Mongabay.co.id

Saat Abrasi Makin Ancam Permukiman di Pesisir Pantai Pasuruan

 

Asiyah belum beranjak dari dapur saat ombak setinggi tiga meter menghantam dapur rumahnya. Sontak, perempuan 41 tahun itu berlari ke bagian depan rumah sembari berteriak.

“Saya lari ke depan mencari anak saya yang paling kecil,” kata Asiyah kepada Mongabay Indonesia, sehari setelah kejadian (Sabtu, 22/08/2020) pagi. Sehari sebelumnya, Jumat (21/08) pukul 12.00, rumahnya yang ada di Dusun Pasir Panjang, Desa Wates, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan diterjang ombak dari perairan Selat Madura.

Siang itu, perempuan berkerudung ini sejatinya hendak menyiapkan makan siang untuk ayahnya yang tengah sakit. Namun, belum juga selesai, dapur rumahnya ambrol diterjang gelombang.

Sembari menggendong Dahlan, putra bungsunya yang masih berusia 4 tahu, Asiyah memapah ayahnya ke kediaman tetangga depan rumahnya.

“Kan orang-orang sedang sholat Jumat, jadi saya sendirian,” ujar Asiyah.

 

Madrasah Ruhul Bayan yang rusak diterjang ombak. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dua jam sebelum insiden yang menimpa rumah Asiyah, dua ruang kelas Madrasah Diniyah lebih dulu diterjang gelombang yang sama. Dua ruang kelas sekolah yang hanya sepelemparan batu dari kediaman Asiyah itu ambrol.

Tembok bidang dua ruangan yang membelakangi laut itu rata dengan tanah. Beberapa bagian dinding yang tersisa pun terlihat retak-retak. Begitu juga dengan bangku di ruangan, porak poranda.

Untung saja, saat peristiwa itu terjadi, para siswa tengah libur. “Siswa pas ndak ada. Kan hari jumat, jadi libur. Masuknya juga sore,” ujar Ainul [27], warga setempat yang tinggal tak jauh dari lokasi madrasah.

Bagi warga Pasir Panjang itu bukanlah pertama kalinya. Menurut penuturan warga, itu merupakan kali keempat sepanjang tahun ini. Hanya, yang terjadi pada Jumat merupakan yang terparah dibanding sebelumnya.

Berdasar data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pasuruan, tercatat dua rumah dan 1 sekolah rusak berat imbas kejadian itu. “Tembok jebol. Banyak peralatan dapur warga yang hilang,” kata Kepala BPBD setempat, Tectona Jati.

Bukan hanya merusakkan sejumlah bangunan. Berdasar pendataan BPBD, gelombang tinggi yang berlangsung sekitar empat jam itu menyebabkan tangkis pembatas sepanjang 1.000 meter jebol. Kondisi itu mengancam 17 rumah yang berada di bibir laut.

Sebagai antisipasi, warga secara swadaya membuat tanggul darurat. Langkah itu  dilakukan dengan memasang pagar dari kayu serta karung berisi pasir yang ditumpuk sedemikian rupa untuk menghalau gelombang.

Abdul Kodir [33], warga yang lain mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, dampak gelombang air laut dirasakan makin parah. Hal itu tak lepas dari garis pantai yang kian tergerus akibat abrasi.

“Seingat saya, sebelum tahun 2000 an itu masih lumayan. Jarak pantai dengan permukiman ada kalau 100 meter,” sebutnya. Kala masih remaja acapkali dia dan rekan-rekan sebayanya memanfaatkan hamparan pasir pantai untuk main sepak bola.

Karyawan sebuah perusahaan di Pasuruan ini mengakui, pemanasan global yang diikuti dengan meningkatnya permukaan laut menjadikan pantai hilang. Akan tetapi,  keberadaan dermaga yang baru di sisi permukiman dinilainya turut memberi kontribusi.

Menurut Kodir, kehadiran dermaga sepanjang 200 meter itu membuat gelombang dari perairan Selat Madura itu terpecah. Imbasnya, area (daratan) di sisi kanan dermaga yang memang posisinya sedikit menjorok ke laut terkena limpasan gelombang.

Baca juga: Pantura Jawa Terancam Karam

 

Bagian belakang rumah Asiyah yang ambrol diterjang gelombang. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Tak Punya Mangrove

Tectona Jati mengakui bahwa sejumlah permukiman di wilayab pesisir Pasuruan memang rawan terkena dampak gelombang air pasang.

“Ada beberapa desa yang posisinya berhadapan dengan laut. Dan itu rawan mengalami peristiwa serupa. Bergantung kondisinya juga,” ungkapnya.

Kabupaten Pasuruan memiliki 24 kecamatan dengan lima di antaranya berbatasan langsung dengan perairan Laut Jawa (Selat Madura). Total garis pantai mencapai 31,6 kilometer yang membentang di 17 desa. Desa Wates, Kecamatan Lekok adalah salah satunya.

Berdasar profil desa pesisir yang diterbitkan Pemrov Jawa Timur, Desa Wates memiliki garis pantai sepanjang 4,6 kilometer. Sekaligus menempatkannya sebagai desa dengan garis pantai terpanjang dibanding desa-desa pesisir lain di Kabupaten Pasuruan.

Sayangnya, meski memiliki garis pantai terpanjang, Wates justru tercatat sebagai satu-satunya desa yang tidak memiliki tanaman mangrove pada bentang garis pantainya.

Kepala Desa Wates, Mulyadi mengatakan, usaha penanaman mangrove sejatinya pernah dilakukan beberapa tahun silam. Akan tetapi, tidak berjalan maksimal karena tidak dirawat dengan baik.

“Sebenarnya itu bisa membantu mencegah gelombang. Makanya dulu pernah kami tanami disitu, tapi tidak jalan karena tidak terawat dan banyak yang dicabuti,” ungkap Mulyadi (22/08).

Menurut Mulyadi, situasi menyebabkan makin lama, air laut makin masuk ke daratan. Pada akhirnya arus laut makin merambah kawasan permukiman.

Baca juga: Ketika Rob Rendam Pesisir Utara Jawa Tengah

 

Warga desa, Ridwan dan istrinya membuat tanggul darurat dari kantong pasir untuk menghindari gelombang lanjutan. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Pengamat kelautan dari Pusat Kajian Kawasan Pesisir Universitas Brawijaya (UB) Malang, Sukandar mengatakan, efek pemanasan global (global warming) ikut memicu meningkatnya permukaan laut di berbagai belahan dunia.

“Artinya, tidak ada gelombang pun, makin lama permukaan laut juga memang terus naik akibat dari mencairnya es di kawasan kutub,” kata Sukandar saat dihubungi melalui selulernya (23/08).

Situasi itu diperparah dengan kondisi kawasan terdampak yang memiliki sempadan pantai. Sehingga, begitu terjadi gelombang tinggi, air langsung menghempas.

“Tapi, itu kan kajian yang berlaku secara umum. Bisa saja ada kemungkinan hipotesa lain. Misalnya terjadi penurunan muka tanah, kan kita juga tidak tahu karena harus ada kajiannya,” jelasnya.

Sukandar melanjutkan, sejauh yang ia pahami, kawasan pesisir Lekok sedikit berbeda dengan daerah pesisir lain di kabupaten. Misalnya saja pesisir Nguling yang masih memilki daerah sempadan dengan tanaman mangrove di pesisirnya. Sementara di lokasi lain, nyaris tidak ada sempadan.

Ketentuan soal sempadan itu sendiri diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Sempadan merupakan daratan sepanjang tepian pantai dengan lebar proporsional, sesuai bentuk dan kondisi pantai. Tetapi, minimal memiliki lebar 100 meter yang dihitung dari titik tertinggi air pasang.

Pada sisi yang lain, ancaman gelombang air pasang sejatinya bukan hanya dialami permukiman pesisir Kabupaten Pasuruan. Di wilayah kota, kondisinya juga sama.

Pada Juni 2020 lalu, sejumlah area permukiman di Kelurahan Panggungrejo, Kota Pasuruan juga tergenang akibat rob. Ketinggian air bahkan mencapai 50 sentimeter. Peristiwa itu merupakan kali pertama terjadi.

Berdasar informasi Badan Meteorologi Klimagologi dan Geofisika (BMKG) Sub Bidang Kemaritiman, telah mengeluarkan maklumat perihal potensi gelombang tinggi selama beberapa waktu ke depan.

Dalam pengumuman yang diterbitkan Minggu (23/08), sejumlah wilayah perairan berpotensi mengalami peningkatan gelombang. Diantaranya, Laut Bali, Natuna, Selat Karimata, Perairan Utara Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Laut Bali.

BMKG pun menyebut, gelombang tinggi gerjadi akibat adanya sirlulasi udara di Kalimantan Barat dan Papua barat. Pola angin di wilayah Indonesia umumnya dari Timur – Selatan dengan kecepatan 6 – 22 knot.

Kecepatan angin tertinggi terpantau di Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Makassar bagian selatan, Perairan barat Lampung hingga selatan Jawa barat dan Laut Arafuru bagian timur. Kondisi itulah yang pada akhirnya memicu gelombang tinggi hingga 4 meter.

 

 

Exit mobile version