- Tahura [Taman Hutan Rakyat] Wan Abdul Rachman [WAR] di Register 19, Kabupaten Pesawaran, Lampung, merupakan kawasan konservasi seluas 22.244 hektar yang dapat dijadikan perhutanan sosial dengan skema kemitraan konservasi.
- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83/2016, menetapkan perhutanan sosial bisa dilakukan di kawasan konservasi. Tata caranya diatur melalui di Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem [KSDAE] Nomor Peraturan 6/2018.
- Kemitraan konservasi di Tahura WAR tidak ditujukan untuk pembukaan lahan baru. Tetapi, untuk petani yang dulunya dibina Dinas Kehutanan Provinsi Lampung melalui UPTD Tahura pada program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat.
- Persoalan utama yang dihadapi Tahura WAR saat ini adalah pembalakan liar. Sepanjang Maret-Juli 2020, tercatat 4 kasus yang sudah ditangani secara hukum.
Bentang alam Tahura [Taman Hutan Rakyat] Wan Abdul Rachman [WAR] di Register 19, Kabupaten Pesawaran, Lampung, seluas 22.244 hektar kondisinya semakin membaik. Tanaman hutan mulai menghijau dan meninggi. Begitu pula dengan wilayah yang ditempati dan dikelola masyarakat, mulai dipenuhi tanaman. Namun, ada satu harapan mereka yang ditungu sampai sekarang, apakah itu?
“Dinas Kehutanan Provinsi Lampung rencananya akan mencadangkan 11.000 hektar tahura ini sebagai area perhutanan sosial. Hal ini seperti yang disampaikan Kepala KPHK Tahura WAR pada rapat percepatan perhutanan sosial yang sudah dilakukan sejak 2017 lalu,” kata Agus Guntoro, Ketua Kelompok SHK [Sistem Hutan Kerakyatan] Lestari di Tahura WAR, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [12/8/2020].
Hingga Agustus 2020, belum ada satupun kelompok yang mendapat izin akses perhutanan sosial melalui skema kemitraan konservasi. “Sampai saat ini, sepengetahuan saya ada lima gapoktan [Gabungan Kelompok Tani] yang teregistrasi yaitu Gapoktan SHK Lestari dan Gapoktan Pesawaran Bina Lestari [PBL] yang didampingi Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Lampung. Lalu, Gapoktan SHK Lestari terdiri 21 KTH [Kelompok Tani Hutan] dan Gapoktan Pesawaran Bina Lestari sebanyak 7 KTH,” jelasnya.
Mengapa masih sedikit KTH yang tidak bergabung gapoktan?
“Sosialisasi memang harus terus dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan pemerintah desa di kawasan penyangga Tahura WAR yang jumlahnya sekitar 40 desa. Selain itu, pengawasan terhadap tahura harus dimaksimalkan. Sebab, sebagian wilayah atau rayon, seperti di Kecamatan Kedondong dan Way Lima, masih ditemukan pembalakan pohon sono keling, tanaman reboisasi 1980-an,” terang Agus.
SHK Lestari sendiri saat ini belum mengajukan proposal izin. “Sejak dikeluarkannya registrasi, kami menunggu progres pemerintah memberikan kemudahan akses melalui skema kemitraan konservasi,” lanjutnya.
Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, pihaknya mendampingi dua kelompok untuk perhutanan sosial di Tahura WAR. Ada kelompok Sistem Hutan Kerakyatan Pesawaran Bina Lestari [SHK – PBL] Way Kutu/Way Sabu, Desa Padang Cermin, Lampung Selatan yang sudah mengajukan izin dan SHK Lestari Kabupaten Pesawaran yang tengah persiapan pengajuan.
“Kami menggunakan skema kemitraan konservasi,” kata dia, Senin [17/8/2020].
Baca: Lampung, Model Kawasan Konservasi Berbasis Lanskap di Sumatera
Dampak pendemi
Pendemi COVID-19, menurut Agus, membuat para petani yang tergabung KTH di Tahura WAR berharap cemas.
Pertama, belum ada kabar terbaru mengenai perhutanan sosial itu sendiri. “Padahal sejumlah KTH yang teregistrasi sudah melakukan pemetaan partisipatif untuk pemetaan persil secara swadaya. Termasuk mengolah data digital yang nantinya akan dimasukan dalam peta indikator akses perhutanan sosial [PIAPS],” jelas Agus.
Kedua, pendemi membuat harga produksi petani menurun. Misalnya, kakao Rp20 ribu per kilogram, Rp17 ribu per kilogram untuk kopi, cengkih seharga Rp50 ribu per kilogram, sementara lada hitam sekitar Rp24 ribu per kilogram. Semua itu, tidak sesuai dengan ongkos produksi dan harga kebutuhan yang melambung.
Ada tiga kategori tanaman yang dikelola masyarakat, yakni tanaman jangka pendek, menengah, dan panjang. Tanaman jangka pendek seperti kopi dan kakao. Jangka menengah adalah kemiri, pala, cengkih, dan durian. Sedangkan yang disebut jangka panjang itu jati, medang, bungur, dan cempaka.
Saat ini, yang baru memberikan hasil signifikan bagi masyarakat adalah tanaman jangka pendek dan sebagian jangka menengah, seperti kopi, pala, cengkih, lada hitam, melinjo, dan gula aren.
Baca: Perhutanan Sosial, Sumber Ketahanan Pangan Masyarakat Lampung
Titik terang perhutanan sosial
Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas [UPTD] Tahura WAR, Eny Puspasari, menegaskan perhutanan sosial di Tahura WAR memang bisa dilakukan. Secara aturan sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor Peraturan 83/2016, yaitu perhutanan sosial bisa dilakukan di kawasan konservasi. Tata caranya juga telah diatur di Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem [KSDAE] Nomor Peraturan 6/2018.
“Jadi skemanya melalui kemitraan konservasi,” tutur Eny kepada Mongabay Indonesia, Senin (17/8/2020).
Eny membantah bila ada pengakuan 50 persen kawasan Tahura WAR disiapkan untuk perhutanan sosial. “Jadi kita melihat kondisi tahura saat ini, yang bisa mendapat perizinan adalah masyarakat yang menggarap di blok tradisional. Pemanfaatannya harus hasil hutan bukan kayu [HHBK].”
Eny memaparkan, kemitraan konservasi di Tahura WAR tidak untuk pembukaan lahan baru. “Dukungan diberikan kepada petani yang telanjur menggarap. Terutama yang dulunya dibina Dinas Kehutanan Provinsi Lampung melalui UPTD Tahura pada program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat [PHBM],” terangnya.
Baca: Mencari Jalan Tengah Pemanfaatan Kawasan Konservasi
Ekowisata belum berjalan
Pada 2016, Mongabay Indonesia pernah mengunjungi Desa Hanura yang berpenduduk 384 kepala keluarga dan para petaninya tergabung dalam SHK Lestari, di kaki Bukit Damar Kaca.
Bukit Damar Kaca, merupakan salah satu daya tarik keberadaan Tahura WAR, yang ketinggiannya sekitar 450 meter dari permukaan laut. Dari puncak ini kita dapat melihat keindahan Teluk Ratai dan pesona Selat Sunda.
Menjelang ke puncak, akan tampak sejumlah pondok sebagai penanda jika di masa lalu ada kampung di lokasi tersebut. Di sepanjang perjalanan, terdengar berbagai suara burung, dan dari jauh terdengar pula suara siamang. Terlihat pula burung rangkong melintas di atas pepohonan di seberang Bukit Damar Kaca.
“Di sini masih ada 82 jenis burung, 26 jenis satwa, dan 266 jenis pohon. Meskipun jarang ditemukan jejaknya, sesekali harimau juga melintas. Keindahan ini yang mungkin akan dikembangkan menjadi objek wisata,” terang Agus, saat itu.
Dijelaskan Agus, usulan MoU SHK pada 2007 tentang pengelolaan ekowisata berbasis komunitas KPHK Tahura WAR tidak berlanjut. Ekowisata menjadi stagnan.
“Masyarakat juga tidak antusias, sebab dasar hukumnya tidak ada, apalagi pasca-usulan MoU SHK justru ada tujuh kebijakan KPHK Tahura WAR. Salah satunya, melarang dan mengosongkan permukiman, padahal dalam konsep ekowisata pemukiman itu yang nanti dijadikan homestay untuk pengunjung.”
Persoalan lainnya?
“Kehadiran proyek panas bumi Way Ratai. Sebab, proyek ini kabarnya menggunakan konsesi 70 ribu hektar. Dari peta yang kami dapatkan, sebagian lokasi tersebut berada di Tahura WAR dan proyek ini sudah diketahui masyarakat luas,” ungkapnya.
Eny Puspasari pun mengakui, Tahura WAR memang sangat potensial dijadikan lokasi ekowisata. Namun, dia juga tak menampik ada beberapa tempat yang belum dikembangkan secara maksimal.
“Potensi ekowisatanya luar biasa, banyak destinasi yang sudah dikelola maupun belum.”
Data UPTD Tahura WAR menunjukkan, saat ini ada lokasi wisata yang dikelola, seperti penangkaran rusa, Taman Kupu-Kupu Gita Persada, dan bumi perkemahan youth camp. “Juga Air Terjun Wijono, Air Terjun Talang Rabun, dan Air Terjun Sinar Tiga,” paparnya.
Baca juga: Kisah Klasik Tahura Wan Abdul Rachman, Dari Konflik Menuju Konsep Ekowisata
Persoalan utama
Apa persoalan utama yang masih terjadi di Tahura WAR saat ini?
Eny mengatakan Tahura War selalu terancam oleh pembalakan liar. Menurut dia, meskipun polisi hutan terus berpatroli menjaga keamanan dan melindungi hutan, namun para pembalak tetap saja melakukan aktivitas ilegal itu.
“Sepanjang Maret-Juli 2020 ini, tercatat 4 kasus pembalakan liar yang kami proses secara hukum. Sebelumnya, sudah ada yang ditahan setelah terbukti bersalah di persidangan,” kata dia.
Secara administratif, Tahura Wan Abdul Rachman berada di tujuh kecamatan yakni Teluk Betung Barat, Tanjung Karang Barat, Kemiling, Kedondong, Gedong Tataan, Way Lima, dan Padang Cermin, yang terbagi di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran.
Awalnya, pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.742/Kpts-II/1992 tertanggal 21 Juli 1992, menetapkan kawasan Register 19 Gunung Betung menjadi bagian Tahura WAR. SK ini kemudian diperbarui dengan SK Menhut No.408/Kpts-II/1993 yang menyebutkan, kawasan Register 19 Gunung Betung berubah fungsi dari hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi.
Tahura WAR memiliki topografi bergelombang ringan hingga berat. Terdapat empat gunung di sini yakni Gunung Pesawaran, Gunung Rantai, Gunung Tangkit Ulu Padang Ratu, dan Gunung Betung. Tumbuhan paling dominan di sini adalah merawan [Hopea mengarawan], medang [Litsea firmahoa], rasamala [Antingia excelsa], anggrek hutan dan paku-pakuan.