Mongabay.co.id

Konflik Manusia dengan Macan Tutul Jawa Belum Berakhir

Macan tutul jawa [Panthera pardus melas] memang hanya tersebar di Pulau Jawa. Berdasarkan IUCN Redlist, statusnya adalah Kritis [Critically Endangered/CR].

Hal yang paling mengkhawatirkan kondisinya sekarang adalah habitatnya yang mengalami penurunan hingga 84% dari sejarah distribusinya [Jacobson et. al, 2016]. Saat ini, macan tutul hanya mendiami sekitar 22 blok hutan yang terfragmentasi satu dengan lainnya.

Jika dirinci, kurang lebih sekitar 40,51% habitat tersebut merupakan kawasan konservasi dan hutan lindung, 10,33% kawasan hutan produksi, dan 49,16% berada di hutan lain [Wibisono et. al, 2018].

Dibandingkan harimau sumatera, wilayah teritorial macan tutul jawa jauh lebih kecil. Individu jantan dewasa saja, hanya mengembangkan wilayah jelajah seluas 13,5 km2 sementara harimau sumatera bisa mencapai 250 km2. Persamaan kedua spesies ini adalah keduanya merupakan karnivor terbesar yang memiliki perilaku teritorial dan perkembangbiakan, serta fungsinya sebagai predator puncak di masing-masing ekosistem.

Satu hal penting, macan tutul jawa dengan berat tubuh dewasa antara 50-70 kg memilih jenis mangsa ungulata kecil seperti kancil [Tragulus sp] dan primata sebagai sumber pakan utama. Sedangkan harimau sumatera lebih banyak memangsa jenis rusa.

Populasi macan tutul jawa saat ini masih mengalami ancaman. Sejak 2008 – 2020, tercatat sedikitnya terjadi 87 konflik antara manusia dengan macan tutul jawa. Diperkirakan, sebanyak 18 individu mati dan 29 individu dievakuasi yang dari jumlah itu ada yang cacat dan kritis. Sedangkan macan tutul yang mati diburu dan diperdagangkan, ada 19 individu kurun waktu 2007 – 2019 [Adhiasto et. al, 2020].

Baca: Pertaruhan Nasib Macan Tutul Jawa dengan Manusia

 

Macan tutul jawa sering disebut macan kumbang, tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Foto: Conservation International/Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

 

Konflik manusia dengan macan tutul

Fragmentasi habitat, perburuan, dan keberadaan ternak yang dikandangkan di pinggiran hutan merupakan pemicu terjadinya konflik antara manusia dengan macan tutul. Selain tentunya, perilaku individu betina beranak yang memiliki tendensi berada di pinggiran hutan guna menjauhkan anaknya dari infanticide [pejantan pembunuh anakan]. Perilaku betina beranak ini yang perlu kita pahami dalam proses penanggulangan konflik, mengingat sebagian besar macan tutul yang berkonflik dengan masyarakat adalah anakan atau individu yang belum dewasa.

Insiden konflik macan tutul jawa menyerang manusia sangat jarang terjadi. Jika ada serangan, terkadang akibat keterpaksaan saat terkepung kerumunan manusia. Ini menjadi satu hal positif yang seharusnya mempermudah penanggulangan konflik.

Tipe konflik macan tutul dengan manusia sebagian besar adalah serangan terhadap ternak seperti kambing, domba, maupun unggas dan perjumpaan macan tutul di batas permukiman.

Kementerian Kehutanan [sebelum berganti nama menjadi KLHK], pada 2008 menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/2008 tentang pedoman penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar. Namun pada aturan ini, lampiran yang berisis detil pedoman teknisnya hanya terbatas pada 3 spesies saja, yaitu harimau sumatera, orangutan sumatera, dan gajah sumatera.

Permenhut P.48 ini, meskipun masih terbatas, namun menjadi momentum terbangunnya skema penanggulangan konflik lebih sistematis. Ada pelibatan berbagai pemangku kepentingan, terutama di wilayah Sumatera.

Baca: Masa Depan Harimau Sumatera di Tangan Kita

 

Macan tutul jawa terekam kamera jebak di Kawasan Suaka Margasatwa Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, pada awal Januari 2017. Foto : BKSDA Jabar

 

Perlukah pedoman penanggulangan konflik macan tutul jawa?

Urgensi menambahkan isu macan tutul ke dalam P.48 melalui proses penambahan lampiran, dirasakan memang penting. Lampiran tersebut tentunya dilengkapi dengan pedoman khusus penanggulangan konflik.

Hal utama yang perlu difokuskan adalah:

  1. Koordinasi penangulangan konflik
  2. Teknik pencegahan konflik
  3. Teknik verifikasi dan kategorisasi skala konflik
  4. Penanganan awal
  5. Penanganan lanjut yang mencakup teknik evakuasi
  6. Penempatan individu konflik yang dievakuasi, serta
  7. Monitoring dan penanganan pasca-konflik

Untuk membangun penanganan konflik yang efektif, tentu saja hal penting yang harus diperhatikan juga adalah analisis kerawanan. Analisis ini bertujuan untuk mengarahkan intervensi pencegahan konflik secara akurat dan efisien, terutama pada lokasi-lokasi dengan tingkat kerawanan tinggi.

Dalam melakukan analisis seperti ini, data seperti topografi, musim, ketersediaan mangsa alami, sebaran populasi, tutupan lahan, populasi ternak di pinggiran hutan, dan data spasial konflik yang pernah terjadi, sangat diperlukan. Sebagian kebutuhan informasi tersebut, bisa diperoleh dalam bentuk data sekunder.

Peta indikatif habitat juga perlu dipersiapkan, untuk penentuan lokasi pelepasliaran macan tutul yang tertangkap. Sebagai gambaran, dari 29 individu yang tertangkap, sebagian besar masih berada di kandang perawatan. Kendala pelepasliaran adalah minimnya informasi lokasi tersebut.

Kondisi ini juga terjadi dalam penanganan konflik harimau sumatera. Proses pelepasliaran seringkali terhambat karena tidak tersedianya peta wilayah itu.

Baca: Nasib Kucing Bakau, Minim Perhatian dan Penelitian

 

Slamet Ramadhan, macan tutul jawa yang dilepasliarkan di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Juni 2019. Foto: KLHK

 

Pencegahan itu penting

Penanggulangan konflik terkadang disamakan dengan merespon informasi konflik dari masyarakat. Padahal, saat ada laporan masyarakat, kemungkinan konflik sudah terjadi dalam situasi sulit. Macan tutul jawa mungkin sudah menimbulkan kerugian material yang cukup besar akibat kejadian itu, sementara pemburu mungkin juga sudah lebih dahulu memanfaatkan situasi.

Ketika kita hanya menggantungkan informasi dari masyarakat, dapat dikatakan sudah terlambat. Kita harus bersiap mendapati macan tutul dengan kondisi kaki cacat, harus diamputasi atau mengalami kondisi kritis, bahkan dalam keadaan mati, akibat pertikaian tersebut.

Pencegahan yang paling disarankan adalah:

  1. Melakukan pengamanan rutin pada habitat-habitat yang merupakan kantong populasi
  2. Melakukan pemetaan kerawanan konflik
  3. Membangun sistem pemantauan periodik pada lokasi-lokasi rawan konflik meskipun tidak ada laporan dari masyarakat
  4. Sosialisasi kepada masyarakat pada wilayah rawan mengenai metode pengamanan ternak dari potensi serangan macan tutul jawa.

Sebagai gambaran, di Sumatera, masyarakat telah banyak membangun kandang-kandang ternak yang cukup kuat untuk mencegah serangan harimau. Kandang itu dibuat secara ekonomis namun terlindung, sehingga akan sulit dimasuki harimau.

Kondisi ini bisa juga diterapkan pada masyarakat yang wilayahnya sering terjadi konflik dengan macan tutul jawa. Teutama, pada masyarakat yang memiliki ternak sehingga, potensi konflik dapat diminimalisir.

Inisiatif “menggaduh” ternak dapat dilakukan. Menggaduh ini pada prinsipnya menitipkan ternak kepada kelompok masyarakat dengan tujuan membagi keuntungan hasil penjualan setelah dipelihara dalam waktu tertentu.

Tentu saja, kegiatan ini tidak berorientasi mendapatkan keuntungan, namun sebagai proses sosialiasi membangun dan memperbaiki peternakan masyarakat guna mencegah serangan macan tutul jawa.

Ingat, konflik antara masyarakat dengan macan tutul jawa hingga saat ini belum berakhir. Keterlibatan semua pihak mutlak diperlukan.

 

* Munawar Kholis, anggota Forum HarimauKita dan aktif di Yayasan Suluh, Mahasiswa Pascasarjana IPB.

** Hariyo Wibisono, Direktur Yayasan SINTAS dan anggota IUCN/SSC Cat Spacialist Group.

*** Erwin Wilianto, Founder Yayasan Sintas, dan Anggota Representatif Indonesia di Fishing Cat Working Group.

Tulisan ini opini penulis.

 

Sitasi:

Adhiasto DN, Wilianto E, Wibisono HT. (2020) Uncover the unrevealed data: the magnitude of Javan leopard removal from the wild, CATnews No. 71. 2020, IUCN/SSC Cat Specialist Group.

Jacobson AP, Gerngross P, Lemeris Jr. JR, Schoonover RF, Anco C, Breitenmoser-Würsten C, Durant SM, Farhadinia MS, Henschel P, Kamler JF, Laguardia A, Rostro-García S, Stein AB, Dollar L. (2016). Leopard (Panthera pardus) status, distribution, and the research efforts across its range. PeerJ 4:e1974 https://doi.org/10.7717/peerj.1974

Wibisono HT, Wahyudi HA, Wilianto E, Pinondang IMR, Primajati M, Liswanto D, et al. (2018) Identifying priority conservation landscapes and actions for the Critically Endangered Javan leopard in Indonesia: Conserving the last large carnivore in Java Island. PLoS ONE 13(6): e0198369. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0198369.

 

 

Exit mobile version