Mongabay.co.id

Nyala Terang Listrik di Boon Pring Bersumber dari Mikro Hidro

 

 

Aliran air sungai di Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, setia mengiringi aktivitas keseharian masyarakat. Aliran air itu, tidak hanya digunakan untuk mengairi sawah dan kebutuhan sehari-hari warga, melainkan juga dimaksimalkan untuk Pembangkit Listrik Mikro Hidro [PLTMH] yang menerangi kawasan Ekowisata Boon Pring.

Direktur Badan Usaha Milik Desa [BUMDes] Kerto Raharjo Samsul Arifin mengatakan, enam sumber mata air yang ditampung dalam sebuah embung [penampungan] sedalam 3 meter itu, memang sangat penting bagi penerangan areal ekowisata seluas 36,8 hektar tersebut. Enam mata air itu adalah Sumber Adem, Sumber Krecek, Sumber Towo, Sumber Maron, Sumber Gatel, dan Sumber Seger.

”Air yang ditampung itu juga dialirkan ke beberapa titik untuk dimanfaatkan warga, terutama lahan pertanian mereka,” terangnya, Sabtu, 15 Agustus 2020.

 

Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro [PLTMH] yang menerangi kawasan Ekowisata Boon Pring. Foto: Dok. Moh Badar Risqullah/Tagar

 

Samsul mengatakan, dengan potensi air melimpah, pihak desa mengajak kerja sama Universitas Muhammadiyah Malang [UMM] dan Badan Usaha Milik Negara [BUMN], membangun stasiun PLTMH di Boon Pring.

Ide ini terinspirasi dari kesuksesan UMM mengembangkan energi baru terbarukan [EBT] yang ramah lingkungan, sejak 2007. Dua unit PLTMH yaitu Sengkaling 1 dan 2, memenuhi pasokan energi di Kampus Putih tersebut.

”PLTMH dibangun untuk menerangi Boon Pring sekaligus untuk lapak 82 pedagang. Kedepan, semoga bisa memasok kebutuhan listrik masyarakat sekitar,” tuturnya.

Proses produksi listrik PLTMH Boon Pring diawali dari bak penampungan berukuran 2 x 2,5 meter. Berikutnya, air dialirkan melalui pipa berukuran 400 mm untuk menggerakkan generator yang selanjutkan menghasilkan listrik. PLTMH ini dibangun sejak 2019 dan beroperasi Maret 2020.

 

Enam sumber mata air digunakan sebagai sumber PLTH Boon Pring. Foto: Dok. Moh Badar Risqullah/Tagar

 

Ramah lingkungan semua sektor 

Kepala Pusat Pengkajian Energi Baru Universitas Muhammadiyah Malang, Sudarman mengatakan, PLTMH di Boon Pring memang dirancang ramah lingkungan. “Tidak menghasilkan dampak negatif seperti mencemari air sungai dan paling penting tidak menimbulkan kebisingan,” terangnya, Selasa, 18 Agustus 2020.

Dia memaparkan, sumber utama penggerak generator yaitu air sungai, harus tetap diijaga kualitasnya. Harus ada alat penyaring sampah. Sehingga, mutu air yang keluar sama seperti saat masuk, tanpa tercampur bahan apapun.

”Beda bila kita menggunakan minyak pelumas, ketika ada kebocoran, air akan tercemar. PLTMH ini memanfaatkan aliran air yang ketika dibuang lagi tidak terkontaminasi,” tuturnya.

Di sisi lain, tingkat kebisingan juga diminimalisir sehingga masyarakat yang berada di sekitar PLTMH tidak terganggu. Untuk itu, menurut Sudarman, pihaknya menggunakan power house yang didesain khusus meredam suara ribut mesin.

”Polusi utama PLTH hanya kebisingan dan hal ini sudah kami atasi,” ungkapnya.

Berdasarkan dokumen Data Spesifikasi Teknik PLTMH Boon Pring, dijelaskan bahwa pembangkit listrik ini bisa memproduksi energi rata-rata 13 kWatt. Produksi energi hariannya 312 kWH dan produksi tahunan diprediksi sekitar 90.600 kWH [300 hari operasional] dari 0,50 m3/dt.

Turbinnya menggunakan tipe propeller – D300 dengan tinggi jatuh total 3,80 meter dan tinggi jatuh efektif 3,46 meter. Generatornya bertipe Industri Shaft Vertikal – Stamfort dengan kapasitas 20 kVA. Kecepatan putarnya 1500 RPM, dengan tegangan 380 volt dan frekuensi 50 Hz.

 

PLTMH Boon Pring dirancang ramah lingkungan, terutama tidak mencemari air. Foto: Dok. Moh Badar Risqullah/Tagar

 

Kembangkan PLTMH

Ada PLTMH lain yang dikembangkan UMM, bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Selain Boon Pring, terdapat Sengkaling 1 dan 2, serta Sumber Maron.

Untuk PLTMH Sengkaling 1, Sudarman mejelaskan, perencanaannya sejak 2004, berdasarkan hasil studi kelayakan 2001. Namun, baru dibangun 2007 dan mulai dioperasikan 2008 hingga sekarang.

”Banyak yang diinisiasi, hanya sedikit terealisasi,” ujarnya.

PLTMH Sengkaling 1 memanfatakan saluran air di Dam Sengkaling, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, yang sumbernya dari Daerah Aliran Sungai [DAS] Brantas. Untuk proses listriknya, menggunakan turbin crossflow dan propeller.

Produksi energi rata-rata sebesar 80 kWatt, dengan energi harian sebesar 1.920 kWH. Energi tahunan diperkirakan mencapai 576.000 kWH [300 hari operasional], sebagaimana tercatat dalam dokumen Data Teknik PLTMH Sengkaling 1.

”Secara normal memang besar. Tapi, saat ini pemakaiannya rendah, sekitar 60 ribu kWH [per tahunnya], karena dua tahun belakangan dilakukan maintenance atau pemeliharaan,” ungkap mantan Dekan Fakultas Teknik UMM.

 

PLTMH Boon Pring dibangun sejak 2019 dan beroperasi Maret 2020. Foto: Dok. Moh Badar Risqullah/Tagar

 

Selain PLTMH, Sudarman memaparkan, pihaknya mengembangkan dua pembangkit listrik tenaga surya sebesar 3000 watt. Energinya stabil. Sistem pengoperasiannya sudah on grid dengan PLTMH Sengkaling. Kendalanya adalah sistem kontrol yang perlu pemeliharaan tinggi, sehingga harus diganti ketika ada alat yang rusak.

”Umurnya tidak panjang. Berbeda dengan PLTMH yang masih bisa diperbaiki bila mengalami gangguan.”

Sebelumnya, UMM pernah mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel [PLTD] berbahan bakar nabati. Akan tetapi, berhenti sejak kendala teknis menghampiri tahun 2005. “Kami merencanakan pengembangan energi lebih besar untuk komersil, tentunya harus berhubungan dengan PLN yang memiliki jaringan. Namun, tidak semua lokasi mau dibeli PLN dan pastinya harus layak secara ekonomi sehingga semua factor masih dipertimbangkan,” terangnya.

Terlepas permasalahan yang ada, Sudarman mengungkapkan, Indonesia merupakan negara yang sangat potensial untuk pengembangan energi baru dan terbarukan. Sangat banyak dan tidak akan habis.

”Hanya, energi manusianya saja yang belum maksimal dalam hal meneliti dan mengembangkan sumber luar biasa dari alam tersebut,” tegasnya.

 

Mesin PLTMH Sengkaling 1. Foto: Dok. UMM

 

Potensi energi terbarukan seperti surya, air, bayu, biomassa, laut, dan panas bumi di Indonesia sejauh ini belum dimanfaatkan secara optimal. Institute for Essential Services Reform [IESR] dalam Laporan Status Energi Bersih Indonesia 2019 menjelaskan, berdasarkan data ESDM, potensi listrik Indonesia dari energi terbarukan mencapai 432 GW, atau 7-8 kali dari total kapasitas pembangkit terpasang.

Dari data tersebut, baru sekitar 7 GW yang dimanfaatkan untuk komersial. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik [RUPTL] 2019-2028, PLN berencana akan menambah daya sekitar 29 GW.

Sementara, berdasarkan Rencana Umum Energi Daerah [RUED] di 34 provinsi, diproyeksikan total kapasitas terpasang energi terbarukan pada 2025 mencapai 48 GW. Mayoritas, pembangkit listrik energi terbarukan yang ada maupun yang direncanakan itu, mengandalkan tenaga air maupun panas bumi.

Sebagai gambaran, dari 7 GW kapasitas yang terpasang, sebanyak 66% merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] dan 27% Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP].

Demikian juga dengan rencana 29 GW RUPTL. Sekitar 50% berupa PLTA dan 26% adalah PLTP. Sementara, di sisi lain, rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya [PLTS] hanya 7% meski potensinya hampir mencapai 50% sebagai energi terbarukan di Indonesia. Dalam RUED sendiri, rencana pembangunan PLTS justru mendapat porsi sekitar 16% yang angka ini tentunya lebih besar.

 

* Moh Badar Risqullah, penulis adalah jurnalis Tagar.id. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version