Mongabay.co.id

Menyoal Kelestarian Gambut, Mangrove dan Masa Depan Gajah di Sugihan [Bagian 2]

 

Tulisan sebelumnya: Infrastruktur Terus Berkembang, Mampukah Gajah Bertahan di Pesisir Timur

 

Setelah membangun pabrik seluas 1.700 hektar di Sungai Baung, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, pada tahun 2012 lalu, kini PT OKI Pulp and Paper Mills siap mengoperasikan Pelabuhan Tanjung Tapa yang menghadap Selat Bangka.

Pelabuhan produksi ini jaraknya sekitar 57 kilometer dari kompleks pabrik yang akan digunakan sebagai pelabuhan ekspor kertas terbesar di Asia. Guna menghubungkan pabrik dan pelabuhan, perusahaan juga membangun jalan penghubung antara pabrik dengan pelabuhan. Nilai investasi pembangunan jalan ini diperkirakan sekitar Rp2,8 triliun.

Pelabuhan dan jalan ini berada di kawsan rawa gambut, hutan mangrove dan sekaligus habitat populasi gajah di Pesisir Timur, khususnya di lansekap Sugihan. Keberadaannya sangat mungkin memotong koridor gajah, misalnya koridor antara kantong gajah di Jalur 23 menuju kantong Lebong Hitam.

Lalu, apakah pembangunan jalan dan pelabuhan ini tidak mengganggu gambut, mangrove, dan koridor gajah?

“Kami menyadari  bahwa jalan yang membentang dari barat  ke timur di lanskap Sugihan sedikit banyak mempengaruhi pergerakan gajah,” kata Dolly Priatna, Kepala Departemen Konservasi Lanskap APP Sinar Mas, kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.

Menurutnya, kajian internal tim perusahaan telah dilakukan, untuk selanjutnya akan didiskusikan bersama para pihak, termasuk BKSDA Sumsel, para ahli konservasi gajah. Dengan mengetahui titik-titik perlintasan tersebut akan memudahkan upaya yang perlu dilakukan agar gangguan adanya jalan menjadi minimal.

 

Jalan yang menghubungkan antara lokasi pabrik ke pelabuhan milik PT OKI Pulp & Paper Mills, melewati konsesi PT Bumi Andalas Permai (PT BAP). Di beberapa ruas, jalan ini memotong koridor gajah. Dok: PT OKI Pulp & Paper Mills

 

“Identifikasi koridor gajah di sepanjang jalan tersebut akan dilakukan, termasuk yang ada di kawasan HTI, untuk menghindari terpecahnya populasi gajah dalam satu bentang alam. Ini sebagai jaminan populasi gajah di lanskap Sugihan dapat bertahan secara jangka panjang,” lanjutnya.

“Sejauh ini terpantau ada 3 titik di sepanjang jalan tersebut yang berpotensi sebagai perlintasan gajah.

Lalu apa yang akan dilakukan?

“Ada beberapa opsi. Misalnya jika berdekatan dengan cekungan, kita akan buat jembatan di atasnya dan bagian bawah jembatan kita intervensi dengan kegiatan penanaman pakan gajah dan pembuatan artificial salt lick [tempat menggaram] untuk memenuhi keperluan makan dam mineral gajah. Tujuannya untuk menarik gajah-gajah menggunakan kolong jembatan tersebut sebagai perlintasan.”

Opsi lainnya, misalnya membiarkan jalan dalam posisi ke tanah dan menyiapkan SOP berkendara di perlintasan gajah, serta menyiapkan rambu-rambu bahwa lokasi ini merupakan perlintasan gajah.

 

Pertambakan udang milik warga yang ada di kawasan Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur. Foto Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Kelestarian Gambut dan Mangrove

Terkait pembangunan di atas rawa gambut, para pakar gambut dan kebakaran hutan dan lahan, mewanti-wanti agar pengelolaannya tetap mengacu kepada berbagai aturan yang ada. Apalagi Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi ‘langganan’ kebakaran hutan.

“Bila pembangunan itu di lahan bergambut maka aturan main yang ada tetap melekat. Misalnya, ketebalan gambut, drainase, tinggi muka air tanah (TMAT), subsidence, dan lainnya,” ungkap Bambang Hero Saharjo, pakar gambut dan forensik kebakaran dari IPB University mengingatkan.

“Apabila ada kegiatan yang dilakukan di atas lahan gambut maka tetap tunduk dengan aturan main yang ada yakni PP Nomor 71 Tahun 2014 dan PP Nomor 57 tahun 2016.”

Pada periode 2015-2019 seluas 1.011.733,97 hektar,- paling banyak terjadi di lahan gambut, di Sumatera Selatan terbakar. Kabupaten OKI adalah lokasi yang terluas kebakaran gambutnya.

Hal senada dikatakan Bambang Prayitno, pakar gambut dari Universitas Sriwijaya. Dia menyebut aktifitas di gambut harus patuh dengan PP Nomor 57 Tahun 2016, baik di ekosistem gambut fungsi lindung maupun fungsi budidaya.

“PP tersebut seharusnya menjadi pertimbangan untuk tata ruang daerah. Ekosistem gambut fungsi budidaya yang lebih luas penggunaannya, yang mungkin di dalamnya adalah fasilitas pendukung kegiatan tersebut,” sebutnya.

“Jalan adalah faktor pendukung kegiatan, rasanya bisa dibangun. Cuma harus oleh perusahaan yang melakukan kegiatan di lahan tersebut. Nah kalau perusahaan lain yang tidak melakukan kegiatan di lahan tersebut dan hanya buat jalan, harus melihat acuan tata ruang daerah tersebut.”

Selain gambut, jalan menuju pelabuhan tersebut juga melalui Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur yang berupa hutan mangrove. Persoalannya hutan lindung itu sudah rusak berat. Setelah aktifitas HPH, kerusakan ini berlanjut dengan pembukaan pertambakan udang dan ikan masyarakat.

“Mengecek tidak harus datang ke lokasi. Lihat saja di google maps, sebagian besar hutan lindung tersebut terlihat menjadi kotak-kotak tambak,” ungkap Muhammad Hairul Sobri, Direktur Walhi Sumatera Selatan kepada Mongabay Indonesia.

“Bukan tidak mungkin wilayah di sana akan tenggelam karena tidak ada lagi penahan air laut,” katanya. Jika tak diseriusi, dampaknya akan sangat besar di masa mendatang.

Melihat kondisi yang ada, Sobri berharap pembangunan pelabuhan dan jalan tersebut tidak diikuti pembangunan infrastruktur lainnya, seperti pergudangan yang akan menjadi pemicu munculnya permukiman baru, baik di lahan gambut atau hutan mangrove tersebut.

“Pemerintah harus benar-benar memperhatikan dan memperhitungkan kemungkinan ini ke depan,” ujarnya.

 

Pelabuhan bongkar muat PT OKI Pulp & Paper Mills yang tak jauh dari Tanjung Tapa, Kabupaten OKI, Sumsel. Dok: PT OKI Pulp & Paper Mills

 

Terkait kemungkinan adanya kemungkinan merusak gambut dan mangrove, Gadang H Hartawan, Head Public Affair PT OKI Pulp & Paper Mills, memastikan pihak perusahaan mematuhi aturan yang ada.

“Kami membangun pelabuhan dan jalan tidak di atas gambut atau mangrove,” jelasnya kepada Mongabay Indonesia.

Pelabuhan dibangun di lepas pantai, sementara jalan sepanjang 57 kilometer dan lebar 30 meter, sebagian besar menggunakan jalan produksi perusahaan HTI, yaitu PT Bumi Andalas Permai [BAP] sepanjang 45 kilometer.

Sementara jalan sepanjang 12 kilometer dibangun bertiang di atas kanal eks perusahaan HPH, termasuk melewati kawasan hutan mangrove.

“Jadi sama sekali tidak mengubah lahan gambut dan hutan mangrove. Kami mengoptimalkan apa yang sudah, dan tidak mengubah lahan atau hutan,” sebutnya.

Bahkan, pihaknya turut membantu restorasi berupa penanaman mangrove yang dilakukan masyarakat Desa Sungai Batang di lokasi lahan yang mengalami degradasi dan terbakar pada tahun 2015 lalu. Lokasinya berada di sekitar kanal eks HPH, tepat berada di belakang kawasan hutan mangrove.

Lalu apakah jalan menuju pelabuhan memangkas hutan mangrove di pesisir?

Gadang tak memungkiri jika pembangunan pelabuhan dan jalan tersebut, sempat tertunda karena persoalan perizinan dari KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan]. Persoalannya terkait kemungkinan jalan menuju pelabuhan memangkas hutan mangrove yang berada di pesisir.

Setelah dilakukan pengkajian oleh tim dari pemerintah, akademisi, serta perubahan rencana kontruksi pelabuhan yang dipastikan tidak membuka hutan mangrove, akhirnya keluarlah surat izin dari pemerintah.

Dr. Syafrul Yunardy, Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumatera Selatan, yang pernah mengunjungi lokasi pelabuhan dan jalan, pun membenarkan hal tersebut.

“Jalan yang mereka gunakan memanfaatkan jalan di konsesi perusahaan HTI, sementara saat memasuki kawasan hutan lindung mereka membangun jalan bertiang di atas kanal eks perusahaan HPH, dan langsung menuju ke lepas pantai. Tidak ada hutan mangrove yang dibuka,” sebut Syafrul.

“Memang harus diperhatikan mengenai koridor gajah yang terpotong oleh jalan tersebut. Itu harus dilakukan upaya agar aktifitas gajah dan manusia tidak saling mengganggu.”

 

Tulisan selanjutnya: Menyambungkan Koridor, Agar Gajah Tidak Punah dari Pesisir Timur Sumsel

 

***

Foto utama: Foto penampakan udara kawanan gajah liar di Sebokor, SM Padang Sugihan, Sumsel.  Foto Faizal Abdul Aziz/CIFOR

 

 

Exit mobile version