Mongabay.co.id

Merawat Gawai, Menjaga Tradisi Pernikahan Talang Mamak

Rumah masyarakat Kebatinan Ampang Delapan. Foto: Lusia Arumingtyas

 

 

 

 

Ledo baru saja selesai dirias, alis dibentuk dengan pisau cukur. Gadis Talang Mamak ini akan mengikuti prosesi mandi balimau dalam gawai, upacara pernikahan Talang Mamak.

Ledo berjalan beriringan dengan mempelai pengantin laki-lakinya, Mindar. Mereka diikuti keluarga besar berjalan diarak menuju anak Sungai Batang Gansal di Dusun Bengayauan, Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu.

Baca juga: Beginilah Nasib Masyarakat Adat Talang Mamak [1]

Dusun Bengayauan terletak dalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Perlu perjalanan dua jam berkendara roda dua dan rakit dari Desa Rantau Langsat menuju Bengayauan. Dusun ini terletak di lembah antara bukit-bukit berjejer di sekelilinginya.

Deru perahu bermotor terdengar melaju dari Sungai Batang Gansal ke pemukimannya. Ada semblilan keluarga Talang Mamak bermukim di Bengayauan.

Rumah-rumah kayu panggung menyebar melingkar dan menyisakan lapangan tempat anak-anak bermain bola kaki dan ibu-ibu menjemur pinang. Tanah berpasir hingga tak ada debu berterbangan saat para bocah berlarian di lapangan.

Saya berjalan pelan menuju anak Sungai Batang Gansal. Saya mencari tempat menyaksikan lebih dekat prosesi mandi balimau yang akan dilakukan Lode dan Mindar.

Sebelum proses mandi balimau, Ledo dan Mindar sudah mengikuti beberapa rangkaian prosesi seperti, antar terima yang dilakukan kedua keluarga besar mempelai bertepatan dengan penentuan pelaksanaan gawai.

Baca juga: Orang Talang Mamak, Bertahan Hidup di Hutan Tersisa

Ledo berasal dari Dusun Bengayauan, dan Mindar dari Desa Siambul. Meski sama berasal dari Suku Talang Mamak, namun sedikit berbeda dalam rentetan gawai.

Sehari sebelum acara puncak pernikahan Talang Mamak, keluarga Ledo dan Mindar kunjungan ke rumah kepala desa dalam acara antar terima.

Antar terima berupa pemberian cincin perak dari keluarga laki-laki kepada perempuan. Cincin diletakkan di tempat sirih dan tertutup sapu tangan. Selama prosesi, laki-laki paruh baya duduk diam dengan muka penuh heran. Menatap lekat semua rangkaian acara berlangsung.

Sahut-sahutan pantun dan ucap antara Kepala Desa Rantau Langsat dan orangtua pengantin laki-laki terdengar memenuhi ruangan tamu rumah kades.

Laki-laki itu Batin Siambul, Asul, perwakilan pihak Mindar. Dia bilang, di tempatnya antar terima tidak dilakukan di rumah kepala desa.

“Semua urusan adat, pernikahan, kematian, melahirkan dan acara adat lain hanya batin, tua adat dan mangku yang menyelesaikan. Kepala desa urusan pemerintahan saja,”katanya.

Asul segera bergegas saat acara antar terima selesai. Dia bersama anaknya Usman mengantarkan Mindar dan keluarga ke Bangayauan .

Ledo mencelupkan kaki. Air mengalir deras setinggi mata kaki. Ledo ditemani ibunya. Dia mengenakan pakaian lengkap dalam prosesi mandi balimau. Di sebelahnya. Mindar juga melakukan hal sama. Mereka membasuh muka, dan menguyur air ke seluruh tubuh dengan sela-sela jari.

Ledo jongkok, ibunya membasahi rambut dan meneteskan air ke arah rambut Ledo.

“Agar patuh pada orangtua dan tak lupa mereka. Itu maksudnya,” kata Sobo.

Sobo, tokoh Talang Mamak yang dihormati di Dusun Begayauan. Sobo sudah ada di Begayauan sejak 1997. Sebelumnya, Sobo tinggal di Datai.

Begayauan merupakan tempat ladang yang turun menurun dari nenek dan orang tuanya.

Pada 2013, Sobo mulai mengurus KTP dan akte kelahiran anak-anaknya untuk sekolah. Sobo mesti memilih agama yang ‘legal’ di negeri ini agar lolos dalam administrasi kependudukan. Dia pilih Katolik.

Sobo mengaku kalau tidak beragama akan susah mengurus administrasi kependudukan pun dengan anak-anaknya.

“Saya memilih Katolik. Banyak yang mau mengislamkan kami. Saya harus beragama supaya bisa sekolahkan anak-anak. Dari penghasilan, dari ketenangan, tidak ada bedanya ketika saya Katolik ataupun Langkah Lama (agama atau kepercayaan asli Suku Talang Mamak-red),” katanya.

Sobo memiliki tiga orang anak, dua sudah tidak lagi bersekolah. Mereka tidak menamatkan pendidikan SD karena bosan dan malu.

“Sudah besar begini kelas 5 SD. Saya bosan dan malu juga karena sudah sebesar ini tidak tamat-tamat,”kata Epi, anak kedua Sobo.

Kini, Sobo berharap anak perempuan terakhirnya bisa bersekolah tinggi dan membanggakan.

Cerita serupa dialami Manang . Orang Talang Mamak di Desa Siambul. Dia menikah sejak 1997 dalam prosesi gawai secara agama Langkah Lama. Setelah 20 tahun menikah, pada 2017 akhirnya menikah kembali secara Katolik agar diakui negara. “Saya dan istri menikah kembali agar dapat buku nikah. Anak saya mau sekolah. Itu persyaratannya.”

 

Gawai. Prosesi penyerahan  keris dari perwakilan mempelai laki-laki ke pegawai, orang yang menikahkan dalam ritual gawai Talang Mamak. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Asul, Batin Siambul, saya ditemui di rumahnya, setelah Gawai berakhir. Batin adalah sebutan bagi tokoh adat Talang Mamak. Batin memiliki derajat tertinggi dalam adat sesudah patih. Dia masih terlihat letih, semalam di Gawai tulang kakinya terasa ngilu dan sakit. Asul tak peduli itu, dia selalu bersemangat kalau diajak berdiskusi adat Orang Talang Mamak.

Saya duduk di depan Batin Asul. Mencium asap kemenyan dari rokok yang dia hisap. Desa Siambulm Kecamatan Batang Gansal ada 300 keluarga Talang Mamak dan 200 keluarga orang luar daerah lain.

Semua Orang Talang Mamak di Siambul beragama Katolik. Ada beberapa keluarga Islam, memilih pindah ke tempat lain. Di Kecamatan Batang Gansal, Orang Talang Mamak, terbagi-bagi ke beberapa desa berdasarkan agama yang dianut.

“Beda agama, beda pemakaian. Akhirnya, yang sudah Islam pindah,”kata Asul.

Katolik disebut Asul tidak melarang ajaran dan aturan dalam agama Langkah Lama. “Adat jangan diubah, pusaka jangan dianjak. Teguh diadat, Rimbun pemakaian,”katanya.

Asul mengaku tidak menikah ulang selama dia beragama Katolik. Dia berpikir, kalau menikah ulang berarti menganggap pernikahan Talang Mamak, tidak sah.

“Tidak boleh itu, jika menikah di gereja lagi. Artinya, nikah dengan Langkah Lama tidak diakui.”

Asul tidak tahu menahu kalau mendapatkan surat nikah dari gereja harus menikah ulang. Dia kaget ketika beberapa anggotanya mengakui itu.

“Tidak, harusnya tidak menikah lagi. Cukup minta suat saja,saya akan coba bicara nanti dengan pastor.“

 

***

Acara utama pengukuhan pernikahan dilakukan oleh pegawai. Pegawai adalah orang yangmenikahkan dan bertanggung jawab atas acara gawai. Pegawai menerima keris dan piring dua lusin di atas bejana sirih. Keris ini ditancapkan ke tiang utama rumah Lode.

Mulut berkomat-kamit melafalkan sesuatu. Saya tidak begitu mendengar jelas ucapannya. Setelah ritual inti, semacam akad dilakukan, penanda Ledo dan Mandar sah menjadi sepasang suami istri.

Gawai, ritual pernikahan Orang Talang Mamak, rata-rata terbagi dua, pertama, gawai gedang atau gelanggang. Biasa acara ini bisa menghabiskan tiga malam dengan prosesi makan bersama yang jauh lebih sering.

Kalau keluarganya bukan dari kalangan mampu akan mengadakan gawai semalam. Gawai ini dilakukan Ledo dan Mandar.

 

Gerbang masuk Komunitas Adat Talang Mamak di Riau. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Ruang hidup hilang,  identitas pun nyaris hilang

Mobil yang saya tumpangi melaju cepat. Sepanjang mata memandang terhampar perkebunan sawit.

“Ini PT Mega Nusa Inti Sawit , Sinar Mas group,” kata Gilung, Ketua AMAN Indragiri Hulu,Riau.

Gilung bilang kalau perusahaan sawit ini bermitra dengan Talang Mamak. Ada 29 Kebatinan Talang Mamak yang mengalami dampak kehilangan ruang hidup karena alih fungsi hutan.

Laju mobil berhenti, tepat di depan rumah kayu berhalaman luas. Seorang lelaki duduk bersandar pada sebuah tiang utama tepat di tengah rumah. Dia menjawab salam dan mempersilakan masuk.

Dia menghisap dalam-dalam rokok kemenyan. Bau khas memenuhi ruang. Batin Irasan, merupakan batin senior di Desa Talang Parit, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Inhu.

Batin Irasan bercerita tentang gawai, ada beberapa tahapan pernikahan di Orang Talang Mamak. Mulai perjanjian antara pihak laki-laki dan perempuan. Hari kelima dari perjanjian ini, laki-laki diantarkan ke perempuan. Mereka diberi waktu maksimal 100 hari harus melangsungkan gawai kalau sudah beremu keluarga itu.

Ada denda adat kalau lewat 100 hari gawai tak berlangsung.

“Kami tak pakai KUA, nikah kami secara adat dan Langkah Lama,” katanya.

Untuk memperjuangkan tradisi gawai ini bukanlah hal mudah. Batin Irasan bahkan nekat memprotes para pemuka agama di Kantor Urusan Agama.

“Kalau dinilai nikah kami tidak sah, lalu bagiamana dengan Adam dan Hawa dulunya? Siapa yang mendengar?”

Perjuangan Orang Talang Mamak mendapatkan pengakuan gawai sebagai pernikahan sah secara negara masih sulit.

Kabar baik datang pada 2018. Batin atau kepala adat sudah boleh mengeluarkan surat bukti nikah.

“Surat ini bisa dibawa untuk membuat akte, kartu keluarga dan buat perlengkapan ke bank,” kata Gilung.

Hanya dua kecamatan yang bisa mengakui gawai dan surat keterangan batin berlaku untuk melengkapi administrasi kependudukan, yaitu, Rakit Kulim dan Talang Perigi.

Meski ber KTP dengan agama Islam, Gilung tidak menikah dua kali untuk mendapatkan pengakuan negara. Perjuangan mereka masih panjang, tidak hanya hak atas tanah juga hak atas kepercayaan, adat dan agama.

Menariknya di Talang Mamak , secara adat dikenal dengan sehidup semati. Ada akad yang dilafalkan, ada perjanjian antara kedua pengantin untuk saling setia.

“Sebelum mati bini pertama, belum boleh menikah lgi,” kata Irasan.

Dalam antar terima juga dibedakan jumlah keris yang diberikan dari pihak laki-laki ke perempuan. Kalau jabatan batin ataupun anak batin wajib memberikan dua keris yang tidak berulir alias lurus ke perempuan.

Ada juga beberapa kriteria yang tidak boleh kawin karena sedarah dan ada aliran darah secara langsung.

“Jika ada yang sumbang, salah dalam menikah maka akan diadakan terlebih dahulu upacara di hutan yang memiliki pohon kayu berukuran besar. Jadi, kami bukan menyembah kayu ya, kami punya agama Langkah Lama.”

Sumbang, atau yang dilarang menikah secara adat antara lain, satu buyut, atau masih ada keturunan. Yang berhubungan darah langsung seperti anak dan orangtua, saudara sekandung. Ini tidak boleh nikah.

Selain gawai nikah, gawai rujuk pun ada. Untuk masa, biasa tergantung kondisi saat gawai nikah pertama. Kalau pihak pengantin gawai selama tiga malam, maka gawai rujuk pun tiga malam.

Saat ini, identitas Orang Talang Mamak melalui pemudaran makna gawai karena kehadiran agama lain juga jadi persoalan baru.

Belum lagi ruang hidup Orang Talang Mamak, terus menyempit. Dari data tutupan hutan Walhi Riau, Kabupaten Indragiri Hulu kehilangan 20% tutupan hutan selama 2013-2017. Kehilangan tutupan hutan seluas 2.000 hektar karena alih fungsi luntuk perkebunan sawit, perkebunan kayu dan pemukiman.

Gilung bilang selama 2008, Orang Talang Mamak sudah berupaya mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat.

Sayangnya, sampai saat ini tidak juga kunjung terakomodir DPRD dan Pemerintah Inhu.

“Kita sudah memetakan wilayah adat 16 kebatinan, delapan masih proses, lima lagi belum dilakukan. Tugas ini tidak mudah. Kita juga mencari data sekaligus penguatan dalam ritual adat maupun agama Langkah Lama.”

Di Bengayauan, Ledo dan Mandar, makan dalam satu tempayan berisi air nira, gula merah, nasi, sayur-sayuran dan daging. Ini ritual terkahir dalam prosesi gawai.

“Jika tidak ada kejelasan tentang status Orang Talang Mamak, mungkin gawai dan Langkah Lama menjadi cerita, tidak hanya tentang hutan-hutan kami,” kata Batin Irasan.

Saat saya meminta tanggapan dari Pemerintah Indragiri Hulu terkait persoalan ini, tak ada yang bisa dihubungi.

Perjuangan Orang Talang Mamak, masih panjang guna mendapatkan pengakuan identitas, agama, adat serta ruang hidup mereka.

 

Serah terima antar yang dilakukan keluarga mempelai laki-laki. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Sjamsul Hadi, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME. dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, Langkah Lama, merupakan kepercayaan di Talang Mamak belum pernah didaftar ke mereka.

“Kita akan memproses jika ada ada pengajuan dari komunitas. Itu tidak menunggu lama, langsung bisa proses asalkan tidak bersinggungan dengan enam agama yang sudah ada.”

Terkait gawai , ritual pernikahan secara kepercayaan di Talang Mamak, Sjamsul bilang, seharusnya pemerintah setempat bisa langsung menerbitkan akta nikah di catatan sipil dengan surat dari organisasi atau ketua adat.

Dia bilang, tak perlu harus menikah lagi. “Di Merabu, salah satunya sudah bisa begitu.Ini sah secara negara.”

Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud, telah menginventarisasi organisasi penghayat kepercayaan sebanyak 190 organisasi dengan 1.000 cabang organisasi tersebar di wilayah kabupaten dan kota.

Beberapa manfaat dan hak yang dijaminkan kalau sudah terdaftar, anak-anak dari komunitas bisa mendapatkan pelajaran agama atau kepercayaan berdasarkan kepercayaan yang bersifat universal.

 

***

Sekelompok orang datang silih berganti di rumah Sobo. Membawa kantong plastik berisi beras dan garam. Ada juga membawa amplop dan menyerahkan ke Sobo. Sobo sibuk mencatat satu persatu bingkisan dan nama yang membawa.

“Perkumpulan ini semacam sumbangan untuk ritual gawai pada pengantin, nanti dicatat dan boleh Islam ataupun Katolik yang jadi anggota. Ini salah satu wadah kami Talang Mamak,” katanya.

Sobo merupakan Ketua Perkumpulan Orang Talang Mamak. Ada 120 an anggota. Sobo bilang tak peduli agama apapun anutan mereka, semua tetap Orang Talang Mamak.

“Saya berharap, kami tetap menikah dengan gawai, itu berlangsung sampai sekarang tidak peduli agama di KTP apa. Ini identitas sebagai Talang Mamak,”katanya.

 

Keterangan foto utama: Orang Talang Mamak, komunitas adat yang ruang hidup nyaris hilang karena berganti bermacam hal, dari kebun sawit, kebun kayu dan lain-lain. Mereka berupaya mempertahankan adat istiadat tersisa, seperi gawai, ritual pernikahan Talang Mamak. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version