Mongabay.co.id

Upaya Listrik Terang dan Cerita Suka Duka Operator Mikro Hidro dari Balantieng

 

Hujan rintik tipis mulai terasa saat memasuki Kecamatan Sinjai Borong. Jalanan yang dilalui lumayan mulus meski sesekali menanjak membelah pegunungan. Kabut berpendar dari kejauhan jadi pemandangan istimewa.

Suasana seketika berubah saat tiba di Desa Bonto Tengnga menuju ke dusun kecil paling pelosok, Balantieng. Jalan berbatu nan terjal menguji nyali. Cuaca semakin gigil di bawah dua puluh derajat Celcius. Tetapi, panorama alamnya justru semakin menggiurkan.

Saat mengamati pemandangan indah sembari berswafoto, saat dua anak muda berwajah mirip Muhammad Nur (28) dan adiknya Sudirman (26). Belakangan saya tahu kalau keduanya bersaudara kandung.

“Mereka ini juru kunci listrik di sini. Kalau mereka berhalangan, warga Dusun Balantieng bisa sengsara,” cerita Mukhlis, pendamping lapangan saya.

Keduanya operator mesin Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Balantieng berkapasitas 45 KWP yang menyuplai energi listrik 57 rumah. Ada 40 rumah di dusun Balantieng plus rumah ibadah dan 17 rumah lagi di Desa tetangga, Batu Belerang. Pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan ini telah berdiri sejak tahun 2016.

Sebelum PLTMH ini dibangun, Dusun Balatieng benar-benar terisolasi. Selama berpuluh tahun, warga kampung tak mengenal listrik. Anak-anak yang lahir dan besar di tahun 1990-an, harus berjalan kaki ke rumah kerabatnya di pusat desa untuk sekadar men-charging baterai handphone.

Kesaksian Lode (80), seorang sepuh yang dahulu tinggal di dusun terpencil itu membuka tabir masa lalu. Katanya, karena akses jalan yang buruk dan tak ada listrik selama bertahun-tahun, warga lebih senang hidup berpencar di kebun masing-masing.

“Awalnya, hanya ada beberapa rumah di sini. Dulu orang-orang lebih suka tinggal di kebun, jadi dusun ini gelap gulita di malam hari,” kisah Lode.

Tidak adanya energi listrik juga mempengaruhi taraf pendidikan dan perekonomian warga. Selain bertani dan berdagang ico (tembakau), sebagian warga Dusun Balantieng juga bekerja sebagai tukang kayu. Aktivitas pertukangan warga sepenuhnya dilakukan secara tradisional.

Pendidikan anak-anak kampung juga di bawah rata-rata. Umumnya hanya tamat SD dan SMP. Selain karena letaknya yang terisolir, tidak adanya sumber penerangan membuat anak-anak lebih tertarik berkebun, membantu orang tua.

Muhammad Nur dan Sudirman punya kenangan suram perihal ini saat masih kanak-kanak.

 

Nur dan Sudirman (nomor dua dan tiga dari kiri), berfoto bersama dengan Tenaga Ahli Pemda Sinjai, Foto dok: Anis Kurniawan

 

“Sebelum ada listrik, kami terbiasa tidur lebih cepat paling lambat jam delapan malam. Kalau ada waktu luang, kami pergi nonton televisi di rumah saudara. Pulangnya tengah malam karena harus berjalan kaki sejauh dua kilometer,” kisah Nur.

Kedua anak muda ini hanya bisa sekolah sampai SMP. Satu-satunya pendidikan terbaik pasca tamat yang pernah diikutinya adalah Diklat Teknis PLTMH bagi operator. Kegiatan ini digelar oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Energi dan Sumber Daya Mineral, pada awal tahun 2018.

Dari pelatihan berharga itulah, kakak beradik itu semakin paham luar dalam sebagai operator PLTMH Balantieng. Meski bergaji tidak seberapa, mereka semangat menjalani aktivitasnya.

Mereka iklas menjalani rutinitas, “yang penting orang kampung bisa memiliki energi listrik,” sebut Nur. Empat tahun terakhir, suara musik mulai bersahutan di pagi hari juga televisi yang sudah bertandang di rumah warga.

Selama PLTMH Balantieng berdiri, belum pernah ada kerusakan yang cukup berarti. Boleh dibilang, semua berjalan baik-baik saja. Inilah yang membedakan antara PLTMH di Balantieng dengan di desa tetangga, bahkan di desa-desa lain di kabupaten tetangga.

Semua tentu berkat dukungan warga setempat. Khususnya, hasil kerja keras Sudirman dan Nur yang selalu cekatan dalam menjaga keberadaan mesin PLTMH.

Hampir setiap dua hari sekali, secara bergantian harus mengecek keadaan mesin. Keduanya juga harus memastikan agar tidak ada gangguan berarti seperti asupan air, atau sampah pengganggu.

Jika tak ada masalah berarti, kedua anak muda yang masih bujangan ini meneruskan aktivitas keseharian mereka seperti berkebun. Seperti warga lainnya di Balantieng, keduanya adalah petani. Dengan adanya listrik, mereka pun kini punya penghasilan tambahan sebagai pembuat mebel, seperti kursi dan lemari.

Namun, tantangan terberat bagi keduanya adalah tidak ada waktu sedikit pun untuk bisa meninggalkan dusun dalam satu waktu bersamaan.

“Harus ada satu di antara kami yang tinggal. Tidak bisa pergi semua. Takutnya ada masalah, jadi harus ada satu yang jaga,” ungkap Nur.

Hari paling sibuk dalam kehidupan Nur dan Sudirman adalah saat ada acara hajatan warga atau cuaca sedang kurang bersahabat seperti hujan deras atau kemarau panjang. Tak peduli hari sudah malam atau hujan deras mengguyur, bila listrik padam, keduanya harus turun tangan.

“Pokoknya, biar tengah malam kalau lampu mati. Tidak ada alasan. Saya turun cek dan perbaiki. Terlambat sedikit, pasti ada orang yang bangunkan untuk minta perbaiki kerusakan,” kisahnya.

Walhasil, semua masih bisa ia tangani dengan baik. Listrik beroperasi selama 24 jam dan dusun kecil itu pun menjelma seperti kota kecil di malam hari.

 

Suasana rumah warga di Dusun Balantieng di malam hari. Rumah warga terang hasil PLTMH. Foto: Anis Kurniawan

 

Pengelolaan Mandiri Berbasis Kekeluargaan

Ada dua hal menarik dari segi keberlanjutan PLTMH di dusun terpencil itu. Pertama, sumber daya alam yakni air yang berkelimpahan. Sungai Balantieng dikenal sebagai sungai yang melegenda dengan pasokan air cukup stabil meski kemarau. Kedua, pihak pengelola yang masih mengandalkan modal sosial (social capital) berbasis kekeluargaan.

Hal kedua ini yang paling menarik. PLTMH Balantieng dikelola secara swadaya oleh warga setempat, terdiri dari 4 orang, tiga diantaranya bertindak sebagai operator merangkap tim teknis. Satu orang lagi sebagai penasihat. Semuanya berdomisili di dusun Balantieng.

Menurut Kepala Desa Bontotenga, Kaswan Mahmud, pengelolaan PLTMH di desanya diserahkan sepenuhnya pada pengelola tanpa ada campur tangan birokrasi desa.

“Kami serahkan sepenuhnya secara mandiri. Sejauh ini berjalan baik. Warga bisa menikmati pasokan listrik sepuasnya tanpa pernah ada kerusakan serius,” kata Kaswan. Dia berpendapat keberlanjutan PLTMH berjalan baik karena peran pengelola, khususnya dua operatornya yang tulus mengabdi.

“Kalau berhitung upah, tentu sangat tidak layak. Tetapi, saya salut karena mereka [operator] benar-benar mengabdi sepenuh hati,” ucapnya.

Sebagai catatan, biaya operasional dan gaji pengelola berasal dari iuran warga hanya sebesar Rp25.000 sebulan. Jadi, kalau dikalkulasi dengan jumlah pelanggan, hanya terkumpul dana sekitar Rp1.425.000.

Uang tersebut digunakan untuk perawatan dan gaji operator. Menurut pengakuan Sudirman, ia dan adiknya mendapat upah antara Rp400 ribu hingga Rp500 ribu atau sekitar Rp 250 ribuaan per orang per bulan.

Di mata Sudirman dan Nur, upah tersebut memang sangat kecil dan tidak sebanding dengan tanggungjawabnya sebagai operator. Tetapi, keduanya menerima apa adanya tanpa protes.

Bahkan dengan upah sebesar itu, pengelola PLTMH masih bisa menyimpan dana cadangan. “Sampai hari ini tersimpan sekitar Rp 3 juta lebih dana cadangan. Dana ini kami simpan untuk antisipasi adanya kerusakan mendadak,” kata Sudirman.

 

Suasana tampak dalam di PLTMH Balantieng. Foto: Anis Kurniawan

 

Pembayaran Iuran Listrik yang Suka Tak Lancar

Sejauh ini listrik di Dusun Balantieng dan 17 rumah di Desa Batu Belerang memang tanpa kendala berarti. Bila dibandingkan dengan tarif listrik PLN, iuran warga yang sebesar Rp25 ribu per bulan masih sangat murah. Namun fakta di lapangan berbicara lain, kondisi ekonomi masyarakat di pedalaman membuat iuran bulanan tidak berjalan lancar.

“Kadang-kadang ada yang terlambat bayar. Ada yang tiga atau enam bulan baru bayar,” ungkap Nur yang ditugaskan khusus melakukan pencatatan dan penagihan.

“Kalau sudah menagih dan belum dikasih, yah mau diapa lagi,” curhat Nur. Terlebih warga dusun yang jadi pelanggan umumnya adalah keluarganya sendiri.

“Jadi kalau sudah ditagih dua-tiga kali, yah nanti ada uangnya baru ia bayar,” kata Nur.

Dari buku catatan penagihan, terlihat jelas, ada beberapa warga yang membayar sekaligus tagihan listriknya untuk 4 hingga 6 bulan. Situasi ini dimaklumi Nur dan Sudirman, karena ada beberapa warga yang memang baru bisa membayar setelah panen hasil kebun.

Meski sudah dibuat aturan khusus yang harus ditaati pelanggan PLTMH pada saat pemasangan jaringan, kadang ia tak diindahkan. Padahal disebutkan dalam aturan bahwa setiap pelanggan wajib menyerahkan iuran listrik kepada bendahara  dengan membawa kartu iuran paling lambat tanggal 15 setiap bulannya.

Sanksi tegas bahkan mengatur bagi pelanggan yang terlambat iuran listrik selama 1 sampai 2 bulan akan diberikan teguran lisan. Sedangkan, pelanggan yang terlambat membayar iuran selama 3 bulan berturut-turut, maka akan diberi sanksi tegas yakni pemutusan jaringan.

Pemasangan kembali akan dilakukan dengan membayar biaya administrasi sebesar Rp 1 juta. Faktanya, sanksi tegas sulit diterapkan.

Ini dilema bagi para pengelola. Mereka merasa tidak sampai hati untuk memutus jaringan bagi warga yang berbula-bulan tidak bayar. Sekaligus beban moril bagi mereka yang masih berada dalam satu rumpun keluarga.

“Kalau 17 pelanggan di desa sebelah, Alhamdulillah pembayarannya lancar. Barangkali karena mereka takut listriknya dicabut,” kata Nur.

 

Kontur perbukitan Dusun Balantieng di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Rumah warga di malam hari terang karena listrik PLTMH. Foto: Anis Kurniawan

 

Keberlanjutan PLTMH Balantieng

Jaringan listrik PLN kini sudah mendekati dusun Balantieng. Tim Pelayanan PLN Sinjai, Muhammad Ridho mengatakan, pihaknya memang berupaya memperluas jaringan listrik hingga ke pelosok. Namun, otoritas pemasangan listrik adalah hak pelanggan.

“PLN hanya melayani pelanggan yang bermohon. Jadi, kalau sudah ada PLTMH berjalan, kami tentu tidak berhak mengarahkan pengalihan ke PLN. Terserah pelanggan saja,” katanya.

Apakah warga dusun akan berpindah ke jaringan PLN? Hampir semua warga dengan tegas menyatakan akan tetap memakai listrik PLTMH.

“Walaupun PLN sudah masuk, saya tetap akan pakai listrik PLTMH. Selain iurannya murah, selama ini belum ada masalah. Lancar-lancar saja. Jadi, buat apa berpindah,” kata Santuo, pelanggan PLTMH.

Santuo berharap agar para pelanggan lainnya bisa taat aturan dalam membayar demi mengantisipasi masalah-masalah teknis ke depannya.

Kepala Desa Bontotengnga juga memastikan, warganya di dusun Balantieng konsisten menggunakan listrik terbarukan.

“Yang jadi pekerjaan rumah sekarang adalah bagaimana memperbaiki tata kelolanya. Kami juga sedang memikirkan untuk membuat mekanisme yang lebih baik untuk keberlanjutan PLTMH,” kata Kaswan.

Menurut Kaswan, kalau pemerintah desa mengambil alih tata kelola PLTMH ini, maka manajemennya akan berada di bawah Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).

“Kalau seperti itu, maka setiap rumah nanti harus dipasang KWH. Jadi tarif pembayaran tentu berubah. Tarifnya akan sesuai dengan beban pemakaian,” kata Kades.

Ide ini masih sebatas wacana. Kepala Kaswan Mahmud menegaskan, cara ini bisa saja ditempuh demi kepentingan keberlanjutan. “Kasihan juga anak-anak operator ini. Selain gajinya sedikit, terlambat pula. Sampai kapan mereka mau bertahan dengan kondisi seperti ini?” kata Kasman.

Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Dinas Perdagangan Perindustrian dan ESDM Kabupaten Sinjai, Ir. Idham mengatakan, ke depan pihaknya akan mendorong PLTMH Balantieng agar lebih mandiri lagi.

“Kita akan mendorong ke depannya agar aset tersebut diserahkan kepada desa sebagai aset desa. Sekarang ini statusnya masih aset Pemda. Kalau sudah jadi aset desa, tentu bisa lebih profesional dan mandiri,” jelas Idham.

Dukungan pemerintah tentu amat dibutuhkan demi keberlanjutan listrik di daerah ini.

 

* Anis Kurniawan, penulis adalah jurnalis klikhijau.com, artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

***

Foto tampak muka: salah satu rumah warga Balantieng yang terang di malam hari berkat listrik PLTMH

 

Exit mobile version