Mongabay.co.id

Suku Klesi jadikan Wilayah Mereka Hutan Konservasi Adat

Warga u Klesi dalam pakaian adat. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Suku Klesi di Lembah Grime, Kabupaten Jayapura, Papua, berkomitmen jadikan wilayah adat mereka sebagai hutan konservasi adat. Pernyataan ini disampaikan pada perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia 10 Agustus lalu di Kampung Bring, Distrik Kemtuk Gresi.

Suku Klesi yang berkomitmen ini dari Trang Digno, Tegay, Srom, Bemey, yang tinggal menyebar di Kampung Kalisu, Bring, Yansu, Nembru Gresi, Ibub, Tabangkwari, Sawoy, Jegrang, Bangay, Omon, dan Iwon. Sebanyak tujuh Trang Dumtru menyatakan komitmen simbolis lewat cap jempol dalam lembar Keputusan Dumtru Suku Klisi.

Ada Ruben Elly, Trang Dumtru Bgonkoy Kampung Bring; Hertok Samon, Trang Dumtru Kampung Yansu; Carlons Wady, Trang Dumtru Kampung Klaisu dan Salmon Klemen, Trang Dumtru Kampung Bangai. Lalu, Saul Meby, Trang Dumtru Kampung Sawoy; Nahor Tapakiding, Trang Dumtru Kampung Jagrang serta Kristian Trapen, Trang Dumtru Kampung Iwon.

Keputusan ini disaksikan bupati dan jajaran Pemerintah Kabupaten Jayapura, dan undangan serta masyarakat Suku Klesi.

Adapun isi keputusan ini antara lain, hutan di 11 kampung itu sebagai hutan konservasi adat. Semua benda budaya atau situs bersejarah peninggalan leluhur dalam kawasan hutan itu adalah bukti sejarah peradaban Suku Klesi dan suku-suku lain yang mendiami Lembah Grime.

 

 

Hutan adat, benda budaya, dan situs-situs bersejarah itu harus terlindungi dan dirawat agar lestari untuk diwariskan kepada anak cucu sebagai bentuk tanggungjawab dalam melindungi sejarah dan peradaban masyarakat adat di Tanah Papua.

Suku Klesi meminta kepada Pemerintah Kabupaten Jayapura dan Papua agar memberikan landasan hukum untuk melindungi dan memperkuat ketetapan adat. Ia sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan negara, sekaligus bentuk tanggung jawab negara menegakkan dan memajukan hak asasi masyarakat adat atas hutan, tanah, air, dan sumber daya alam yang sudah dikuasai turun-temurun.

 

Kearifan selamatkan dunia

Mathius Awoitauw, Bupati Jayapura mengatakan, yang dilakukan masyarakat adat Suku Klesi, contoh kekuatan masyarakat adat. Banyak orang berbicara masalah lingkungan hidup tetapi masyarakat adat langsung aksi dengan melindungi wilayah adatnya.

“Hari ini, mereka mengundang pemerintah untuk mendengar dan mengakui bahwa, hutan ini tidak boleh diganggu seenaknya. Hutan ini tidak boleh diintervensi untuk kepentingan-kepentingan yang merugikan masyarakat.”

Masyarakat Suku Klesi adalah bagian dari masyarakat adat dunia. Masyarakat adat memiliki hak bertumbuh dan berkembang di atas wilayah mereka dan semua pihak harus menghargai hak-hak mereka. Upaya perlindungan masyarakat adat Klesi, katanya, untuk kesejahteraan dan tak boleh ada pihak yang menentang.

Awoitauw mengingatkan, saat ini yang paling bertahan menghadapi pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah masyarakat adat. Kemajuan teknologi, kemakmuran ekonomi yang dibanggakan negara-negara maju terbukti tidak berdaya menghadapi pandemi. Amerika sedang resesi ekonomi, termasuk Indonesia. Pengangguran di mana-mana di kota-kota besar. Yang bisa tenang dalam menghadapi pandemi, katanya, adalah masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan hutan.

“Karena itu apa yang dicanangkan hari ini menjaga hutan kita, dusun kita, tanah kita, kita olah sendiri untuk bertahan. Kita bsa memberikan dukungan makan kepada masyarakat di kota-kota dari tanah kita.”

 

Warga Suu Klesi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, masyarakat adat menguasai tanah, air dan sumber daya alam yang kaya di seluruh dunia. Kenyataan, justru masyarakat adat paling terabaikan dalam menikmati hasil pembangunan.

Leonard Imbiri, Sekretaris Dewan Adat Papua mengatakan, karena konsep pembangunan berbeda dengan yang dipahami masyarakat adat. Masyarakat adat melihat pembangunan utuh dan menyeluruh.

Masyarakat adat, katanya, harus berbangga karena kearifan mereka yang berkontribusi dalam mencegah perubahan iklim dunia. Masyarakat adat, katanya, biasa mencukupi diri dengan yang ada di sekitar hingga tak merusak alam.

“Ini satu inisiatif luar biasa dalam merespon tantangan pembangunan.”

Dewan Adat Papua mengapresiasi Pemerintah Jayapura atas pencanangan kampung adat. Sejak 2013, Pemerintah Kabupaten Jayapura sudah menetapkan 24 Oktober sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat. Penetapan ini, katanya, berlatarbelakang atas kesadaran selama ini pembangunan tak melibatkan masyarakat adat. Bupati juga menngeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 32/2014 tentang pembentukan kampung-kampung adat.

“Pencanangan kampung adat haruslah kita dukung. Mmebutuhkan peran aktif masyarakat adat supaya kebijakan ini benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat adat.”

Sejak 2018, Bupati Jayapura juga membentuk Gugus Tugas Masyarakat Adat (GMTA).

 

 

Keterangan foto utama: Warga Suku Klesi dalam pakaian adat. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version