Mongabay.co.id

Kala Pantai Tembok Berlin jadi Daratan

 

 

 

 

Tembok Berlin. Begitu nama tembok di Kota Sorong, Papua Barat, yang jadi lokasi rekreasi atau sekadar nongkrong bersama keluarga dan kawan. Tembok setinggi 1,5 meter dengan panjang sekitar satu kilometer ini dibangun di tepi pantai sebagai pembatas agar air laut tak memasuki jalan raya. Orang pun biasa menyebut lokasi ini Pantai Tembok Berlin, atau Tembok Berlin saja. Kini, tembok sudah tak ada, bersamaan dengan pengurukan laut jadi daratan alias reklamasi.

Kehadiran Tembok Berlin, tak hanya sebagai pelindung jalan. Bagi masyarakat Sorong atau yang datang ke Sorong, ia jadi tempat banyak dikunjungi untuk menikmati pantai ataupun menanti matahari senja.

Kalau cuaca cerah, matahari tenggelam dapat dinikmati melalui bibir pantai yang banyak dipenuhi kelapa. Warga biasa bersantai di atas tembok sambil menikmati segelas kopi diiringi angin yang menghembus semilir.

Beragam pangan di tepian tembok ini jadi satu tujuan favorit wisatawan, terutama yang ingin makan ikan bakar, pisang goreng, beragam minuman, sampai obat-obatan herbal macam sarang semut.

Bahkan, ada satu kalimat yang kerab dilontarkan bagi orang yang berkunjung ke Kota Sorong, “Jika belum pernah ke Tembok Berlin, jangan mengaku pernah ke Sorong.”

Sayangnya, itu tinggal kenangan. Saat ini sudah berbeda. Kalau ingin menikmati senja, harus berjalan ke pantai yang telah ditutupi tanah dan bebatuan. Tidak ada pantai. Tak ada kelapa di sepanjang pantai. Sedih lagi, sampah berserakan di mana-mana.

Pada 2017, Pemerintah Kota Sorong mereklamasi pantai Tembok Berlin guna mengembangkan kawasan sebagai pusat area modern. Kini, pantai jadi daratan.

Mengutip dari Cahayapapua.com konsultan pelaksana proyek, PT Indomegah Cipta Bangun Citra, Henry Kusnadi, mengatakan, siap dan optimis mengembangkan Tembok Berlin jadi area modern, nyaman dan maksimal bagi siapapun.

Nanti, katanya, akan ada zona-zona seperti untuk perkantoran, perdagangan, hunian dan destinasi utama.

Kini, tak ada warga rekreasi di sepanjang pantai Tembok Berlin.

“Selama pantai ditimbun, penghasilan turun jauh karena tidak ada pengunjung seperti sebelum reklamasi,” kata Narto, penjual es campur dan pisang depan Tembok Berlin.

Dia bilang, tak ada sosialisasi pemerintah kalau mau reklamasi. “Tidak ada istilah bagi pemerintah memikirkan rakyat kecil.”

Ina Klawen, perempuan Suku Moi, penjual kelapa muda mengatakan, sebelum reklamasi banyak warga datang ke tepian pantai.

“Dulu, sebelum reklamasi orang datang banyak seperti sore pukul 3.00, 4.00, ramai. Sekarang reklamasi, tutup laut jadi orang kurang datang, saya alami kerugian,” katanya.

Dia bilang datang dari sebelah Pulau Sop. Dulu, perahu bisa sandar di depan Tembok Berlin, sekarang tidak bisa karena tak ada laut. “Kita turun di pangkalan DOM baru naik mobil bayar Rp50.000 ke sini.”

 

Pantai Tembok Berlin, berubah jadi daratan dan banyak sampah. Foto: Natalia Yewen/ Mongabay Indonesia

 

Nelayan juga terdampak. Mereka biasa tangkap dan cari ikan di tepian pantai, jadi sulit karena reklamasi pantai.

Ama Dacosta bilang, tempat berlabuh kapal nelayan jadi sempit. Sampah pun menumpuk.

“Sebelum reklamasi biasa saya dengan keluarga mandi di Dofior dan sering main ke sekitaran pantai Tembok Berlin, sekarang tidak lagi karena sudah reklamasi,” katanya.

Irawati, pegiat lingkungan juga pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di Sorong mengatakan, dampak reklamasi bisa terjadi kerusakan ekosistem pesisir karena pantai terganggu, dari jenis ikan, kerang, rumput laut, kepiting, burung dan berbagai keragaman hayati lain terdampak.

Belum lagi masalah pencemaran. Bongkar muat kendaraan truk material seperti pasir dan tanah, menyebabkan debu terlebih di musim panas dan becek kala masa penghujan.

Kondisi mengkhawatirkan lainnya, kata Irawati, reklamasi gunakan pasir, tanah dan batu dalam jumlah besar untuk membuat daratan baru. Berarti, memerlukan pasir dan tanah dalam jumlah besar hingga akan terjadi penambangan pasir, tanah dan batu besar-besaran.

Dia contohkan, di Kota Sorong KM 10, sebagian gunung terkeruk, tanah dan batu terdistribusi untuk bikin bangunan. Kalau turun hujan, banjir datang.

Irawati bilang, reklamasi bisa jadi bermanfaat bagi pihak-pihak yang menikmati baik dari sisi ekonomi dan bisnis.

Berbagai dampak buruk bagi lingkungan, maupun sosial itu, kata Irawati, seharusnya ada dalam analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), upaya pengelolaan lingkungan mapun rencana kelola lingkungan.

Pemerintah, katanya, harus segera meninjau kembali pelaksanaan proyek ini, termasuk masalah yang muncul, seperti penumpukan sampah. Seharusnya, katanya, ada pengelolaan sampah hingga tak mencemari laut dan airnya.

Amos, dari Greenpace di Sorong-Papua mengatakan, reklamasi ini sudah pasti berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.

Kota Sorong, katanya, area banjir terutama di kawasan pemukiman termasuk Kampung Baru. Kalau reklamasi seperti ini tak lewati pertimbangan menyeluruh, kondisi banjir bisa makin parah.

Dia juga menyoroti soal penikmat dari area reklamasi setelah jadi modern. “Apakah perekonomian bagi warga Sorong terutama Orang Asli Papua atau hanya akan menguntungkan pebisnis skala besar?”

Belum lagi, katanya, reklamasi juga menguras galian C dari bukit-bukit di sekitar Sorong dan menyebabkan kerusakan lingkungan.

Dia juga mempertanyakan kepada Pemerintah Kota Sorong, soal amdal dari proyek ini. Pemerintah, kata Amos, harus mempertimbangkan menyeluruh dalam membuat proyek reklamasi seperti ini. Tak hanya memperhitungkan pemasukan, katanya, tetapi risiko bencana atau kerusakan yang timbul dari pembangunan itu.

 

Keterangan foto utama:  Pantai Tembok Berlin, dulu dan sekarang. Foto sebelum reklamasi: Travelsia. Sesudah reklamasi: Natalia Yewen/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version