-pohon di negeri kita, adalah pohon yang penuh pengetahuan dan penuh manfaat.

Dalam kitab Salokapatra misalnya, masih banyak pengetahuan tentang mitos bangunan dan pepohonan yang ada di Keraton. Di tahun 1995 terbit sebuah buku berjudul Makna Simbolik Tumbuh-Tumbuhan dan Bangunan Kraton.

Di buku ini diberikan penjelasan panjang mengenai fiosofi dan manfaat pohon-pohon yang ada di sekitar Keraton. Sebut saja pohon beringin, yang berasal dari kata wringin, hal ini bermakna bahwa pohon beringin ditanam agar kita tahu, dan waspada.

Pohon ini berfungsi sebagai penanda, sekaligus sebagai pengingat atau dalam istilah Jawa dikenal sebagai tetenger.

Dalam bab lain kita bakal mendapati pula mengenai fungsi pohon sebagai obat-obatan. Pohon gayam, misalnya dipakai sebagai obat sakit perut dan diare, dengan mengambil kulitnya dicampur dengan menyan madu, adas pulawaras dan jantung pisang, kemudian ditumbuk dan diberi air kemudian diminum.

Pohon Soka, kulitnya bisa dipakai untuk obat terlambat datang bulan. Pohon blimbing bisa dipakai untuk membuat pilis yang digunakan wanita setelah melahirkan. Pohon kelapa gading, airnya bisa untuk obat puput puser bayi.

Selain sebagai obat-obatan, pohon memiliki makna filosofis yang dalam. Misalnya, pohon beringin dikenal sebagai ‘pohon hayat’, yaitu sebatang pohon yang mampu memberikan pengayoman dan perlindungan serta mempertebal semangat dan keyakinan masyarakat (MM.K. Atmodjo, 1986:4).

Baca juga: Pohon-pohon Langka Indonesia, Bagaimana Nasibnya?

 

Berbagai tumbuhan ini bisa diolah menjadi obat hingga harus terjaga. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pohon bagi orang Jawa erat berkaitan dengan simbolik dan juga perlambang. Dari perlambang itulah khasanah kebajikan serta nilai-nilai kearifan muncul.

Pada Pupuh VII, 5-15 kita diajak menyimak nilai filosofis pohon gayam : gayam gayuhe pandhita/ muja-muji tuwuh basuki/ puji dhikir shalat sujud/ nuwun marang hyang Suksma/ tata tentrem karta arja tulus tuwuh/ tulus guning tetanduran/ tandurane among tani (Gayam, melambangkan keinginan pendeta memohon mendapatkan keselamatan ber-dhikir, dan menjalankan sholat memohon pada Tuhan mendapatkan ketentraman dan kemakmuran berhasil semua tanam-tanaman, tanamannya para petani.

Ironi tentang betapa jauhnya jarak antara kita dengan pohon ini dilukiskan apik di puisi Iman Budhi Santosa (2011) : Disana masih tegak pohon mangga bapang/ sepasang kelapa gading dan rumpun bambu kuning/ ditambah tebu hitam, meniran dan kaca piring/ melengkapi salam sapa pagar halaman yang ramah dan hening/ ya, aku masih di Jawa /bersama welat dan jamu menyanding pohon srigunggu/ tuah tapak liman serta dewa daru/ “tetapi, mengapa sekarang engkau merasa jadi tamu… (Ziarah Tembuni).

Pohon-pohon itu memang begitu dekat dengan kita, teramat dekat dengan kita, tetapi tangan kita terlampau susah untuk menyentuhnya, bahkan menyebut namanya dan mengenalinya pun kita jadi terlampau gagap.

Pengetahuan kita tentang pohon kini tinggal pengetahuan semata, tetapi tidak nyawiji (menyatu) dalam laku keseharian kita. Parahnya, kita menghormati pohon cukup dengan memasang wajah manis kita sembari foto dengan pohon itu tanpa perlu tahu nama dan untuk apa pohon itu ada. Menyedihkan.

 

* Arif Saifudin Yudistira, penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo. ALUMNUS MASTERA ESAI 2019. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version