Mongabay.co.id

Nasib Warga Merbau dan Rukam yang Hidup di Sekitar Kebun Sawit Perusahaan

DCIM100MEDIADJI_0597.JPG

 

 

 

 

Bunyi parang beradu dengan kayu terdengar memecah keping-keping pinang. Aisyah tampak asyik membelah, lalu memisahkan biji pinang bersih ke dalam karung. Di depan rumah terbentang plastik merah berjejer, tempat biji-biji pinang terjemur.

Pinang, salah satu produk andalan di Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Kini, perusahaan sawit mengambil alih areal pertanian dan perkebunan warga.

Sengketa lahan warga Desa Merbau dengan beberapa perusahaan sawit sejak 2006. Perusahaan datang silih berganti.

Berawal dari izin PT Sawit Mas Perkasa(SMP), sebagai mitra petani perkebunan plasma sawit berdasarkan keputusan No. 389/2006. SMP mengklaim membeli tanah masyarakat seluas 406 hektar dan menjual kepada PT Indonusa Agromulia (Indonusa) pada 2012.

Perusahaan merekayasa surat jual beli dengan Kepala Desa Merbau , dan sudah ada Tim IX yang menyelesaikan sengketa tanah ini. Warga menang. Indonusa menjual lagi perusahaan ke PT Kurnia Tunggal (Kurnia), belakangan berganti nama jadi PT Erasakti Wira Forestama (EWF). Ada 47 orang tak mau jual lahan seluas 72 hektar.

BPN Tanjabtim memediasi pihak bersengketa pada Juli-Agustus 2018. Sayangnya, Tim Mediasi BPN tak menemukan titik temu dan menyarankan para pihak menempuh jalur hukum.

“Sertifikat HGU EWF diterbitkan BPN Tanjatim pada 30 Juli 2018, padahal 9 Mei 2018, kami telah menyurati BPN Tanjung Jabung Timur untuk tak menerbitkan sertifikat HGU EWF. Sampai Agustus 2018 proses mediasi antara masyarakat dan perusahaan difasilitasi BPN Tanjatim, berlangsung,” kata Thawaf Aly, pendamping warga Desa Merbau.

Pada 20 Agustus 2019, perusahaan melaporkan Thawaf Aly. Sejak Februari 2020, Thawaf jalani persidangan, vonis bebas Juni lalu.

Thawaf mengajak saya ke pondok yang sudah roboh di depan jejeran tanaman sawit. Pondok itu saksi, dia terjerat hukum karena membantu warga berjuang menolak perusahaan perkebunan sawit.

EWF, pakai UU Perkebunan Pasal 55 huruf a Jo Pasal 107, dengan tuduhan menguasai dan mengerjakan tanah perkebunan tanpa izin. Setelah menjalani 16 kali persidangan sejak Februari 2020, Thawaf vonis bebas.

Thawaf mengajak saya bertemu Muhamad Arpan, yang sudah berkumpul dengan tujuh orang dengan lahan masih berkonflik dengan EWF.

Dia menuturkan, sekitar 1987 beberapa petani ini tergabung dalam Kelompok Tani Bina Usaha. Mereka pernah mendapatkan sertifikat dari pemerintah atas lahan pertanian seluas 295 hektar.

“Hasil pertanian melimpah, padi jadi dan kelapa juga hasil pertanian utama. Sungai Mendahara ini jadi saksi hasil-hasil pertanian dijual keluar melalui sungai,”katanya.

 

Warga Desa Merbau, yang bertahan tak mau menjual lahan mereka kepada perusahaan sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Sebelum perusahaan datang, memberikan beragam janji manis, kata Arpan, mereka bisa menyekolahkan anak-anak dari hasil pertanian dan kebun.

“Sudah puas ami dijanjikan bermitra terus dengan perusahaan. Hasilnya nihil, akhirnya kami ditipu begini,”katanya.

Dari 47 petani dengan lahan diserobot perusahaan total luasan 72 Hektar. Ada dua petani sudah mendapatkan ganti rugi lahan Rp50 juta per hektar.

Agus, petani Desa Merbau yang mendapatkan ganti rugi lahan pasca putusan bebas Thawaf Aly mengaku menerima karena lelah berkonflik panjang juga trauma.

Arpan tak akan menyerah mempertahankan lahan. Meski kasus kriminalisasi Thawaf Aly masih hangat dalam ingatan.

“Ingatlah, bagaimana pondok dirubuhkan sampai pelaporan Thawaf Aly. Kami ingat semua, tapi soal lahan kami akan tetap berjuang,”katanya.

Saat ini, ada 45 petani tersisa dengan luas lahan 70 hektar.

Arpan berjalan menuju dermaga di pinggir Sungai Mendahara. Tempat kapal kayu dia tambatkan.

Dia bilang, akan menolak ganti rugi lahan dari perusahaan dan pilihan bermitra. Bagi Arwan, terpenting lahan kembali.

“Kami tidak berharap lagi dimitrakan , ataupun ganti rugi. Kami butuh lahan itu untuk hidup anak cucu kelak. Kalau saya sudah tua, apa lagi yang mau diharapkan. Kalau perusahaan yang menguasai lahan, kami bisa terusir nanti.”

Thawaf Aly tidak gentar ataupun menyerah berjuang dengan petani di Desa Merbau.

“Saya tidak menyerah. Ini hak petani. Kita akan terus sama-sama berjuang. Kalau mendapatkan ancaman dari orang tidak dikenal, sering saya terima. Puncaknya kriminalisasi ini.”

EWF tidak hanya bermasalah di Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur juga di Muara Jambi. Perusahaan sawit ini ada di dua kabupaten, Muara Jambi dan Tanjung Jabung Timur.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jambi di semua tempat EWF bersengketa lahan dengan petani dan perusakan lingkungan.

Frandodi Tarumanegara, Korwil KPA Jambi mengatakan, EWF jadi salah satu wilayah sumber asap pada 2015 dan berulang 2019. Perusahaan ini juga bermasalah dengan warga di kabupaten lain.

 

Desa Rukam, lahan tersisa di pinggiran sungai, yang lain sudah jadi konsesi perusahaan skala besar. Foto: ELviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Cerita Desa Rukam

Air Sungai Batang Hari mengalir tenang. Mengantarkan perahu kecil menyeberangi Sungai Batang Hari menuju Desa Rukam Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muara Jambi, Jambi. Jejeran rumah panggung memunggungi sepanjang aliran sungai.

Perlahan suara mesin berhenti, alur sungai membawa perahu merapat ke pemandian milik Datuk Rafi’i.

Saya meniti kayu yang licin tersiram air menuju rumah panggung Rifa’i. Istrinya, Saidah datang menenteng dua kantong plastik ikan.

“Ikan betutu ini enak, asli Sungai Batang Hari. Dulu banyak sekarang sulit dapat,”katanya.

Cekatan tangan Saidah membersihkan ikan dengan pisau dapur yang berkilat tertimpa sinar mentari pagi.

Datuk Rafi’i menceritakan, desa terkepung perusahaan sawit dan tanggul setinggi delapan meter menyisakan sedikit pemukiman lalu selebihnya sungai.

Desa yang berdiri sejak 1832 ini terapit dua sungai, Batang Hari dan sungai premier dibangun pada 1982 oleh pemerintah.

Berawal pada 2001, terjadi jual beli lahan oleh EWF, dengan modus ganti rugi lahan seluas tiga hektar, dengan bayaran Rp1.000.000. Modusnya, perusahaan sudah ganti rugi lahan melalui oknum yang berpihak atau bekerja sama dengan perusahaan. Hanya beberapa orang mau jual. Ada 85 orang tidak mau menjual lahan Rp1 juta.

“Waktu itu 85 orang ini merasa tidak sesuai uang ganti lahan mereka, akhirnya 2004 mereka juga jual. Perusahaan bayar tiga hektar itu hanya Rp1 juta. Perusahaan terus merayu warga dengan janji memperkerjakan mereka. Akhirnya, semua ikut menjual,” katanya.

Pembayaran di Desa Teluk Jambu melalui Kepala Desa Teluk Jambu, Roni. Perusahaan pun berupaya mengelabui masyarakat. Ada perbedaan antara keterangan masyarakat, luas lahan itu lima hektar tetapi perusahaan ganti rugi hanya tiga hektar.

“Sisanya, dua hektar hilang begitu saja tidak ada ganti rugi dari perusahaan. Saya sendiri yang memimpin pertemuan,” katanya.

Pada 2011, EWF ganti rugi lahan masyarakat 2.300 hektar. Setiap keluarga dapat Rp6 juta, perangkat Desa Rukam Rp12 juta, dan pemuda desa Rukam Rp50 juta.

“Mereka juga janjikan tenaga kerja nanti prioritas dari Desa Rukam. Yang terjadi masyarakat desa hanya buruh harian lepas,” kata Rafi’i.

 

Hidup warga berkeliling konsesi perusahaan sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Tak hanya soal beda pendapat luasan lahan, ada juga warga protes karena lahan kena klaim perusahaan. Pada 2016, lahan masyarakat Desa Rukam, antara lain punya Ibrahim, diklaim EWF.

“Dia sudah pernah mendatangi Kantor EWF, tetapi tidak ada tanggapan serius,” katanya.

Najib, Humas EWF mengatakan, mereka sudah tak ada sengketa dengan masyarakat. “Kalau dengan Desa Rukam, persoalan lahan tidak ada. Kami sudah bayar semua,” katanya.

Dia bilang, ada tiga kesepakatan soal pembangunan dua titik sumur bor, keramba dan lahan pertanian. “Kami sedang menunggu kesepakatan dari masyarakat. Kalau Desa Merbau, saya tidak tahu kasusnya.”

Agusrizal, Kepala Dinas Perkebunan Jambi mengatakan, dalam UU Perkebunan Nomor 39/2014 mengamanatkan kewajiban pola inti plasma, dengan 20% kebun plasma. “Seharusnya, EWF juga lakukan pola itu, tidak bisa inti semua,” katanya.

Di Jambi, ada 19 perusahaan sudah bermitra dengan petani dengan luasan lahan 148.624 hektar. “Kita juga dorong terus seluruh perusahaan mengikuti aturan.”

Rifai’I bilang, secara umum, masyarakat Desa Rukam tak lagi memiliki lahan. Hanya pemukiman di sepanjang pinggir Sungai Batang Hari yang jadi tempat mereka tinggal. Lahan yang berdampingan dengan pemakaman mereka sudah jadi perkebunan kayu akasia.

“Kami benar-benar sudah terkepung ini, di darat ada sawit. Ke Seberang Sungai Batang Hari sudah HTI. Apa yang jadi harapan untuk anak-anak kami esok selain jadi buruh lepas?”

 

Ruang hidup warga Desa Rukam, terhimpit di tengah konsesi perkebunan sawit dan HTI. Lahan warga hanya ada di tepian sungai. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version