Mongabay.co.id

Kenapa Rumah Masyarakat Besipae Dibongkar Pemerintah?

 

Momen perayaan 75 Tahun Kemerdekaan Indonesia, Presiden Joko Widodo tampil mengenakan dua busana adat dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu busana yang digunakan, bermotif Nunkolo, yang berasal dari Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Di kabupaten ini, terdapat tiga kelompok besar Masyarakat Adat: Mollo, Amanatun dan Amanuban. Sayangnya, penggunaan busana adat di acara-acara kenegaraan ternyata berbanding terbalik dengan kebijakan terhadap Masyarakat Adat.

Sehari setelah pesta perayaan kemerdekaan, tepatnya pada Selasa (18/8/2020) Komunitas Adat Besipae di desa Linamnutu, kecamatan Amanuban Selatan, TTS, didatangi oleh aparat gabungan Polisi, Brimob dan Satpol PP.

Mereka diperintahkan oleh Gubernur NTT, untuk menghancurkan pondok-pondok milik warga yang berada di sekitar Hutan Adat Pubabu.

“Sekitar 30 rumah dibongkar paksa dan 47 kepala keluarga terpaksa harus mengungsi,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia,Rabu (19/8/2020).

Dalam aksi pembongkaran paksa tersebut, kata Rukka, aparat menggunakan kekerasan verbal dan fisik kepada warga anggota komunitas adat Besipae yang berada di lokasi.

Aksi kekerasan ini sebutnya, terutama menyasar perempuan dan anak-anak. Menurut saksi mata, terdengar tiga kali letupan senjata api.

baca : Solidaritas Perempuan dan WALHI NTT Minta Hentikan Tindakan Represif Kepada Perempuan Adat Pubabu

 

Warga yang tinggal di hutan adat Besipae yang digusur masih bertahan di lokasi hutan yang masih menjadi sengketa di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS, NTT. Foto : WALHI NTT

 

Hargai Masyarakat Adat

AMAN menilai aksi sepihak Pemprov NTT yang menghancurkan pondok-pondok milik warga merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional Masyarakat Adat yang telah diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.

Rukka mengatakan penyerangan terhadap komunitas adat Besipae juga merupakan pelanggaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) terhadap mandat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.

“Penggunaan tindak kekerasan adalah cara-cara yang tidak beradab dan melanggar HAM. Kekerasan yang dialami oleh Masyarakat Adat Besipae termasuk perlakuan tidak manusiawi kepada perempuan dan anak, menunjukkan negara tidak hanya gagal menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak konstitusional masyarakat adat, tetapi juga menunjukkan watak otoritarian rezim yang berkuasa hari ini,” tegasnya.

Pemerintah diminta Rukka, harus segera menarik aparat keamanan yang masih berada di lokasi kejadian, membebaskan warga yang ditahan tanpa syarat dan melakukan pemulihan terhadap perempuan dan anak-anak.

Ia juga mendesak pemerintah untuk lebih mengedepankan dialogis untuk menyelesaikan masalah ini dengan memastikan masyarakat adat Tiga Tungku, Mollo, Amanatun dan Amanuban terlibat penuh dalam menyelesaikan perkara ini.

baca juga : Masyarakat Adat Pubabu Tolak Klaim Lahan Pemprov NTT. Kenapa?

 

Aksi demo yang digelar berbagai organisasi sebagai bentuk dukungan terhdap masyarakat adat Pubabu di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan,TTS yang digusur pemerintah. Foto : WALHI NTT

 

Lebih jauh, Rukka menegaskan bahwa peristiwa penyerangan terhadap komunitas
adat Besipae menunjukkan bahwa masyarakat adat masih terbelenggu oleh penjajahan.Perjuangan untuk mendapatkan pemenuhan hak melalui undang-undang masyarakat adat juga masih jauh dari harapan.

“Ini ironis. Presiden Joko Widodo tampil berpidato dengan menggunakan pakaian
Masyarakat Adat Tiga Tungku. Tapi di saat yang bersamaan, pemerintah dari level
nasional hingga ke tingkat lokal justru sama sekali tidak menghargai hak-hak
masyarakat adat,” ucapnya.

Rukka menegaskan akan banyak kasus serupa jika pemerintah tetap bersikeras dengan RUU Omnibus Law dan menutup mata terhadap RUU Masyarakat Adat.

“Omnibus Law sebutnya, bukan hanya akan menghancurkan wilayah-wilayah adat, tapi juga akan menghapus pekerjaan-pekerjaan tradisional masyarakat adat dan akan memperlebar jurang ketimpangan dan diskriminasi perempuan adat.” ungkapnya.

 

Sejahterakan Masyarakat

Kepala Badan  Pendapatan dan Aset Pemprov NTT, Sony Libing kepada Mongabay Indonesia, Kamis (20/8/2020) menjelaskan masalah di Besipae, pemerintah sesungguhnya memiliki tujuan baik.

Sony menegaskan, tujuan utamanya yakni memanfaatkan lahan tersebut guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebab selama 12 tahun lahan tersebut tidak dikelola dengan baik

Padahal menurutnya, salah satu syarat utama saat penyerahan lahan oleh Usif Nabuasa yakni  Besipae dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Besipae.

“Pemerintah ingin memanfaatkan lahan itu karena berdasarkan sertifikat hak pakai yang dimiliki. Persoalaan muncul saat pemerintah ke lokasi dan akan memakai lahan tersebut, ternyata lahan sudah diduduki masyarakat termasuk kantor pemerintah sejak 12 tahun lalu,” jelasnya.

perlu dibaca : Konflik Tanah di Hutan Pubabu. Kenapa Masyarakat Adat Menolak Klaim Pemerintah?

 

Rumah sederhana yang dibangun di dalam lokasi hutan adat Besipae, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, TTS, NTT usai terjadinya penggusuran warga oleh pemerintah. Foto : WALHI NTT

 

Kondisi ini sebut Sony membuat pemerintah  membangun dialog bersama masyarakat di lahan tersebut. Dia mengakui lima kali mendatangi masyarakat dan berdialog tetapi 37 KK tersebut bersikeras meminta pembatalan sertifikat tanah.

Ia katakana sertifikat  tanah merupakan dokumen negara dan hanya bisa dibatalkan melalui pengadilan. Untuk itu dia menyarankan apabila masyarakat ingin membatalkan sertifikat tersebut maka silahkan menempuh jalur hukum melalui proses di pengadilan.

“Walaupun demikian pemerintah telah menyusun program pengembangan pemberdayan masyarakat di lokasi tersebut. Langkah yang telah kami lakukan saat ini yakni menyediakan kapling tanah bagi 37 KK tersebut seluas 800 meter persegi  bagi setiap keluarga,” jelasnya.

 

Bukan Pemilik Lahan

Lahan  20×40 meter ditawarkan pemerintah bagi warga yang berada di lokasi rumah mereka saat ini. Di area khusus yang disiapkan  tersebut  akan dibangun rumah. Ada 9 KK di kawasan hutan  dan 5 KK yang membangun rumah menutupi jalan masuk kantor.

Untuk 5 KK ini, kata Sony, rumahnya telah dibangun dan 9 KK telah disediakan kapling dan siap dibangun. Namun menurutnya, masalah baru muncul dimana keluarga besar Nabuasa selaku pemilik lahan serta tokoh-tokoh masyarakat di Desa Linamnutu menuntut haknya.

“Mereka mengatakan para pendatang diberi rumah sementara mereka tidak. Makanya besok saya akan bertemu dengan keluarga Nabuasa kembali agar rumah bagi 9 KK di kawasan hutan segera dibangun,” ungkapnya.

 

Lokasi hutan adat Besipae di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS, NTT yang masih terjadi konflik terkait kepemilikannya. Foto : WALHI NTT

 

Warga yang berada di dalam kawasan hutan pun kata Sony, diperkenankan mengelola lahan di sekitar kapling yang mereka tempati tersebut. Sementara 800 m² lahan kaping akan dibuatkan sertifikat dan bila ingin berkebun maka pemerintah memberi ruang kepada mereka untuk berkebun.

Pemerintah sebutnya, sudah tawarkan program-program pemberdayan masyarakat termasuk melibatkan masyarakat yang ada di desa tersebut berupa peternakan sapi, penghijauan pakan ternak, pengembangan lamtoro, porang dan jagung.

“Tetapi masyarakat di wilayah tersebut menolak karena merasa tanah tesebut milik mereka tetapi mereka tidak memiliki dasar baik dari aspek sosiologis maupun hukum,” tegasnya.

Wilayah Besipae merupakan wilayah kekuasaan Usif Nabuasa, bukan Usif Selan, katanya, sehingga bagaimana mungkin orang yang bukan pemilik lahan mengklaim tanah tersebut sementara pemilik lahannya sudah menyerahkan kepada pemerintah.

Tetapi bagi pemerintah, ucap Sony, program harus berjalan dan harus melibatkan masyarakat sehingga pemerintah membangun rumah serta memberikan ruang bagi warga tersebut berkebun.

 

Exit mobile version