- Pembangkit Listrik Tenaga Sampah [PLTSa] Benowo bakal beroperasi di Surabaya. PLTSa ini memiliki kemampuan mengolah sampah hingga 1.000 ton sampah per hari dengan listrik yang dihasilkan 12 megawatt.
- PLTSa hasil kerja sama Pemerintah Kota [Pemkot] Surabaya dengan PT. Sumber Organik [PT. SO] ini, menggunakan teknologi Gasifikasi Power Plant.
- Dari 12 megawatt yang dihasilkan PLTSa Benowo, sebanyak 9 megawatt akan dijual PT. Sumber Organik ke PLN, 2 megawatt digunakan untuk operasional perusahaan, dan 1 megawatt redundant.
- PLTSa Benowo yang menempati lahan seluas 37,4 hektar di Surabaya Barat digadang-gadang sebagai PLTSa pertama dan terbesar di Indonesia.
Kota Surabaya segera memiliki unit Pembangkit Listrik Tenaga Sampah [PLTSa] dengan kemampuan menghasilkan listrik sebesar 12 megawatt. PLTSa Benowo yang berlokasi di Tempat Pembuangan Akhir [TPA] Benowo ini, digadang-gadang sebagai PLTSa pertama dan terbesar di Indonesia.
PLTSa yang merupakan hasil kerja sama Pemerintah Kota [Pemkot] Surabaya, dengan PT. Sumber Organik [PT. SO] ini, menggunakan teknologi Gasifikasi Power Plant. Kemampuannya, dapat mengolah sampah hingga 1.000 ton per hari.
Bagaimana perkembangan PLTSa Benowo saat ini?
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini menuturkan, pembangunan fisik PLTSa Benowo sudah mencapai 100 persen. Saat ini, hanya menunggu tenaga ahli untuk memantau tahapan commissioning atau pengujian. Tujuannya, untuk mengetahui apakah sistem sudah berjalan dengan baik.
“Untuk commisioning sudah selesai, sudah bisa dioperasionalkan,” kata Risma, Rabu [19/8/2020].
Risma memaparkan, dari 12 megawatt yang dihasilkan PLTSa Benowo, nantinya yang akan dijual ke PLN oleh PT. SO sebanyak 9 megawatt.
“Jadi, 2 megawatt untuk konsumsi [operasional] PT SO. Listriknya mereka gunakan sendiri karena mereka juga butuh operasional, dan masih ada redundant 1 megawatt,” paparnya.
Risma menuturkan, Pemkot Surabaya bakal dibantu Pemerintah Pusat untuk tipping fee sekitar 30 persen. Sebelumnya, Risma telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan kesiapan operasional PLTSa tersebut.
Risma menegaskan, pemasaran listrik akan dilakukan PLN, bukan Pemkot. Ini dikarenakan yang memiliki jaringan listrik adalah PLN. “Perusahaan yang jual dan tidak tahu PLN menjual kemana. Pemkot, dalam hal ini, baru mendapat keuntungan setelah lima tahun, tapi itu kecil. Namun begitu, setiap tahun kami menerima sewa lahan, semua sekitar 4 miliar Rupiah,” tuturnya.
Jika PLTSa ini resmi beroperasi, maka sampah di Surabaya dapat berkurang 1.000 ton per hari. Rata rata sampah di TPA Benowo, antara 1.100 – 1.300 ton per hari. “Jadi pekerjaan kita semua untuk menyelesaikan sisa yang 300 ton per hari ini,” ucapnya.
Persiapan pengujian
Deputy General Manager Business Unit PT. Sumber Organik, Hari Sunjayana mengungkapkan, proses gasifikasi sampah di PLTSa Benowo kapasitasnya mencapai 1.000 ton per hari dengan listrik yang dihasilkan 12 megawatt.
Dikatakan Hari, PT. SO mulai melakukan persiapan pengujian. Rencananya, pertengahan Agustus 2020, tim ahli akan memantau langsung pengujian.
“Kami sudah siapkan segala hal,” terangnya.
PLN sendiri telah bekerja sama dengan PLTSa Benowo sejak 2015. Senior Manager General Affairs, PLN Unit Induk Distribusi Jawa Timur, A Rasyid Naja mengungkapkan, pembangkit ini mampu memasok listrik sebesar 740.000 kWh per bulan, dengan rata rata pemakaian rumah tangga daya 1300 VA.
“Dengan pemakaian kWh rata-rata per bulan sebesar 132,78 kWh, maka PLTSa tersebut mampu mengaliri listrik ke 5.573 pelanggan,” terangnya.
Dengan memanfaatkan PLTSa Benowo ini, lanjut Rasyid, PLN turut serta dalam menanggulangi masalah sampah. PLN telah melakukan perjanjian jual beli tenaga listrik kepada pengembang, yang artinya PLN membeli tenaga listrik hasil PLTSa ini sesuai peraturan yang telah ditetapkan.
“Cara kerja PLTSa ini adalah sampah diolah hingga menghasilkan gas methan yang kemudian dibakar. Tujuannya, menghasilkan panas yang digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang tersambung pada generator, hingga menghasilkan energi listrik.”
PLTSa Benowo, menempati lahan 37,4 hektar di Surabaya Barat. Kehadirannya sebagai percontohan bagi kota-kota lain untuk mengelola sampah sampah. “PLN mendukung setiap program pemerintah yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Termasuk, dalam hal pembelian tenaga listrik dari sampah kota yang dikelola pengembang,” paparnya.
Rasyid berharap, kerja sama ini menguntungkan semua pihak, baik PLN, pengembang, maupun masyarakat.
Angin segar
Keberadaan PLTSa Benowo, membawa angin segar terhadap penanganan sampah di Kota Pahlawan ini. Mengingat, usia TPA Benowo diperkirakan hanya mampu menampung sampah dalam 2 – 3 tahun ke depan. Kondisi ini, sebagaimana disampaikan pemerhati masalah sampah, Bhima Aries Diyanto.
“Berbagai upaya akan dilakukan untuk menangani masalah ini. Baik dengan memberdayakan komunitas melalui Bank Sampah, menciptakan klaster pengelolaan, maupun penggunaan teknologi moderen,” katanya.
Bhima yakin, teknologi yang digunakan PLTSa Benowo, sebagai solusi mengurangi volume sampah. Di Eropa, teknologi ini diterapkan untuk penanganan sampah sekaligus upaya mencari energi terbarukan.
“Namun, PLTSa bukan teknologi yang high end terhadap pengolahan sampah. Karena, pengolahannya berangkat dari konsep penanganan sampah itu sendiri,” ucapnya.
Menurut Bhima, konsep pengolahan sampah yang dilakukan Pemkot Surabaya telah dijalankan dengan baik. Salah satunya adalah Bank Sampah yang melibatkan berbagai komunitas.
Aktivis Nol Sampah, Wawan Some, menuturkan keberadaan PLTSa mampu menyelesaikan persoalan sampah yang menumpuk. Menurutnya, sampah yang masuk setiap hari ke TPA Benowo mencapai 1.500 ton, sedangkan yang digunakan untuk listrik sebesar 1.000 ton.
“Ini akan menambah umur TPA Benowo. Padahal lahannya sulit diperluas. Kalau mau bikin TPA lagi pasti sulit,” katanya.
Namun yang perlu diperhatikan, kemudian dicek dan diuji, lanjut Wawan, adalah masalah emisi yang dihasilkan. Karena, sampah yang masuk TPA itu bermacam. Mulai plastic hingga logam, sehingga ada kemungkinan menghasilkan dioksin dan furan yang berbahaya, serta zat karsiogenik.
“Sesuai aturan, harus ada pengujian,” imbuhnya.
Sayangnya, kata Wawan, di Indonesia belum ada laboratorium yang bisa menguji hasil emisi pembakaran sampah. Selain itu, 10 – 25 persen dari pembakaran akan menjadi abu dan abunya masih dikategorikan sebagai limbah B3 [Bahan Berbahaya dan Beracun].
“Jadi, tidak bisa dibuang di TPA umumnya. Butuh TPA khusus. Kalau dimanfaatkan, harus ada prosedur yang ketat,” tandasnya.
* Anik Mukholatin Hasanah, penulis adalah jurnalis RRI Surabaya. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.