Mongabay.co.id

Kisah Sedih Harimau Batua yang Menghuni Taman Lembah Hijau

 

 

Seekor harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] tiba di Taman Konservasi Lembah Hijau, Lampung, pada 4 Juli 2019, sekitar pukul 04.00 WIB pagi. Harimau jantan tersebut menderita hebat akibat terkena jerat pemburu di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS].

Empat jari kaki kanan depannya sudah infeksi akut. Tindakan medis dilakukan Tim Medis BKSDA Bengkulu-Lampung, dengan mengamputasi jari-jari tersebut, sehari setelah kedatangannya.

Harimau ini diberi nama Kyai Batua. Kyai artinya kakak. Batua adalah akronim dari Batu Ampar, tempat ia ditemukan yaitu Desa Batu Ampar, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat, Lampung.

Satwa dilindungi ini didapati oleh Tim Survei Kamera Jebak Harimau Sumatera TNBBS dan Wildlife Conservation Society-Indonesia Program [WCS- IP] saat patroli pada Selasa, 2 Juli 2019, pukul 12.37 WIB.

 

Batua saat keluar kandangnya di Taman Konservasi Lembah Hijau, Minggu [16/7/2020]. Foto: Dok. SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung

 

Rasyid Ibransyah, Tim Medis Lembah Hijau mengatakan, Batua bukan pertama kali ini saja menjadi korban jerat. Menurutnya, berdasarkan pantauan kamera jebak milik WWF Indonesia, pada Mei 2019, ada bekas jerat sling di pinggang Batua. Kondisi ini menyebabkan pinggangnya mengecil, tidak berkembang.

“Kami belum melihat organ dalamnya karena belum pernah rontgen.”

Selain itu, ada tiga lubang di tubuh Batua, letaknya di pangkal ekor, pangkal leher, dan ketiak kaki kanan depan. “Kami belum bisa pastikan apakah itu peluru, karena tidak ada metal detector. Berdasarkan bentuknya, luka itu tidak bulat utuh,” ujarnya.

Rasyid mengatakan, hasil general check up dan berdasarkan semen sperma, kondisi Batua saat ini 100 persen sehat. Luka amputasinya sudah tertutup dan normal kembali.

Harimau usia 7 tahun tersebut, tinggal di kadang berukuran 30 x 30 meter. Kandang ini dibagi enam ruangan yang dipergunakan sesuai fungsinya. Ada kandang tidur, kandang jemur, kandang breeding, kandang beranak, kandang jepit, dan kandang pengobatan.

“Saat pertama kali keluar kandang, Batua berenang. Bahkan, coba mencakar pohon.”

M. Irwan Nasution, Komisaris Utama Lembah Hijau mengatakan, pihaknya berencana mendatangkan harimau sumatera betina dari Kebun Binatang Taru Tarug Solo. Tujuannya, untuk dikawinkan dengan Batua.

“Anak-anak Unila [Universitas Lampung] kan perlu penelitian tentang harimau. Bila ada yang lebih dekat tentunya lebih mudah. Jadi, manfaatnya untuk penelitian, edukasi, dan konservasi ada. Cita-cita kita semua pastinya menjaga kelestarian harimau,” kata Irwan, ditemui di Lembah Hijau, Kamis [13/8/2020].

 

Batua yang tetap liar meski dalam perawatan. Foto: Dok. SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung

 

Pelepasliaran butuh kajian

Pelepasliaran Batua ke habitatnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] memang butuh kajian. Hal ini disampaikan Hifzon Zawahiri, Kepala Seksi Konservasi Wilayah [SKW] III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung di ruangan kerjanya, Rabu [12/8/2020]. Kajian ini mencakup aspek pakan, gangguan masyarakat, kesiapan hutan, hingga uji organ tubuh.

Ia mengatakan, tidak ada gangguan kesehatan pada Batua, tetapi daya tarung dan kekuatannya menurun.

“Batua selama ini diberi makan ayam, kelinci, atau hewan yang bergerak.”

Jika Batua dilepasliarkan dalam kondisi daya tarung menurun, nanti akan menyulitkan dirinya. Sebab, harimau merupakan hewan teritorial, tidak ada dua jantan di wilayah yang sama. Apalagi jika ada betina, mereka akan bertarung, menunjukan kekuasaannya.

“Guna mencegah terjadinya pemburuan, BKSDA melakukan sosialisasi pencegahan perdagangan tubuh-tubuh satwa liar ke masyarakat sekitar kawasan,” ujarnya.

Kepala Balai Besar TNBBS, Ismanto menuturkan, pihaknya telah memasang ratusan kamera jebak/trap di TNBBS guna mencegah terjadinya perburuan liar. TNBBS juga melakukan patroli mandiri dan operasi pembebasan jerat yang dipasang masyarakat tidak bertanggung jawab. Keterangan tersebut disampaikan Ismanto dalam Coffee Morning Live Talkshow Global Tiger Day 2020 yang mengangkat tema “17 Agustus, Harimau, dan Kemitraan Konservasi” pada Selasa, [18/8/2020].

“Kita harap satwa dan manusia saling berbagi ruang. Kalau siang manusia yang beraktivitas, malam biar satwa yang bergerak agar tidak saling mengganggu,” paparnya.

 

Meski empat jari kaki kanan depannya diamputasi, Batua tetap buas. Foto: Dok. SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung

 

Prof. Dr. Gono Semiadi, Peneliti Mamalia dan Pengelolaan Satwa Liar Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] menuturkan, ketangguhan Batua membela diri dari serangan sesama karnivora perlu diperhatikan. Kemampuan Batua mencari mangsa juga menjadi aspek yang perlu dikaji.

“Yang terpenting adalah bagaimana perilakunya terhadap manusia setelah beberapa kali disakiti. Jadi, sehat secara fisik luar harus juga dilihat sehat secara kejiwaan, demi kemampuan hidupnya dan bersosial.”

Selain itu, menurut dia, rencana pengawinan Batua juga harus diteliti lebih jauh. Sebab, belum diketahui dampak kecacatannya apakah berpengaruh pada potensi reproduksi.

“Secara teori, cenderung lebih meningkat untuk dilakukan kawin terkontrol. Tetapi, tidak ada yang tahu pasti bila dilepaskan apakah akan banyak terjadi perkawinan,” ujarnya.

 

Batua saat ditemukan kena jerat kawat pemburu di kawasan hutan TNBBS, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, 2 Juli 2019. Foto: Dok. BKSDA Bengkulu-Lampung/WCS IP

 

Konflik manusia dengan harimau

Irham, Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung mengatakan, konflik manusia dengan harimau Sumatera terjadi juga di Kecamatan Pematang Sawah, Tanggamus, pada April dan Mei lalu.

Harimau keluar kawasan mencari mangsa yang kemudian memakan ternak warga. BKSDA bersama Balai TNBBS dan mitra bekerja sama untuk mengatasi konflik tersebut. “Habitat yang terganggu memaksa harimau keluar kawasan mencari makan,” ujarnya.

Dwi N. Adhiasto, Regional Wildlife Trade Specialist, Wildlife Crime Unit [WCU] mengatakan, perburuan terjadi di TNBBS karena di wilayah ini terdapat populasi harimau.

Harimau merupakan komoditas yang memiliki nilai jual. Bagian tubuh yang diperjualbelikan di pasar gelap adalah kulit, taring, kumis, lutut, dan kepala. Kulit biasanya dijadikan karpet yang dipasang di dinding. Kumis dimasukkan dompet dengan kepercayaan bisa menambah wibawa seseorang. Sementara kepala, kerap dijadikan reog.

Pemburu sering menggunakan jerat besi, kabel kopling, dan nilon, untuk mendapatkan harimau. Sejauh ini, jerat dapat dibeli dengan harga murah dan tidak ada peraturan yang mengatur penggunaannya. Orang yang memasang juga sulit dilacak.

“Tali nilon itu bisa mengenai semua satwa. Tapi, tergantung teknik dan jalur yang dilalui. Pemburu harimau pasti akan mencari jalur yang ada bekas jejak kakinya.”

Pos pengecekan keluar masuk kendaraan di wilayah TNBBS sangat diperlukan. Tujuannya, untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa daerah tersebut diawasi.

“Misalnya warga dari mana, datang jam berapa, tulis, meskipun di TNBBS ada desa-desa. Razia rutin juga perlu dilakukan, ini untuk mencegah kejahatan dan membuat mereka yang berniat buruk takut,” jelasnya.

Terkait fenomena harimau memakan ternak warga, Dwi mengatakan, warga yang tinggal di wilayah konflik harus waspada. Sebab, induk harimau kerap menyerang jika keberadaan anaknya terancam. “Program desain kandang ternak yang aman dari jangkauan harimau perlu dilakukan. Agar, konflik manusia dengan harimau berkurang.”

Mengenai kehadiran pemburu saat terjadi konflik, Dwi menuturkan, patroli memang harus dilakukan. Perangkat desa bisa ikut memantau dengan cara memberikan laporan jika ada orang yang mencurigakan.

“Laporan dari warga harus segera ditindaklanjuti petugas. Kalau tidak ada respon dari lembaga terkait, harimau bisa dibunuh sendiri pemburu tanpa sepengetahuan masyarakat luas,” ucapnya.

 

Evakuasi Batua yang kaki kanan depannya kena jerat pemburu. Foto: Dok. BKSDA Bengkulu-Lampung/WCS IP

 

Harimau penjaga rantai ekosistem

Pentingnya harimau sumatera sebagai penjaga ekosistem hutan kembali dijelaskan Gono Semiadi. Dia mengatakan karnivora merupakan top management dalam rantai ekosistem. Harimau, melalui daya jelajahnya yang luas dapat mengontrol populasi mangsanya. Suatu rantai ekosistem yang tidak diganggu aktivitas manusia, membuat kondisi keseimbangan rantai ke bawahnya stabil.

“Bila terlalu banyak satwa pemakan rumput atau dedaunan seperti rusa dan babi, maka akan banyak wilayah hutan yang proses suksesinya terganggu. Tumbuhan mudah habis dimakan satwa tersebut. Bila tumbuhan terganggu, dampaknya terlihat pada kelompok serangga atau burung. Berkurangnya pepohonan dan rantai energi menyebabkan keseimbangan terganggu,” jelasnya, Selasa [18/8/2020].

Menurut Gono, peran karnivora kini telah banyak diambil alih manusia. Salah satunya, dengan perburuan satwa liar. Selain itu, habitat satwa yang berkurang karena pembukaan lahan mengakibatkan peran masing-masing satwa dalam suatu ekosistem dapat dikatakan “hilang.”

“Punahnya satu jenis satwa di muka Bumi adalah kegagalan manusia hidup berdampingan dengan makhluk hidup. Fungsi ekologis satwa yang hilang karena manusia, dapat dikatakan sebagai kezaliman manusia terhadap alam,” tuturnya.

Dia menuturkan, agar harimau sumatera tidak punah seperti harimau bali dan jawa, maka kondisi keaslian habitat harus dijaga. Namun, hal ini juga terbilang susah, sebab kondisi habitatnya di semua bagian sudah terganggu. Oleh karena itu, pengembangan wilayah konservasi merupakan satu-satunya harapan agar kehidupan hariamu sumatera terjamin sepanjang masa.

Perilaku manusia yang memanfaatkan alam untuk dirinya sendiri juga harus diubah. Kita semua harus berorientasi untuk kehidupan manusia di masa mendatang.

“Sayangnya idealisme seperti ini sangat sulit dijalankan. Ketika kebutuhan perut belum bisa memberikan alternatif lain selain dari apa yang terjadi maka berbagai bentuk kerusakan seperti pembalakan dan perambahan hutan hingga perburuan satwa liar tidak akan berhenti,” pungkasnya.

 

* Mitha Setiani Asih, jurnalis Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa Teknokra [UKPM Teknokra], Universitas Lampung. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version