Mongabay.co.id

Memaknai Semangat Pancasila dalam Pemulihan Citarum

Presiden Jokowi ditemani Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya menanam pohon di Kawasan Hulu Citarum, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Kamis (22/2/2018). Presiden menargetkan revitalisasi dan rehabilitasi Sungai Citarum secara bertahap selama 7 tahun. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Citarum yang merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat dan bersejarah, masih saja diselimuti masalah yang tak terselesaikan. Sungai yang melintasi berbagai wilayah penting ini bahkan dinobatkan sebagai sungai terkotor di dunia [2007]. Berbagai program dan kebijakan telah dilakukan pemerintah pusat melalui beberapa kementerian, pemerintah daerah, LSM, dan anggota masyarakat. Namun, persoalan di Citarum tak jua tuntas. Triliunan Rupiah dana dari pemerintah dan non-pemerintah telah dikeluarkan untuk menjalankan berbagai program tersebut.

Panjang Sungai Citarum sekitar 270 kilometer, berhulu di Gunung Wayang dan bermuara di Kabupaten Karawang. Jutaan orang sangat bergantung dari aliran sungainya: petani, masyarakat yang tinggal di pedesaan dan perkotaan, bahkan pelaku industri. Ribuan industri besar, seperti tekstil dan perkebunan, memiliki rantai kehidupan dengan Citarum. Tak heran, wajah Citarum menjadi sangat kompleks karena dihiasi sejumlah komunitas yang juga variatif.

Citarum adalah aset vital. Citarum adalah potensi sumber daya alam, peradaban, sejarah, dan kehidupan itu sendiri. Lebih jauh, Citarum adalah kedaulatan, mata rantai utama yang menentukan kehidupan manusia di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat.

Rusaknya Citarum adalah rusaknya peradaban. Hancurnya Citarum adalah rongrongan terhadap kedaulatan, karena harga diri sebuah bangsa akan tampak dari bagaimana tegaknya kepala dalam menjaga aset yang dimiliki.

Menjaga aset, tentunya terhubung dengan seluruh komponen yang ada di sekitarnya. Jika Citarum tak dianggap memberi manfaat, maka masyarakat akan terkikis dari sejarahnya sendiri. Mereka tidak lagi membumi, tidak lagi mencintai apa yang dimilikinya, sehingga tercerabut dari akarnya sebagai masyarakat yang berdaulat atas kekayaan sumber daya alam.

 

Presiden Jokowi didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, saat menanam pohon di kawasan hulu Citarum, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis [22/2/2018] lalu. Presiden menargetkan revitalisasi dan rehabilitasi Sungai Citarum secara bertahap 7 tahun kedepan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Faktor manusia

Hasil penelusuran menunjukkan, rusaknya Citarum bukan karena faktor alam, tapi karena perilaku manusia itu sendiri. Pertama, oknum anggota masyarakat yang jumlahnya tidak sedikit. Dengan berbagai alasan mereka menempatkan Citarum sebagai tempat pembuangan sampah rumah tangga hingga limbah. Alasannya, bisa karena faktor ekonomi, lebih praktis, malas, dan sebagainya. Kondisi ini lebih kepada kebiasaan buruk yang kemudian dianggap hal biasa.

Kedua, oknum pelaku industri besar maupun kecil yang jumlahnya ribuan di bantaran Citarum. Industri terbanyak adalah tekstil dan pembuangan limbah tercepat adalah ke Citarum. Hingga kini, pelaku usaha padat modal yang harusnya memiliki kemampuan membuat instalasi pengolahan limbah, tidak melakukannya. Hukum seakan tidak bisa berbuat maksimal.

Untuk wilayah perkotaan yang dilalui Citarum, pelaku industri ini berhubungan pula dengan aktivitas masyarakat perkotaan, terutama pelaku UKM. Citarum pun hampir tidak terlihat karena terus disesaki padatnya perkembangan kota.

Ketiga, aktivitas kebijakan pemerintah sendiri yang belum maksimal menjaga Citarum. Meski program selesai, teranggarkan, terlaporkan, dan kegiatan dianggap selesai namun tidak terlihat partisipatif.

Sebagai aliran air, Citarum seharusnya mendatangkan berkah sekaligus sarana yang menyejahterakan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Manusia dan sungai selayaknya menjadi dua unsur saling memberi dan menjaga. Pada Citarum, melekat berbagai ekosistem yang saling terhubung dan bersimbiosis mutualisme. Di Citarum juga melekat keseimbangan ekosistem yang akan menimbulkan masalah jika diganggu.

Ketika kondisi Citarum memburuk, akan timbul bencana di masyarakat. Banjir, polusi, keracunan, gangguan kesehatan [penyakit], dan sebagainya. Hal yang menunjukkan, ada yang salah dalam pengelolaan Citraum.

 

Warga berswafoto di Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sebagai hulu Sungai Citarum, tempat ini juga dijadikan kawasan wisata. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Semangat Pancasila

Dalam konstitusi negara kita, sangat jelas disebutkan bahwa bumi air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Begitu juga Pancasila, yang dalam setiap pasalnya sangat kental menekankan keharusan adanya hubungan serasi antara manusia dengan alam. Sasaran akhirnya adalah kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejahtera dan makmur hanya bisa dicapai jika manusia dengan alam memiliki hubungan sinergi. Pancasila sudah menggarisbawahi ini. Maka, ketika Citarum dibuat merana, sengaja dirusak, dan dikotori, tentu saja kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai. Pancasila pun tidak akan terlihat atau mungkin kabur gambarnya di Citarum. Dalam kondisi itu, Pancasila tak akan ditemukan di Citarum.

Citarum butuh jalan keluar, untuk mengatasi berbagai lilitan persoalan. Harus ditelusuri dari akar masalahnya. Dikarenakan penyebabnya manusia, solusinya juga harus menyasar manusia-manusia yang merusak Citarum.

Agar manusia bisa bersikap baik terhadap Citarum, mereka harus merasakan manfaat Citarum juga. “Menakut-nakuti” dengan mengatakan bahwa banjir terjadi karena Citarum rusak, tidak akan menyelesaikan masalah.

 

Kondisi Sungai Citarum di Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Foto: Dony Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Cara pandang masyarakat harus diubah. Pengelolaan Citarum harus memberikan nilai ekonomis, sosial, maupun aspek lain bagi mereka. Nilai kemanfaatan ini yang nantinya bisa menularkan pemahaman ke banyak pihak.

Pendekatan teknologi terapan perlu dikedepankan. Air Citarum yang kotor harus berganti menjadi air yang bersih, bisa dikonsumsi. Bagaimana caranya? Teknologi dan mesin yang mampu mengolah limbah menjadi air siap minum harus dikedepankan. Melalui teknologi juga, bantaran Citarum yang selama ini dominan sampah dan tak terawat harus ditata. Dimaksimalkan menjadi kolam-kolam ikan dalam keramba ataupun kolam permanen, sebagai salah satu solusinya.

Sempadan sungai yang selama ini tidak dimanfaatkan karena polusi dan limbah pabrik, yang membuat tanah menjadi tidak subur, harus diatasi juga dengan teknologi. Langkah konkrit harus dijalankan. Semua lokasi sangat potensial disuburkan karena di sana merupakan lahan untuk menanam sayuran, palawija, pembibitan kopi, buah-buahan, kayu keras, dan sebagainya.

Wilayah Kabupaten Bandung, khususnya Cimenyan, Kertasari, Cimahi, Ciampel, Karawang, dan beberapa daerah lain sepanjang aliran Citarum, adalah contoh aset penting yang harus dikelola dengan baik.

 

Kentang, sebagai hasil pertanian masyarakat di wilayah aliran Sungai Citarum. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tentu saja, berbagai persoalan yang ada di Citarum tidak bisa diselesaikan seluruhnya dalam waktu singkat. Meski begitu, Kodam III Siliwangi akan terus berupaya, tahap demi tahap, mengembalikan ekosistem Citarum agar pulih sebagaimana mestinya.

Saat ini, banyak aktivitas Kodam III Siliwangi yang dilakukan di beberapa sektor Citarum. Semua ini sebagai trigger, pemicu masyarakat untuk bergerak bersama.

Citarum adalah bagian integral tubuh masyarakat yang ada di alirannya. Ketika ekonomi masyarakat menggeliat dan ketika keinginan masyarakat untuk memulihkan Citarum meningkat, ketika itu pula semangat Pancasila hadir.

Semangat yang dilandasi kreativitas, mewujudkan manusia yang beradab dan menebar kemakmuran di sepanjang Sungai Citarum.

 

* Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo, Kasdam III Siliwangi. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version