Mongabay.co.id

Dengan Irigasi Tetes, Menjangkau Milenial Agar Tertarik Jadi Petani

 

Kotor, panas, bikin kulit legam. Begitulah kondisi yang identik dengan dunia pertanian. Ke sawah atau kebun yang penuh lumpur di bawah terik matahari yang membakar kulit hingga legam. Itulah mengapa, generasi milenial jadi enggan menjadi seorang petani. Karena kesan yang muncul adalah harus bekerja semacam itu. Namun, jangan salah duga, dunia pertanian ternyata tidak melulu seperti itu.

Bagaimana bisa? Itulah yang dibuktikan oleh Anton Supriyono (40). “Saya ingin membuktikan bahwa dunia pertanian tidak melulu berurusan dengan kotor dan panas. Ini buktinya. Lihat saja, tidak ada kotoran, dan para pekerja di sini tetap mengenakan sepatu saat masuk ke kebun,”kata Anton menunjukkan areal pertanian dalam greenhouse yang berada di Desa Pageraji, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah

Di lokasi setempat, ada dua greenhouse, masing-masing memiliki luas 1.000 meter persegi. Satu greenhouse ditanami dengan chamoe atau oriental melon yang berwarna kuning, dan satu areal lahan ditanam golden melon. Kami mengembangkan greenhouse yang dilengkapi dengan teknologi irigasi tetes,”jelas Anton yang ditemui Mongabay pada Sabtu (22/8) lalu.

baca : Ini Sistem Irigasi Tetes dan Penyiraman Tanaman Menggunakan Ponsel

 

Greenhouse yang terbuat dari bambu untuk budidaya melon sistem irigasi tetes. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Anton memilih pertanian sistem greenhouse agar hasilnya lebih maksimal. “Kendalanya memang ada, yakni modal awal. Namun, break event point (BEP) juga cepat, tidak sampai dua tahun. Untuk membuat greenhouse dengan bahan bambu membutuhkan dana sekitar Rp250 juta hingga Rp300 juta. Kebutuhan dana sebesar itu digunakan untuk pembangunan infrastruktur greenhouse yang dilengkapi dengan irigasi tetes. Jadi, sebagai penutup atas adalah plastik UV, sedangkan sisi samping adalah insect net, sehingga tanaman di dalam greenhouse lebih aman dari hama dan penyakit tanaman. Bahkan, untuk masuk saja, harus steril. Bagi yang tidak berkepentingan dilarang masuk,”ujarnya.

Di dalam greenhouse, ada instalasi pipa air dan selang untuk masing-masing tanaman melon. “Jadi, pertanian ini sistem hidroponik. Air dialirkan untuk masing-masing tanaman melalui selang dengan sistem irigasi tetes. Keunggulannya, dengan irigasi tetes maka akan sangat menghemat air dan efisien. Jadi, setiap harinya cukup dengan membuka keran air, seluruh tanaman bisa dialiri air. Per harinya, dialiri sebanyak empat kali dengan waktu sekitar 15 menit. Beda kalau harus menyiram, jelas akan sangat boros air,”kata dia.

Media tanam, tidak menggunakan tanah, melainkan memakai limbah yakni cocopeat atau serabut kelapa. Di Cilongok, banyak tanaman kelapa dan ada yang memanfaatkan serabut untuk pembuatan sapu. “Nah, limbahnya itu dijadikan sebagai media tanam. Karena dengan serabut kelapa, penyerapan airnya bagus.”

Anton sudah bertahun-tahun mempraktikkan pola pertanian semacam itu, sejak dia pulang dari merantau di Pahang, Malaysia pada 2009 silam. Ia baru balik ke Indonesia pada awal 2016. Sejak tahun 2016 itulah, Anton mulai mempraktikkan pertanian yang lebih efisien, bahkan dengan lahan yang tidak terlalu luas.

“Sekarang lahan di Desa Pageraji ini sudah empat kali panen dalam setahun. Satu lahan yang diisi 3 ribu tanaman chamoe mampu menghasilkan 0,8 kg/pohon. Untuk golden melon mampu memproduksi 1-1,2 kg setiap pohon. Buahnya dapat dipanen pada usia tanaman 65 hari dari pembibitan. Dari 3 ribu tanaman, kami sejak awal telah melakukan treatment agar setiap dua minggu panen. Jadi, panenan tidak langsung seluruhnya. Ini sudah masuk strategi pemasaran, supaya ada kontinuitas produksi,”katanya.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Cara Baru Bertani [Bagian 3]

 

Sistem irigasi tetes yang menghemat air pada budidaya melon di Cilongok, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Anton mengatakan pemasaran dua komoditas tersebut di kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Harganya cukup menjanjikan, untuk sampai Rp35 ribu hingga Rp40 ribu per kg, dan untuk golden melon mencapai Rp25 ribu hingga Rp30 ribu.

“Setiap dua pekan sekali, di areal kebun greenhouse Cilongok, mampu panen sebanyak satu ton. Dengan demikian, maka ada kontinuitas panenan dan pasar tidak mengalami kekosongan pasokan. Kalau tidak kontinyu, maka akan ditinggalkan pelanggan,”ujarnya.

 

Ajak Milenial Bertani

Darimana kemampuan pertanian modern Anton?

Ia menceritakan bahwa seluruh ilmu pertanian modern diperoleh ketika dirinya bersama isterinya, Ani Anggraeni, merantau ke Pahang, Malaysia. Anton menjadi pengelola pertanian di perusahaan besar Cameron Highlands Pahang, Malaysia.

“Selama saya bekerja di situ selama tujuh tahun, saya benar-benar mempelajari teknologinya. Sampai akhirnya, di tahun 2016 ada yang menawari untuk mengembangkan pertanian modern di Bandungan, Ungaran (Jateng). Saya pulang dan menanam paprica di sana. Ternyata dengan teknologi yang saya bawa, bisa dipraktikkan dengan sukses,”ungkap Anton.

Setelah sukses mengembangkan tanaman sayur di Bandungan, ia kemudian dipanggil ke Bali untuk menanam letus, tomat, paprica dan lainnya. Selama setahun di Bali, tepatnya 2017, Anton kemudian kembali lagi ke Semarang dan diminta ke Bekasi untuk tanam melon. Tak hanya itu, dia juga diminta untuk ke Malang selama satu tahun untuk menanam berbagai jenis sayuran. Ia juga sempat diminta untuk mengembangkan irigasi tetes untuk tanaman stroberi di Serang, Purbalingga.

menarik dibaca : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Terintegrasi Teknologi Informasi [Bagian 4]

 

Anton Supriyono menunjukkan greenhouse tanaman oriental melon yang bersih miliknya di Desa Pageraji, Cilongok, Banyumas Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

“Tahun 2019 lalu, saya diminta ke Lembang, Bandung. Saya senang, karena cukup dekat dengan Purwokerto, sehingga saya dapat mengembangkan pertanian di tempat kelahiran saya, Cilongok. Di Desa Pageraji inilah, saya mulai mengembangkan pertanian dengan sistem greenhouse maupun irigasi tetes. Sebetulnya tidak hanya greenhouse saja, open field juga tidak masalah. Saya ingin mengajak anak-anak muda untuk kembali mau terjun sebagai petani. Dan, jadi petani tidak harus belepotan tanah, bisa bersih dan pakai sepatu kalau bekerja,”ungkapnya.

Anton kemudian membentuk Kelompok Hijau Daun yang merupakan tim untuk membangun greenhouse serta bisa mengajari anak-anak muda bertani secara modern. “Saya ingin para pemuda bisa bertani. Cita-cita saya memang membangun sumberdaya manusia (SDM) di bidang pertanian khususnya kalangan muda atau milenial. Banyak areal tanah gersang atau menganggur yang dapat dipakai sebagai lahan. Tidak ada persoalan, kalau tanahnya gersang, karena bisa memakai greenhouse. Tetapi sekali lagi, kendalanya memang modal awal. Namun saya kira, kalau kerja sama dengan desa, maka bisa berjalan. Harapannya, para pemuda desa bisa terserap bekerja di sektor pertanian,”ujarnya.

Kini, Anton bersama dengan Karang Taruna Tekad Sembada 4, Desa Cilongok mengembangkan tanaman melon pada open field. “Saat ini, kami menanam semangka non biji. Kami menyewa lahan desa untuk dikelola Karang Taruna. Dengan demikian, para pemuda akan mendapat tambahan penghasilan dari hasil pertanian. Kebetulan, kami mendapat ilmu dari Mas Anton dan dimodali serta dibimbing. Kami tertarik dengan semangka, karena waktu panen hanya sekitar dua bulan lebih atau 65 hari,” ujar pegiat Karang Taruna Cilongok, Sigit Priyoko (33).

Sigit mengatakan dengan lahan seluas 1.000 m2, membutuhkan modal Rp15 juta, itu sudah termasuk sewa lahan desa, bibit, pupuk dan lainnya. “Jika berdasarkan perhitungan panen, maka akan akan mendapat keuntungan cukup besar. Misalnya saja, rata-rata per tanaman menghasilkan 10 kg, maka secara total akan memperoleh pendapatan sekitar Rp50 juta. Tentu saja, ini harus kerja keras untuk memelihara secara serius. Jika ini berhasil, maka akan semakin banyak anak muda yang tertarik menjadi petani. Karena hasilnya menjanjikan,”tandasnya.

 

Buah chamoe atau oriental melon hasil budidaya sistem irigasi tetes dalam greeenhouse. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version