Mongabay.co.id

Mengapa Banyak Spesies Terancam Punah yang Terabaikan Dunia?

 

Bentuk satwa itu telinganya seperti kelelawar, bermata besar, dan ukurannya hanya sekitar 100 gram. Namanya rondo dwarf galago (Paragalago rondoensis) yang berasal dari Tanzania. Ia masih satu ordo primata yang mencakup lemur dan kukang.

Saat ini populasi galago terus menurun karena sejumlah alasan: kecil, sulit ditemukan, dan hidup di beberapa petak hutan kering yang tidak terhubung (terisolasi). Habitatnya pun terus terancam kerusakan.

Sayangnya ia satwa terancam punah yang minim mendapat perhatian dunia.

Dia tidak sendiri, galago kerdil atau gremlin tanzania, adalah satu dari ratusan, bahkan ribuan, spesies yang sudah diidentifikasi dalam Daftar Merah IUCN sebagai terancam punah atau sangat terancam punah yang tidak menerima perhatian atau pendanaan untuk konservasi langsung.

 

Meskipun galago kerdil rondo terancam punah, tidak ada upaya maksimum konservasi saat ini yang berusaha untuk membantu populasi mereka bertahan hidup. Foto dok: Andrew Perkin

 

Sedikit bantuan untuk spesies yang ‘kurang karismatik’

“Sebagian besar spesies [terancam punah] tidak ada dalam agenda konservasi,” kata Olivia Couchman, manajer Zoological Society of London (ZSL) untuk program EDGE of Existence.

Program EDGE [Evolutionarily Distinct and Globally Endangered] memiliki fokus pada spesies “yang kurang terkenal”, jauh dari publikasi di instagram dan sosial media, hanya benar-benar berupaya untuk melestarikan spesies yang  berbeda secara evolusioner dan berada dalam bahaya.

Untuk melakukannya, EDGE telah membuat daftar 100 mamalia, burung, amfibi dan reptil teratas (serta daftar singkat untuk terumbu karang, hiu dan pari). Pada dasarnya, pekerjaan mereka adalah mencari spesies paling unik di dunia, seringkali anggota tunggal dari garis evolusi, yang terancam punah.

“Karisma tentunya bersifat subjektif dan meskipun spesies EDGE mungkin tidak karismatik secara tradisional, tidak ada lagi yang seperti mereka di Bumi, mereka unik dalam penampilan, cara mereka hidup, dan berperilaku,” kata Couchman.

Sampai saat ini, tidak banyak data pasti tentang berapa banyak spesies yang kurang populer, kekurangan dana penelitian maupun bantuan konservasi langsung. Tapi para peneliti percaya, jumlahnya sangat banyak.

Untuk memberi kita gambaran, program EDGE telah memberi label lebih dari 400 spesies di empat kategori perhatian konservasi: sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi.

 

Grafik EDGE yang menunjukkan seberapa besar perhatian konservasi diberikan pada spesies pada daftar Mamalia, Burung, Amfibi, Reptil, dan Terumbu Karang. Dok gambar: ZSL EDGE.

 

“Program kami menemukan bahwa lebih dari 70% spesies EDGE prioritas tinggi tidak mendapatkan perhatian konservasi yang memadai,” catat Couchman. “Spesies ini tidak memiliki rencana aksi tindakan, atau datanya sudah sangat tidak update, dan hanya ada sedikit penelitian atau tidak ada penelitian sama sekali.”

Memang, lebih dari setengah mamalia EDGE mendapatkan perhatian yang rendah atau bahkan sangat rendah – dan itu merupakan mamalia. Ini lebih buruk untuk jenis hewan lain. Empat puluh dua persen burung EDGE, 53% amfibi, 62% reptil, dan 67% karang dikategorikan menerima perhatian yang sangat rendah.

Angka-angka tersebut memberi kita gambaran sekilas tentang betapa tidak seimbangnya anggaran konservasi, -yang sebagian besar berfokus pada spesies besar, karismatik, dan menggemaskan seperti harimau, gajah, singa, gorila, panda, paus bungkuk, sementara banyak spesies lain yang berada di ambang kepunahan hilang begitu saja.

Sudah ada peringatan untuk semua ini, dan hasilnya tidak bagus. Daftar EDGE hanya melihat spesies yang telah dievaluasi oleh Daftar Merah IUCN – dan daftar itu masih jauh dari lengkap. Secara total, Daftar Merah IUCN hanya mengevaluasi sekitar 5 persen dari spesies yang dideskripsikan, dan sebagian besar berfokus pada taksa yang lebih karismatik.

Misalnya, meski IUCN telah mengevaluasi hampir 100 persen burung dan 90 persen mamalia dunia, IUCN hanya mengevaluasi 70 persen reptil dunia, 10 persen tumbuhan berbunga, dan kurang dari 1 persen serangga di dunia.

 

Siapa yang masuk dan siapa yang keluar?

Tidak mengherankan jika hewan karismatik cenderung mendapatkan sebagian besar sumber daya, pendanaan, dan perhatian untuk konservasi langsung. Pemerintah dan kelompok konservasi menghabiskan puluhan juta dolar untuk gajah, badak, panda, dan sejumlah satwa karismatik lainnya.

“Spesies-spesies ini cenderung menjadi spesies yang ditampilkan dalam buku cerita anak-anak… mereka adalah bagian dari pendidikan kita bahkan jika ditemukan di negara-negara yang jauhnya ribuan kilometer,” kata Lesley Dickie, kepala eksekutif Durrell Wildlife Conservation Trust. Durrell terkenal di kalangan konservasi karena fokusnya pada spesies yang kurang karismatik.

“Saya ingat pernah bersafari dan seluruh jip penuh dengan orang-orang yang sampai memanjat untuk melihat singa yang menurut saya sangat tidak menarik, sementara saya melihat ke arah lain pada burung nasar di pohon yang sangat dekat dan menakjubkan,” kata Barney Long, senior direktur konservasi di Global Wildlife Conservation.

Meski demikian, dia tidak mengenyampingkan pentingnya melindungi satwa seperti bison eropa, kondor california atau harimau asia, tanpa adanya upaya konservasi, mereka sudah lama punah.

“Itu adalah contoh yang bagus tentang bagaimana spesies tertentu telah tertanam dalam pikiran orang-orang.”

 

Iguana Jamaika yang sangat terancam punah. Kebun binatang telah memainkan peran utama dalam upaya melestarikan spesies ini. Foto: Robin Moore/GWC.

 

Lalu apa yang disebut sebagai satwa karismatik?

Hewan yang lebih besar, “cantik”, dan lebih terkenal jelas menjadi yang teratas. Mamalia biasanya yang pertama, burung kedua. Hewan darat biasanya lebih menarik daripada air tawar atau laut.

Selanjutnya ada spesies reptil, amfibi. Selanjutnya serangga, yang menurut data menunjukkan penurunan di seluruh dunia, terbukti lebih sulit untuk “dijual” ke publik.

Kerumitan juga dialami oleh keluarga taksonomi. Mamalia mungkin mendapatkan perhatian konservasi paling besar, sebagian besar berfokus pada karnivora dan primata besar, tetapi hewan pengerat dan kelelawar mendapatkan sangat sedikit perhatian.

Reptil besar, seperti beberapa buaya, penyu, dan komodo, mungkin mendapat perhatian, tetapi kadal atau ular kecil sebagian besar masih tertinggal dalam ketidakjelasan. Penyerbuk cantik seperti kupu-kupu dan lebah mendapatkan bantuan dan dana, tetapi bagaimana dengan kumbang dan lalat?

“Katak coklat kecil tidak terlalu populer,” kata Couchman, menyimpulkan perjuangan dari katak kecil dan monokromatik.

Kondisi dan letak geografi juga berperan, menurut ahli biologi Rebecca Stirnemann, yang bekerja di Samoa pada beberapa spesies burung yang hampir punah.

“Negara yang lebih kaya lebih cenderung mendanai spesies endemik mereka sendiri daripada negara endemik lain,” katanya.

Sebagian besar spesies dunia dan spesies terancam pun hidup di daerah tropis, yang umumnya adalah negara-negara yang berkembang yang berkurangan dana ketimbang negara-negara beriklim sedang yang memiliki lebih banyak uang.

The GWC’s Long mencatat bahwa salah satu kelompok yang paling sulit mengumpulkan dana konservasi adalah hewan pengerat kecil dan mamalia mirip hewan pengerat, seperti tikus dan solenodon.

Lalu mengapa yang disebut spesies karismatik menerima lebih banyak dana alih-alih spesies lain, termasuk mereka yang ada di ambang kepunahan?

“Tidak ada cukup anggaran nasional yang tersedia untuk konservasi spesies ini. Konservasi spesies sering dilihat sebagai sesuatu yang harus didanai oleh dana amal atau sumbangan, dan bukan komponen perawatan penting untuk planet ini,” sebut Dickie.

 

Spesies Rhinobatos rhinobatos yang saat ini sulit ditemukan. Saat ini dikategorikan sebagai terancam punah oleh IUCN Red List, Ini adalah salah satu spesies target EDGE. Foto dok: EDGE ZSL.

 

Konservasi dan perlindungan lingkungan di seluruh dunia terkenal kekurangan dana. Amat tertinggal jauh dari organisasi nirlaba lainnya bahkan saat krisis lingkungan global terus memburuk. Menurut Giving USA, badan amal yang mendukung lingkungan atau hewan menerima paling sedikit menerima dana ditinjau dari kategori apa pun.

Artinya, meskipun spesies yang kurang dikenal mendapatkan dana atau perhatian, sering kali dalam waktu singkat dan kemudian menghilang lagi. Meskipun demikian, dana cenderung berfokus pada penelitian dasar (karena sangat sedikit yang diketahui tentang spesies) daripada tindakan konservasi yang sebenarnya.

“Kami menemukan bahwa kurangnya kesadaran akan keanekaragaman hayati di Bumi menghambat upaya konservasi untuk spesies yang kurang dikenal, bukan hanya kurangnya minat untuk melestarikannya,” kata Couchman.

 

Solenodon hispaniola (Solenodon paradoxus) dengan biji rumput di wajahnya di Pedernales, Republik Dominika. Foto: Tiffany Roufs.

 

Masalah dengan Teori Spesies Payung

Para konservasionis telah lama berpendapat bahwa menyelamatkan spesies karismatik juga melestarikan spesies yang kurang dikenal. Ini dikenal sebagai teori spesies payung (umbrella species theory). Dengan kata lain, melindungi harimau pun akan melestarikan habitatnya, dan memastikan kelangsungan hidup puluhan ribu spesies lain yang berbagi habitat itu dengan aman.

Ini benar dalam beberapa kasus, tetapi di dunia yang semakin terfragmentasi dan terancam – menghadapi hal-hal seperti perubahan iklim, perdagangan satwa liar ilegal, polusi, spesies invasif, dan pengasaman laut – spesies payung mungkin tidak lagi melindungi seperti dulu.

“Persyaratan habitat untuk spesies yang lebih besar dan lebih karismatik tidak selalu mencerminkan kebutuhan spesifik mikro-endemik yang sangat terspesialisasi yang menghuni habitat tertentu dalam lanskap, seperti ikan air tawar atau katak yang bergantung pada sungai,” Couchman menjelaskan.

Teori spesies payung juga mengurangi fakta bahwa banyak spesies sekarang membutuhkan tindakan di luar perlindungan habitatnya.

“Ada beberapa penyebab penurunannya adalah masalah perdagangan ilegal, ”kata Dickie. Ini tentu tidak bisa hanya bergantung dari strategi konservasi konvensional.

Ada juga masalah geografis. Beberapa spesies bertahan hidup di daerah terfragmentasi kecil tanpa spesies karismatik untuk menarik perhatian atau di pulau-pulau tanpa magnet yang karismatik.

“[Strategi payung] mengasumsikan bahwa semua spesies hidup di wilayah yang sama, membutuhkan sumber daya yang sama, dan ancamannya sama,” kata Stirnemann. “Tetapi kebutuhan pengelolaan konservasi untuk berbagai spesies juga dapat sangat bervariasi.”

Beberapa jenis spesies juga tidak memiliki hewan payung untuk berlindung. Spesies payung seperti apa yang melindungi mao dan burung dodo kecil, solenodon Hispaniolan (Solenodon paradoxus)? Atau oku (Crotaphatrema lamottei)? Atau bahkan gremlin tanzania?

Dickie menyebut strategi payung mengabaikan “kompleksitas di tingkat komunitas spesies”. Dia lalu menunjuk pada laporan terbaru dari kiamat serangga: serangga yang menurun berarti jatuhnya populasi burung, mamalia dan bunga, terlepas dari apakah hutan dan hewan karismatik masih dilindungi.

Jika galago kerdil rondo hanyalah satu dari ribuan spesies yang keberadaannya sangat terancam oleh kurangnya kharisma subyektif seperti yang lainnya. Pertanyaannya adalah, apakah upaya konservasi, yang umumnya berbasis kepada data sains, lalu berubah menjadi kontes popularitas?

 

Artikel selanjutnya dalam seri ini: Memulai dengan Foto dan Cerita: Cara untuk Selamatkan Spesies Kurang Dikenal

 

***

Sumber asli artikel berjudul Why are some endangered species ignored?  Artikel diterjemahkan dan diadaptasi dalam bahasa Indonesia populer oleh Akita Verselita.

 

 

 

Exit mobile version