Mongabay.co.id

Cerita Penjaga Lingkungan Pulau Tulang

DCIM100MEDIADJI_0437.JPG

 

 

 

 

Sore itu medio Agustus lalu, beberapa perahu bermesin ketinting mendekat ke Pulau Tulang, di depan Kampung Dufa-Dufa, Desa Gamsungi, Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara.

“Setiap sore, orang-orang dari kota selalu berdatangan. Ada yang membawa anak-anak untuk sekadar mandi pantai dan berswafoto dengan latar pulau ini,” kata Fahri, Pengelola Pulau Tulang.

Fahri, berusia 24 tahun itu lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malut. Dia sudah 7 bulan tinggal di pulau itu, sejak membuat rumah panggung, pada Februari 2020. Bahan rumah panggung bertingkat dua itu, dari sampah botol plastik.

“Ibu bapak pernah minta saya kerja sesuai dengan status sarjana saya. Namun saya memilih mengelola pulau kecil ini. Saya sudah tinggal di sini. Tidur di sini. Mengumpul sampah plastik setiap hari, lalu membangun pulau ini,” kata Ari, sapaan Fahri.

Untuk sampai ke pulau dengan daratan hanya sekitar 80 meter di sebelah utara dan 20 meter di sebelah timur dan barat, tak perlu waktu lama. Tak sampai lima menit, menumpangi perahu ketinting. Setiap penumpang hanya bayar Rp5.000 untuk sekali jalan.

Awal Februari 2020, Ari dan kakanya, Fami Lolahi mulai membangun Pulau itu. Mereka memanggil beberapa teman yang juga aktif mengelola Rumah Baca Sepijar di Komplek Dufa-Dufa, Tobelo. Tempat mereka tinggal, tak jauh dari Pulau Tulang.

Ari cerita, sejak dahulu, Kompleks Dufa-Dufa menjadi tempat bertemunya masyarakat antar pulau. Mereka saling memberi hasil panen. Bahkan, anak-anak dari Pulau Kumo, Kakara, mempunyai orangtua angkat di Dufa-Dufa, karena bersekolah di Kota Tobelo.

Dufa-dufa begitu heterogen. “Orang-orang dari pulau menjalin hubungan kekeluargaan di sini. Ada yang menjadikan anak dan orangtua angkat. Hubungan seperti ini sudah sejak lama. Dari zaman orang tua kita,” kata Ari.

Dia menyatakan kekhawatiran kalau pembangunan atau reklamasi terjadi di Dufa-Dufa, akan menghilangkan rekam jejak kehidupan orang laut di sana.

 

 

Semangat mereka membangun destinasi wisata di Pulau Tulang agar pemerintah daerah melihat, ada potensi kelautan bisa terkelola baik. Tak harus reklamasi.

Badan Pusat Stastistik (BPS) 2020 menyebutkan, luas wilayah Halmahera Utara 3.891,62 km2. Halmahera Utara merupakan wilayah kepulauan di kelilingi lautan dan sebagian besar, 78% merupakan lautan.

Pada 2016, BPS mencatat, kabupaten di timur Indonesia, yang berbatasan dengan Samudera Pasifik ini, memiliki 216 pulau, dengan luas keseluruhan mencapai 22.507,32 km2 (22%) dan lautan 17.555,71 km2 (78%).

Wilayah ini dipengaruhi iklim laut tropis. Sepanjang 2019, rata-rata suhu udara terendah di Halmahera Utara ada Juli yakni 25,7o C, rata-rata tertinggi ada pada Mei 27,3o C. Kelembaban udara di Halmahera Utara selama 2019 berkisar antara 83-91 persen

Dari Dufa-DUfa Tobelo, selain Pulau Tulang, beberapa pulau bisa diakses dengan mudah seperti pulau Pulau Pawole, Rarangane, Pulau Tulang, Tolonuo, Kakara, bahkan akses ke Kabupaten Pulau Morotai. Pulau dengan sejarah Perang Dunia II.

Melihat potensi itu, Ari, yang semasa kuliah, aktif di organisasi Walhi Malut ini bertekat membangun wisata pulau, yang tak sekadar jadi tempat melepas lelah. Di lantai dua rumah panggung, Ari mempersiapkan satu ruang memajang buku bacaan—jadikan rumah baca.

Ari juga juga memberikan edukasi pada pengunjung tentang bahaya sampah plastik. “Saya buka internet. Cari edukasi tentang bahaya sampah. Di situ, saya pun belajar,” katanya.

Ari membuat sistem untuk mahasiswa dan pelajar kalau berkunjung ke Pulau Tulang, cukup membayar karcis masuk menggunakan sampah botol plastik.

 

Fahri Lolahi, pengelola Pulau Tulang. Foto: Farus Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Dari karcis sampah botol plastik, Ari dan teman-teman membangun dasar bangunan dengan 5.024 botol plastik dicampur semen. Bangunan rumah bertingkat dua itu juga berbahan kayu beratapkan seng.

Di lantai dua, selain ada ruang membaca buku, Ari juga menyediakan satu kamar untuk pengunjung yang akan menginap.

Sebelum Ari tinggal di pulau kecil itu, dulu, tak sedikit orang mencari ikan dan habitat laut lain dengan cara ilegal. Dampaknya, banyak terumbu karang rusak. Meski begitu, masih ada endemik hidup di situ, seperti hiu berjalan atau walking shark.

“Kalau kita mancing ikan, sering dapat hiu berjalan. Kami lepas. Hiu jenis ini bisa kita temu di sebelah kiri pulau ini, hingga ke pulau tetangga, Pulau Kumo.”

Beruntung bisa menginap di Pulau Tulang. Saat itu, malam tiba. Gerimis turun. Ari pergi ke dapur menyiapkan kopi panas untuk saya dan Ipang, sahabat saya yang mengelola media komunitas Jelajah Maluku Utara.

Malam itu, Ari bercerita banyak tentang sejarah pulau ini. Katanya, dahulu, pulau ini jadi tempat komunitas Canga—yang disebut bajak laut dari Tobelo, ketika ada masalah di daratan besar di Tobelo, mereka menyelesaikan masalah itu di pulau ini dengan cara bertarung fisik, berhadap-hadapan menggunakan parang. “Barang siapa yang menang, yang akan selamat dan pulang ke daratan besar di sana,” cerita Ari.

Hingga pada masa kolonialime Belanda, Pulau Tulang pun menjadi tempat mengeksekusi orang-orang Canga yang membangkang pada pemerintah kolonial. Pulau inipun bernama Pulau Tulang karena memang banyak tulang belulang itu.

“Itu sebabnya banyak tulang manusia yang berserahkan di pulau ini,” katanya.

Hingga tahun 80an, kakek buyut Ari, pun membersihkan kerangka manusia di Pulau itu. “Kakek saya membawa tulang-tulang itu di sekitar pesisir daratan besar. Dia membaca mantra berupa doa. Orang di sini bilang kasih sarat. Agar roh-roh pemilik tulang-belulang itu tidak bergentayangan,” kata Ari.

 

Pulau Kumo, yang berdekatan dengan Pulau Tulang. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

***

Pagi tiba, beberapa orang terlihat berdatangan. Ada yang berswafoto. Ari tak meminta karcis masuk. Dia hanya meletakkan dus bertuliskan ‘Karcis Sukarela, untuk Lab Sampah Plastik’.

Saya melihat, beberapa pengunjung hari itu tak ada satupun yang meletakkan uang di dus itu. Hingga sore tiba lagi, pengunjung terus berdatangan. Ada yang duduk berlama-lama, hingga larut malam. Mereka memesan pisang goreng untuk disantap. Ari menyediakannya.

Sore itu, beberapa keluarga pun datang. Ada yang membawa anak-anak. Membawa makanan ringan dari luar. Saya melihat mereka membuang botol plastik bekas minuman, ke laut. Ari dan kawan-kawan selalu menemukan sampah.

“Sungguh. Edukasi tentang bahaya sampah memang berat. Butuh waktu lama dan kesadaran bersama,” kata Ari.

Ari bilang, sudah bertemu beberapa teman, yang kuliah di luar Malut yang tahu mendaur sampah plastik jadi bahan bakar minyak. “Kami akan [belajar] membuat bahan bakar dari plastik.”

 

Bantu dagangan ibu-ibu

Sabtu dan Minggu adalah hari paling ramai dikunjungi pengunjung. Beberapa ibu-ibu di Dufa-Dufa menitipkan dagangan mereka untuk dijajakan di Pulau Tulang. Ada yang menitipkan jagung rebus hingga rujak.

Meski begitu, Ari tak meminta imbalan dari hasil dagangan para ibu-ibu. Bahkan, kalau jagung dijual harga Rp8.000, Ari menaikkan harga jadi Rp10.000 dan berikan ke ibu-ibu. “Dari hasil jualan, para ibu kasih uang untuk membeli cet Rp1.000.”

“Sabtu dan Minggu adalah hari paling ramai dikunjungi. Sekira 20 lebih orang akan datang ke sini.”

 

Dinding rumah panggung yang terbuat dari susunan botol plastik. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonsia

 

Dalam sehari kalau terus ramai, Ari bisa mendapat Rp1juta bahkan lebih, dari berdagang pisang goreng dan minuman seperti kopi, the, dan lain-lain.

Memang, masih banyak kekurangan dalam mengelola pulau ini. Ari bilang, akan terus belajar mengembangkan pariwisata berbasis lingkungan. Dia bahkan membangun jaringan antar orang muda dari berbagai pulau. Dia mulai dengan pemuda di Pulau Kumo, tak jauh dari Pulau Tulang.

Di sana, mereka mulai dengan membuat rumah baca, mengkampanyekan literasi, dan menyelamatkan pulau-pulau dari ancaman abrasi.

 

Keterangan foto utama: Pulau Tulang. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version