Mongabay.co.id

Solidaritas Perempuan dan WALHI NTT Minta Hentikan Tindakan Represif Kepada Perempuan Adat Pubabu

 

Pada tahun 1982, hutan Pubabu berganti nama menjadi Besipae melalui pelaksanaan proyek percontohan intensifikasi peternakan kerja sama pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Negara Australia. Besipae adalah gabungan dari nama 2 orang usif yakni Besi dan Pa’e.

“Kesepakatan ini dituangkan dalam surat pernyataan kesepakataan yang ditandatangani oleh tua-tua adat di Desa Mio pada tanggal 13 April 1982,” kata Yuvensius S. Nonga, WALHI NTT kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (15/8/2020).

Yuven sapaannya mengatakan, kesepakatan ini bertujuan untuk pelaksanaan proyek intensifikasi peternakan dan melibatkan desa Oe Ekam, Mio, Polo dan Linamnutu, yang memakai lahan dan hutan masyarakat dengan luas wilayah sekitar 6.000 hektare.

Proyek intensifikasi peternakan ini sebutnya, dilaksanakan dalam rentang tahun 1982-1987 kerjasama antara Pemprov NTT dengan Pemerintahan Australia dengan program percontohan pembibitan ternak sapi.

“Proyek ini berlangsung dalam kurun waktu lima tahun. Proyek intensifikasi peternakan tersebut tidak berjalan dengan baik, kemudian program tersebut dialihkan pada Dinas Kehutanan,” jelasnya.

Kemudian pada tahun 1987, jelas Yuven, Dinas Kehutanan melaksanakan Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (GERHAN)  yang melibatkan 4 desa yaitu Desa Polo,Mio,Oe Ekan dan Desa Eno Neten Kecamatan Amanuban Selatan dengan luas arela mencapai sekitar 6.000 Ha.

Melalui program ini terangnya, kawasan tersebut dijadikan sebagai kawasan budi daya untuk tanaman komoditas seperti jati dan mahoni dengan skema HGU dari tahun 1988 hingga 2008.

“Namun program ini dilaksanakan tanpa ada persetujuan dari masyarakat. Dari sinilah konflik bermula,” tegasnya.

baca : Masyarakat Adat Pubabu Tolak Klaim Lahan Pemprov NTT. Kenapa?

 

Warga Besipae Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT duduk di bekas lahan rumah mereka yang telah digusur pemerintah. Foto : WALHI NTT

 

Tindakan Represif

Solidaritas Perempuan dan WALHI NTT menyebutkan,masyarakat adat Pubabu, terlebih perempuan dan anak terus menerus menjadi korban dari tindakan represif.

“Tindakan ini dilakukan oleh negara lewat aparat yang mengusir dan menggusur mereka dari tanah leluhurnya,” sebut Ketua Solidaritas Perempuan, Dinda Nur Annisa Yura dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia, Sabtu (15/8/2020),

Aparat gabungan Satpol PP, TNI, Polri, Brimob bersama Anggota DPRD Propinsi NTT, Dinas Kehutanan Propinsi, BPN Propinsi, Dinas Pertanian sejak 4 Agustus 2020 ke lokasi Hutan Adat Pubabu untuk membongkar paksa rumah masyarakat adat menggunakan ekskavator.

Banyak perempuan adat dan anak kata Dinda menjadi korban kekerasan aparat
dalam penggusuran dalam peristiwa tersebut. Mereka dicekik dan ditarik oleh aparat agar ke luar dari lokasi penggusuran, bahkan kata dia, ada yang mengalami pingsan.

“Aparat bahkan menduduki tubuh perempuan yang sedang pingsan.
Mereka juga menargetkan untuk menggusur rumah sebanyak 9 KK yang didalamnya terdapat 18 orang anak, terdiri dari 13 anak laki laki dan 5 perempuan,” ungkapnya.

Hingga saat ini, tegas Dinda, masyarakat adat Pubabu harus tidur di atas tanah tanpa rumah yang melindungi mereka. Pemerintah melalui Dinas Peternakan mulai berkantor tanggal 3-13 Agustus 2020 di lokasi Hutan Adat Pubabu.

“Dalam penggusuran tersebut, Kasat Intel Polres TTS bahkan mengancam mereka dengan mengatakan masyarakat jangan melawan, biarkan pemerintah beraktivitas di lokasi. Kalau ada perlawanan, risikonya aparat akan melakukan penangkapan,” tuturnya.

Selain itu, lanjut Dinda, anak-anak yang ikut mempertahankan rumahnya juga mendapatkan perlakukan kekerasan dari aparat. Bahkan aparat sampai memasukkan anak-anak ke dalam mobil polisi.

baca juga : Konflik Tanah di Hutan Pubabu. Kenapa Masyarakat Adat Menolak Klaim Pemerintah?

 

Bayi dan balita warga Besipae yang tinggal di dalam kawasan hutan adat Pubabu tidur di tanah beralaskan kasur tanpa atap usai penggusuran sumah warga. Foto : WALHI NTT

 

Hentikan Intimidasi

Solidaritas Perempuan dan Walhi NTT memandang negara, dalam hal ini yang dilakukan pemprov NTT di Besipae, telah secara aktif melakukan pelanggaran HAM dan menjadi pelaku aksi represif penggusuran paksa.

Tindak represif negara tersebut tegas Dinda, secara nyata mengakibatkan kekerasan dan ketidakadilan serta menimbulkan trauma dan ketakutan mendalam bagi masyarakat adat Pubabu, terutama para perempuan dan anak.

Pelecehan seksual dan intimidasi terhadap tubuh perempuan, termasuk dalam hal perempuan yang menggunakan tubuhnya untuk berjuang, juga menunjukkan upaya pembungkaman gerakan dengan menggunakan seksualitas perempuan

Berdasarkan hal tersebut di atas, Solidaritas Perempuan dan WALHI NTT mendesak pemerintah untuk menghentikan intimidasi dan diskriminasi serta mencabut sertifikat hak pakai serta mengembalikan hutan adat Pubabu dan hak masyarakat

“Pemerintah harus menghentikan tindakan penggusuran dan intimidasi kepada warga, khususnya perempuan adat Pubabu,” tegas Yuven.

Solidaritas Perempuan dan WALHI NTT pun kata Yuven, minta hentikan segala bentuk dan cara-cara kekerasan , intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Pubabu, terutama perempuan yang melakukan perjuangan terhadap hak-haknya.

Pemerintah tandasnya, harus melakukan penyelesaian konflik yang sensitif dan responsif gender, dengan memastikan upaya pemulihan terhadap dampak materil dan immateril yang langsung dan tidak langsung, yang dialami perempuan dan anak akibat konflik, serta kriminalisasi dan kekerasan yang menyertainya.

“Segera membentuk Tim Pencari Fakta terkait kasus tanah Pubabu. Berikan sanksi tegas berupa penghentian tidak hormat kepada aparat kepolisian yang telah melakukan kekerasan, intimidasi, serta pelecehan dan objektifikasi seksual perempuan adat Pubabu,” pungkasnya.

 

Perabotan rumah tangga milik warga komunitas adat Pubabu yang diletakan di bekas halaman rumah mereka yang telah digusur di lahan hutan adat milik warga yang diklaim pemerintah. Foto : WALHI NTT

 

Siapkan Relokasi

Kepala Badan  Pendapatan dan Aset Pemprov NTT, Sony Libing kepada Mongabay Indonesia, Kamis (20/8/2020) menjelaskan rumah milik 5 KK di pinggir jalan, telah direlokasi tetapi mereka tidak mau menempati.

Sony katakan, tindakan ini seolah-olah memberi kesan kepada publik pemerintah tidak mengurus dan menelentarkan warga. Padahal ia mengaku 5 hari berturut-turut membujuk warga tapi mereka tidak mau masuk ke dalam rumah dan tidur dan menangis di tanah.

“Saya saat kejadian berada di lokasi. Kami kan tidak bisa menggendong mereka untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Makanya Brimob yang sedang berjaga di lokasi memberikan shock theraphy dengan menembak ke tanah,” jelasnya.

Bunyi tembakan tersebut ucap Sony, membuat ibu-ibu yang tidur di tanah tersebut berlarian masuk ke rumah yang dibangun pemerintah. Ia tegaskan Brimob tidak melakukan penembakan ke arah masyarakat dan hanya melakukan tembakan ke tanah.

Usai kejadian tersebut lanjutnya, warga tinggal di dalam rumah yang dibangun pemerintah tetapi setelah pihaknya pulang, warga kembali duduk di jalan.

Masalah baru pun dihadapi pemerintah ungkapnya, dimana tokoh masyarkat di Desa Linamnutu meminta agar warga tersebut diusir karena mereka pendatang.

“Saya katakan, warga tersebut kan masyarakat NTT juga sehingga pemerintah harus mengurus mereka,” tuturnya.

Sony menjelaskan, dari 37 KK di lahan sengketa, hanya 11 KK saja yang terdata  sebagai penduduk di Pemerintah Desa Linamnutu.

Ia tegaskan, penataan aset di Besipae tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Aset yang ada, katanya, harus dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat.

“Waktu penyerahan lahan kepada pemerintah dikatakan luasnya 6 ribu hektare karena asal tunjuk saja lahannya. Tetapi setelah diukur ternyata luasnya 3.700 hektare,” jelasnya.

 

Exit mobile version