Mongabay.co.id

Pengembangan Objek Wisata di Bengkulu Harus Perhatikan Aspek Ekologi

Hutan mangrove yang sangat penting untuk wilayah pesisir. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Di ujung pantai Pasir Putih yang lokasinya dekat kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi [KPHK] Taman Wisata Alam [TWA] Pantai Panjang – Pulau Baai dan Resort Kota BKSDA Bengkulu, tak terlihat lagi sejumlah pepohonan. Bakau, akasia, jeruju, pandan laut, nyamplung, biduri, cemara laut, tapak dara, ketapang, seruni laut, hingga dandelion hilang. Berganti menjadi hamparan pasir yang diteduhi batang-batang cemara besar saja.

Lokasi itu dibersihkan dengan eskavator, untuk dijadikan objek wisata baru bernama Pantai Ari. “Penebangan mulai dilakukan Juni lalu,” kata Doni, pemancing ikan di pantai Pasir Putih kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [29/8/2020].

Donal Hutasoit, Kepala BKSDA Bengkulu-Lampung mengatakan, PT. Noor Alif Bencoolen [PT. NAB] adalah pihak yang mendapatkan izin pengelolaan TWA Pantai Panjang – Pulau Baai.

Perusahaan tersebut mendapatkan izin melalui Surat Keputusan Nomor: SK. 988/MENLHK/Setjen/KSA.3/11/2019 tentang Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam pada Blok Pemanfaatan TWA Pantai Panjang dan Pulau Baai, di Kelurahan Lempuing, Kecamatan Ratu Agung, Kota Bengkulu, seluas 20 hektar.

“Izin menteri ini merupakan tahapan lanjutan dari izin prinsip usaha penyediaan sarana wisata alam PT. NAB yang di Reg. 91 Kota Bengkulu oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 5/1/PP-IUPSWA/PMDN/2017 tanggal 11 April 2017,” jelasnya.

Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam [RPPA] sudah mendapatkan izin dari Dirjen KSDAE melalui Surat Keputusan Nomor: SK.100/KSDAE/PJLHK/KSA.3/3/2018, tanggal 2 Maret 2018. Izin berlaku selama 55 tahun.

“Kegiatan pariwisata alam yang akan dikembangkan oleh pemegang izin adalah penyediaan sarana wisata alam, transportasi, wisata tirta perairan sungai dan rawa/danau, wisata petualangan, serta pendidikan konservasi alam dan lingkungan” terang Donal.

Baca: Rehabilitasi Mangrove Kritis di Bengkulu Belum Terlihat

 

Hutan mangrove yang sangat penting untuk kehidupan masyarakat pesisir. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Menyusut

Pembersihan lahan seluas dua hektar ini memperpanjang daftar pembukaan hutan pantai di TWA Pantai Panjang dan Pulau Baai. Sebelumnya, sebagaimana diberitakan Antara, pertengahan 2017 seluas 10 hektar hutan mangrove dibuka dan ditimbun dengan pasir demi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap [PLTU] Batubara di Teluk Sepang, Kecamatan Kampung Melayu.

TWA Pantai Panjang dan Pulau Baai membentang mulai dari Muara Sungai Jenggalu hingga ke Bangkahan Ujung, dengan luas ± 967 hektar. Tumbuhan di sini membentuk tiga tipe vegetasi penyusun hutan pantai, yaitu formasi cemara laut [Casuarina equisetifolia], lalu campuran seperti bakung laut [Crinum augustum] dan rerumputan dengan vegetasi dominan katang-katang [Ipomoea prescaprae], pandan duri [Pandanus tectorius], kubis laut [Scaevola frutescens], serta formasi hutan mangrove.

Beberapa jenis burung air menjadi penghuni TWA ini seperti elang laut, kuntul, juga dara laut.

Baca: Bengkulu Tidak Ingin Salah Arah Kembangkan Ekowisata

 

Batang cemara yang ditebang untuk pengembangan objek wisata di pantai Pasir Putih, Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Harus berkonsep ekowisata

Zamdial Ta’aladin, dosen sekaligus Ketua Program Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu mengatakan, pesisir Bengkulu yang panjangnya sekitar 17,22 kilometer, terbentang memanjang dari Sungai Hitam di Kecamatan Muara Bangkahulu hingga Pulau Baai di Kecamatan Kampung Melayu. Ada sumber daya beragam di sini, mulai ekosistem hutan pantai [termasuk hutan mangrove], ekosistem perairan laut, sumber daya perikanan, potensi jasa pariwisata, dan pulau kecil [Pulau Tikus].

“Semua itu potensial untuk dikembangkan, namun yang harus diperhatikan adalah keseimbangan pembangunan untuk kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial,” kata dia.

Zamdial coba memaklumi, sebagai ibu kota provinsi, wilayah pesisir Kota Bengkulu mendapat tekanan lebih besar karena berbagai kepentingan pembangunan. Termasuk, untuk pembangunan berbagai infrastruktur. “Eksploitasi pesisir begitu cepat, sehingga terjadi ketidakseimbangan daya dukung yang ada sehingga bisa berdampak kerusakan ekologis.”

Dampak paling nyata, saat ini sudah terlihat sepanjang pesisir Kota Bengkulu terjadi fenomena abrasi, sedimentasi, hilangnya vegetasi wilayah pesisir, dan adanya perubahan garis pantai.

“Ini dikarenakan pengelolaan wilayah pesisir bertumpu pada pembangunan infrastrukur, eksploitasi tempat wisata, dan pusat perbelanjaan,” kata dia.

Seharusnya, bisa disinergikan dengan upaya ekologi. “Solusinya dengan pendekatan ekowisata. Satu sisi menjadi tempat wisata bernilai ekonomis, sisi lain mengedepankan komitmen tidak merusak ekosistem dan habitat hutan pantai tersebut.”

Zamdial menjelaskan keuntungan Kota Bengkulu memiliki wilayah pesisir, yaitu mempunyai ekosistem hutan mangrove. “Mangrove selain penahan abrasi, pemecah ombak dan tsunami, tempat berkembangbiaknya ikan dan kepiting, juga sangat maksimal dalam penyerapan karbon diosida guna mencegah pemanasan global.”

Ekosistem hutan mangrove di pesisir Kota Bengkulu terdapat di enam lokasi yaitu TWA Pantai Panjang, Dusun Kandang, Pulau Baai, Kampung Melayu, Padang Serai, dan Sungai Jenggalu. “Ekosistem mangrove tersebut mempunyai fungsi dan peranan besar untuk masyarakat maupun sebagai daerah penyangga.”

Sayangnya, lanjut Zamdial, kondisinya mengalamai degradasi, karen ada pertambakan, permukiman, dan perluasan wilayah Kota Bengkulu. “Juga didorong faktor pariwisata dan pusat perdagangan,” jelasnya.

Baca juga: Bengkulu Harus Siap, Hadapi Potensi Bencana

 

Keindahanan TWA Bukit Kaba yang diharapkan bisa menjadi tujuan ekowisata di Bengkulu. Foto: Dok. BKSDA Bengkulu

 

Wilayah pesisir rusak

Penelitian Zamdial Ta’aladin, Dede Hartono, Deddy Bakhtiar, dan Eko Nofridiansyah berjudul Studi Identifikasi Kerusakan Wilayah Pesisir Kota Bengkulu yang terbit di Jurnal Enggano pada April 2018, memaparkan 14 wilayah di pesisir Kota Bengkulu yang mengalami kerusakan [degradasi].

Lokasi ini berada di pantai Pasir Putih, Muara Lepuing, Pantai Sumber Jaya, Pantai Panjang, Pantai Samudera Ujung, Pantai Sumur Meleleh, Pantai Malabero, Pantai Muara Sungai Bengkulu, Pantai Sungai Hitam, Pantai Teluk Sepang, Pantai Pasar Bengkulu, dan terakhir Pantai Pondok Besi.

Riset itu menjelaskan, penyebab kerusakan sejumlah pantai dikarenakan alih fungsi lahan menjadi tempat wisata dan usaha warung, abrasi, penumpukan sampah, permukiman, tambak, hingga perambahan mangrove. Kerusakan ini berdampak pada luasan hutan pantai yang semakin terdegradasi, hingga berkurangnya lebar pantai.

“Di Muara Sungai Bengkulu, kerusakan disebabkan pencemaran sampah, batubara, sendimentasi, dan abrasi. Akibatnya, keindahan pantai hilang, terjadinya perubahan morfologi pantai, terjadi pendangkalan, hingga rusaknya jalan raya,” jelas penelitian tersebut.

 

 

Exit mobile version